Personal Blog

SAKIT JIWA SEBAB GADGET



Di lower ground Amplaz, saya melihat seorang ibu tua yang bertampang “pengemis” mendekati counter yang tengah melayani saya. Linguk sana-sini, kemudian menunjuk sebuah handphone. “Yang bisa WA dan BBM-an,” katanya.
Ya, ya, tak usah cemas, saya takkan menghujat “pengemis” yang sanggup membeli gadget. Tidak. Itu hak dia saja, hak semua orang, setanah-air. Saya cuma terperangah mendengar kalimatnya, “Yang bisa WA dan BBM-an.” itu. Bila kau berpikir chatting hanyalah milik kalian yang muda, bersekolah, berbisnis, berjabatan, kau salah telak. Kaum pengepul receh di jalanan juga memiliki habit itu. Maka tak usah gumun bila kalimat tadi itu layak dianalogikan ke sosmed. Bila mereka aktif main WA dan BBM, pasti mereka juga getol main sosmed.
Ya, benar, tak ada yang salah sampai di sini.
Yang terasa salah kemudian ialah betapa serangan gadget (di dalamnya ada dunia online, chatting, dan sosmed) itu telah menyebabkan sebagian besar kita (ya, sebagian besar lho!) mengidap sakit jiwa. 


Pertama, berapa sering kau membuka akun sosmed-mu, sebegitu jugalah kau didera sakit jiwa. Kian banyak akun sosmedmu, kian sakit jiwalah kau. Kian sering kau buka, kian sakit jiwalah kau. Waktu dan fokusmu akan kian habis digerus oleh “teks/gambar”  yang maya, yang tidak beneran ada di depanmu, untuk menggantikan fokusmu pada apa atau orang yang ada di depanmu.
Pernahkah kau menemukan orang yang rela antri tiket film, begitu masuk ke dalam, ternyata sibuk sama akun sosmednya?
Banyakkk banget!
Bayangin, mereka rela antri tiket, bayar tiket yang tak murah, lalu berdesakan masuk, ehhh…sampai di dalam, malah cuma sosmedan. Gebleg! Gila! Film-nya dikemanain, Bego?!
Yang mereka lakukan apa coba di sosmed itu?
Palingan cuma ngepoin timeline, balas komen seseorang (jika ada), atau malah bikin status baru, untuk beberapa menit kemudian dilihat lagi dan lagi, berharap ada yang ngomenin atau like-in. Benar-benar tipe orang yang kesepian dan butuh belaian perhatian. Messakke! Sementara, di depannya, alur film telah melesat begitu jauhnya.
Belum lagi, efek cahaya yang jelas-jelas mengganggu orang lain di sekitar seat-nya. Mereka takkan tega bersikap masa bodoh begitu sama lingkungannya jika tidak sakit jiwa!
Kedua, betapa banyak kita menjumpai orang yang sedang naik motor atau menyetir sambil sibuk sama gadget-nya. Kalau nelpon masih medinganlah. Lha ini cuma sebuah chat, yang celakanya isinya nggak penting banget, yang bisa dilakukan sejam kemudian bila sudah tidak menyetir/mengemudi, atau cuma untuk lihat status yang baru dibuat.
Seolah doi nyawa punya stok sekian puluh! Seolah telat semenit saja untuk balas chat atau komen orang di sosmed adalah kebiadaban etika yang sangat serius.
Pernahkah kau melihat seseorang yang nggak kunjung bergerak di lampu merah saat telah hijau gara-gara matanya terpaku (paku aja beneran!) pada layar gadget-nya? Ia baru tersentak dan maju dengan gragas setelah diklakson banyak orang.
Kampret banget!
Ketiga, ini sungguh bagian paling menyedihkan. Saat kita ke kafe atau resto, lihatlah berkeliling. Berapa banyak di antara orang yang duduk di kafe atau resto itu yang matanya tersedot ke gadget, demikian pula orang di depannya. Bila yang duduk di sekitar sebuah meja ada 4 orang, semuanya melakukan sikap yang sama: mendelengi gadget-nya!
Padahal, kita tahu, untuk bisa kumpul bareng, sama-sama, jelas butuh penyesuaian waktu dan keinginan. Bagi sebagian besar kita, untuk mendapatkan sikon ini, butuh perencanaan. Janjian dulu. Bodohnya, begitu sikon tercipta, kumpul-kumpul yang direncanakan jauh-jauh hari itu telah terwujud, semua mata tertekuk ke gadget. Orang nyata ditukar dengan orang maya!
Badan mereka duduk berhadapan, tetapi jiwa mereka berlesatan ke mana-mana, bersama orang-orang maya yang entah siapa itu, yang tentu saja sangat tak lebih penting dibanding orang-orang nyata yang lagi duduk di hadapannya.
Tak ayal, saat seseorang membuka obrolan, seringkali lawan bicaranya nggak paham dan ha-he-ha-he, sehingga si pencerita harus mengulang lagi dan lagi. Otaknya dibekap sosmed, chat, yang semu, maya, sementara di depannya ada chat nyata beserta gesture dan tatapan mata lengkap yang diacuhkan. Buat apa janjian? Buat apa repot mau ketemuan? Buat apa, buat apa, Kampret?!
Kebodohan paling bodoh ialah kelakuan seorang mama atau papa yang mengabaikan celoteh anak-anaknya gara-gara tangannya kelet sama gadget. Seolah tangannya dilem ke gadget, seolah matanya dipaku ke gadget.
Iya sih, nggak usah sewot, tentu saja gadget penting. Tentu saja, gadget banyak manfaatnya. Tanpa gadget, kita bisa kuper dan cupet. Tapi, NGGAK GITU JUGA KALEEEEE!!!
ANAK, SUAMI, ISTRI, BAPAK, IBU, KAKAK, ADIK, SAHABAT LEBIH PENTINGGGG DARI GADGETMU KALEEEEEE!!!
Jogja, 3 Januari 2014
3 Komentar untuk "SAKIT JIWA SEBAB GADGET "

aku baca blog ini jadi makin parah sindrom gadgetisitis-ku

Back To Top