Personal Blog

PELAJARAN TENTANG JENGGOT



Konon, tebalnya jenggot berbanding lurus dengan tebalnya iman. Iya, iman. Nggak main-main lho ini. Iman, Bro!
Saya kok tiba-tiba ingat dengan begitu jejalnya ragam perkononan lainnya yang seliweran di sekitar keseharian kita, yang muaranya ialah tentang ini baik dan itu kurang baik. Konon-konon yang berwajah fisikal, awakan, utowo sandangan dan lipstik.
Nah, ngomongin lipstik,  semua wanita suka dong pakai lipstik. Bahkan, sebagian lelaki pun demen berlipstik. Bila ada wanita yang alergi bibirnya diolesin lipstik, lalu jadi bengkak-bengkak gitu, niscaya ia berbibir bukan wanita. Bibir yang salah menempel di tubuh yang benar. Tubuhnya wanita, tetapi bibirnya lelaki; catat, jenis lelaki yang tidak demen lipstik tentunya.
Sesuka apa pun wanita pada lipstik, dari yang warna glossy sampai hitam gothic atau merah menyala bagai anggur cap orang tua ketumpahan cat duco red metalic, tetap saja wanita mengerti bahwa itu hanyalah lipstik. Yang lebih penting adalah bibirnya, sementara lipstik sekadar pemanisnya, simbolisnya bahwa ia bertengger di sebuah bibir.
Catat: mencium lipstik itu ndak ada enaknya.
Jelas ndak lucu to bila lipstik dipakai di kuku. Meskipun sama perannya sebagai pelapis organ di bawahnya, sebagaimana kala ia dipasang di bibir yang melapisi organ bibir itu, tetap saja lipstik ndak elok untuk disebut kutek sebab diolesin ke kuku itu. Jadi, pelajarannya sampai di sini ialah pakailah lipstik hanya di bibir saja, sesuai tempatnya, agar benar-benar berperan patut sebagai smbol pemanis bibir.
Catat: bibir berlipstik itu enak dicium. Ingat, bibirnya, bukan lipstiknya doang.
Jenggot pun, jika dipikir-pikir, demikian khittah-nya. Maqam-nya. Sebab apa yang disebut jenggot, bahkan setelah saya buka-buka KBBI, adalah bulu yang tumbuh di dagu, maka bulu-bulu yang beranak-pinak di selain dagu tidak disebut jenggot. Kalau di pipi disebut brewok. Kalau di kepala disebut rambut. Kalau di ketek disebut bulu ketiak. Kalau di kelamin disebut….jember utara.
Bila kita percaya pameo “tebalnya jenggot berbanding lurus dengan tebalnya iman” itu, lha kok pendekatan analitik apa pun terasa susah menjelaskannya. Bahkan, teori postmo-nya Foucault pun kandas. Lah wong Faucault aja kepalanya plontos, apalagi jenggot.
Argumentasinya begini.
Namanya iman itu di hati (“Al-imanu ha huna,” kata Rasul sambil menunjuk dada.) Harusnya, kalau niat nyari-nyari parameter, ya bukan jenggotlah simbol ketebalan iman itu, sebab iman di dada jauh jaraknya dengan habitat tumbuhnya jenggot, dagu itu. Harusnya ya bulu dada, kalau lelaki. Atau, payudara, kalau wanita.

“Tebalnya bulu dada atau besarnya payudara berbanding lurus dengan tebalnya iman.”

Nah, ini lebih wangun, lebih logis, sebab iman yang bersemayam di dada memang tetanggaan sama bulu dada atau payudara.
Kenyataannya, ndak begitu to. Berapa banyak coba kaum lelaki yang dadanya lebat itu, kelakuannya demit. Lha yang dadanya lebat saja kok demit, gimana dengan yang ndak punya bulu dada?
Kenyataanya pula, berapa banyak wanita yang berpayudara besar, namun kelakuannya kuntilanak. Lha yang payudaranya besar saja kuntilanak, gimana dengan yang payudaranya nggak niat banget untuk menyusui itu?
Sampai di sini, kok “teori kedekatan” ini sama sekali ndak menemukan relevansinya ya. Apalagi yang jauh macam jenggot di dagu itu. Otomatis, tebalnya jenggot tertolak secara ilmiah untuk diandaikan sebagai tanda tebalnya iman. Jadi, ndak usah repot-repot maksain dagu berjenggot sedemikian tak terhingganya, sebab ia tak ada kaitan ilmiah sama sekali dengan kualitas iman tadi.
Sesuatu yang ndak ilmiah berarti bertentangan dengan logika. Seyyed Ahmad Khan sampai ngendika bahwa segala yang tidak logis berarti tidak sesuai dengan sunnatullah alias hukum alam. Ya, makanya, ndak perlu memaksakan hal-hal yang ndak logis ilmiah begitu untuk dianggap absolut.
Bila masih dipaksaian, sungguh mujurlah orang-orang berjenggot tebal macam Andrea Pirlo atau Karl Marx dan Friedrich Engels itu. Lalu kasihanlah nasib orang yang gennya fakir jenggot macam En Hidayat itu. 



Jenggot punya “takdir” lho untuk tumbuh atau tidak. Jika ia tumbuh lebat karena dipelihara, ya itu sekadar sebab ia diberi kesempatan tumbuh oleh owner-nya. Takdirnya begitu. Sebaliknya, jenggot yang ndak tumbuh sebab dipangkasin atau emang dasarnya ndak ada gen jenggot tebal, ya itu sekadar sebab ia tidak menemukan ladangnya di sebuah dagu itu. Takdirnya begitu.
Ya, jenggot itu samaanlah posisinya sama lipstik tadi. Sama-sama tidak sanggup mengusung parameter apa pun. Buktinya, banyak orang berjenggot ndak kopen sama titi*nya sampai anak-anaknya keleleran bagai deretan abjad. Banyak pula wanita berlipstik ndak kopen sama pahanya sampai kayak ndak ada yang punya tercecer di keramaian.
Dan, tahukan Anda, “Kopen itu bagian dari iman”.
Jogja, 6 Januari 2015
5 Komentar untuk "PELAJARAN TENTANG JENGGOT"

Hahah, baru aja tadi pagi nanyain ke ibu kenapa kebanyakan para pemuka agama selalu berjenggot tebal.ingat Kebayakan, saya ga bilang semua yah. hehe
Setuju iman itu dari hati jauh dari posisi dimana si akar gigi itu tumbuh

Kalo iman dan jenggot berhubungan. Berarti saya gak punya iman. Lha wong jenggot saya gak tumbuh sama sekali.

Konon, orang yang jember utaranya tebal, dia akan kuat sekali "main"nya.

Emang yang bilang "tebalnya jenggot berbanding lurus dengan tebalnya iman" yang bilang begitu siapa om, wah mungkin saya kurang ngopi sama begadang..

Back To Top