Personal Blog

WELCOME TO “JOGJA LANTAI DUA” (Catatan Traveling ke Gua Pindul)



Mau tahu Jogja Lantai Dua?
Datanglah ke Kaliurang, di sisi utara kota Jogja, di sana banyak losmen cekat-cekit, murih-murih yang berrr….hawa dingin. Satunya lagi terletak di Gunung Kidul, sisi selatan kota Jogja. Bila kau hendak naik ke Jogja Lantai Dua, hati-hatilah, jangan sampai kepleset.
Tanggal 18 Januari 2015 kemarin, saya sekeluarga nyempatin diri untuk melantai dua, ngambil wilayah Gunung Kidul. Tujuannya jelas, Gua Pindul. Meski hanya berjarak tempuh satu setengah jamlah dari rumah, saya baru berkesempatan ke sana ya saat itu. 


Pergi ke Gunung Kidul jelas beda dengan pergi ke Istanbul. Bila ke Istanbul, saya perlu passport, uang Lira, lalu jetlag selama 15 jam dari Jakarta, pergi ke Gunung Kidul sangat simple; nyangu duit rupiah, celana pendek, sandal jepit, dan baju salin. Jangan dikira, ke Gunung Kidul, kau takkan disambul tulisan “welcome” lho. Di sebuah tikungan yang teduh karena banyak pohon besarnya, ada sebuah baliho besar dengan tulisan demikian. Bedanya, bila ke Istanbul, tulisannya “Welcome to Istanbul”, ke Gunung Kidul tulisannya, “Sugeng Rawuh Gunung Kidul.”
Baiklah. Setelah melaju sekian lama di atas CRV, saya melihat sebuah banner besar di tepi jalan bertulisakan “Gua Pindul”. Tanpa ragu, saya belok, masuk, dan ternyata itu bukan letak Gua Pindul! Beberapa mas yang ramah menyambut saya bak saudara yang sudah bertahun-tahun tak jumpa, dan bertanya, “Mau ke Gua Pindul, Om? Berapa orang?”
“Iya, lima saja.”
“Biasanya, di pintu masuk nanti, per orang bayar 10.000. Tapi jika kami antar, cukup bayar dua saja.”
Saya langsung mengiyakan setelah sadar bahwa ini hanya tempat “guide pengantar” menuju lokasi Gua Pindul. Tak apalah. Itung-itung nambah sedulur. Lalu kami melaju, meliuk-liuk beberapa kali, dan setengah jam kemudian telah tiba di lokasi. Di gerbang masuk Gua Pindul, saya membayar lagi seikhlasnya. Saya bayar 20.000. saja.
Kami berhenti di sebuah “kantor” (sebutlah demikian) pemandu wisata Gua Pindul. Lalu, mas tadi menyerahkan kami kepada mas-mas yang bekerja di kantor guide ini. Saya memberianya uang 50.000. Boten menopo, demi seduluran to.
“Selamat datang di Gua Pindul,” sambut seorang mas pada kami. “Perlu saya jelaskan bahwa kami adalah guide resmi Gua Pindul. Gua Pindul ini memiliki banyak titik wisata, di antaranya Gua Pindul sendiri, lalu arung jeram Sungai Oyo, lalu Gua Baru. Untuk 3 paket ini, perorang dikenakan biaya 100.000. Jika butuh fotografer, biayanya 100.000 per titik ya…”
Hemm, tanpa ragu, saya langsung ngambil paket ini, minum fotografi. Saya beli bungkus handphone dari plastik yang dikalungnya saja.
“Oh ya, silakan di pojok belakang Panjenengan, ada welcome drink. Silakan, lalu siap-siap ganti baju. Untuk barang berharga ditinggal saja di loker kami, sangat aman. Bila nanti di tengah jalan, ingin jajan, minum, atau makan, jangan sungkan bilang ke guide yang menemani. Silakan ambil sepuasnya di warung-warung yang banyak di tengah perjalanan, nanti bayarnya langsung di sini.”
Saya menoleh ke belakang, ke sebuah meja yang menyediakan termos-termos welcome drink; satunya teh panas, satunya jahe panas. Baiklah, ini welcome drink yang unik, bukan? Di Istanbul bahkan nggak ada lho yang beginian.
Lalu saya menyelesaikan administrasi, dan bertanya pada mas tadi, “Kalau mau shalat, di mana mushallanya ya?”
“Oh, silakan.” Dia dengan sigap mengantar saya ke balik deretan kamar mandi bilas, lalu menunjukkan sebuah kran wudhu yang berada di antara deretan peralatan masak, kemudian mengantar saya masuk ke sebuah rumah, lewat pintu dapur, dan tembus ke ruang tamu. Di situlah telah digelar tikar dan sajadah, plus lipatan sarung dan mukenah.
Setelah shalat, kami pun bersiap berangkat. Dari lokasi kantor ini, kami dinaikkan Alphard Single Cabin. Kira-kira itu pukul 13.00. Kaki telanjang kami ting peletek di atas dek Alphard Single Cabin ini. Di dekat kami, dijejerkan ban-ban dalam bekas mobil yang sangat besar. Syahdan, ini bekas ban dalam tank dan kapan selam. *abaikan*


Taraaaa, kami pun melaju. Diiringi angin berhembus keras, juga suasana kampung yang teduh, tenang, dan khas desa. Tak lama, kami tiba di sebuah “terminal”, lalu jalan kaki kira-kira 10 menit di atas jalan tanah berkerikil berbatu. Baiklah, dengan kaki telanjang, di siang hari pula, ini benar-benar bonus refleksi yang sangat sehat. Sehat banget. Baik bagi tubuh; asal jangan sering-sering aja sih.
Setiba di mulut Gua Pindul, kami dibriefing sebentar oleh guide tunggal yang tampak sangat ahli berjalan di atas tanah berkerikil berbatu itu.
“Bapak dan Ibu, Gua Pindul ini dikeramatkan oleh masyarakat setempat sini. Jadi mohon tidak mengambil atau merusak apa pun di dalamnya kelak. Mari kita berdoa dulu agar perjalanan ini lancar dan menyenangkan.” Sungguh religius, kan?
Setelah berdoa, kami langsung nyebur. Airnya dingin, kecoklatan, maklum habis hujan. Perlahan, ban-ban yang kami naiki memasuki tubuh Gua Pindul, yang kedalamannya bervariasi; mulai dari dua meter hingga 12 meter. 



“Ini, batu yang menjorok bagai Lingga itu dipercaya memberikan tuah kejantanan. Monggo Bapak boleh menyentuhnya….”
Saya pun menyentuhnya. Cling! Tiba-tiba saya jantan! Suer! Tiba-tiba saya menemukan diri saya telah punya anak dua. Oh, betapa jantannya saya, kan?
“Aku udah nyentuh juga, Yah,” kata Dek Gara tiba-tiba.
Oh my God! Saya memekik. “Le, kamu belum saatnya, Nak, bagaimana kalau setelah pulang tiba-tiba kamu minta ayah untuk melamarkan Kakak Ve?” gumam saya dengan air mata bertetesan bagai Dawet Ayu *oke, ini lebay!
“Di depan itu, dipercaya batu stalagtitnya memberikan kecantikan. Monggo, Ibu boleh menyentuhnya….”
Mamanya anak-anak pun menyentuhnya. Dan, oh my God, tiba-tiba saya melihatnya adalah seorang wanita. Suer! “Setelah ini, kamu ke LBC,” kataku padanya. “Kemungkinan besar tambah cantiknya di sana lebih ampuh.”
Rute kedua, lanjut ke arung jeram di kali Oyo. Kami kembali dinaikkan Alphard Single Cabin tadi, setelah berjalan kaki beberapa ratus meter membelah perkampungan dan persawahan bagai Panji Sang Pemburu. Benar-benar napak tilas zaman saya di kampung dulu. Eksotik!


Kami diturunkan di tengah hutan kayu putih, lalu jalan kaki melintasi setapak yang berlumpur. Seru! Beberapa menit kemudian, kami tiba di sebuah jalan menurun yang berujung di salah satu bibir Sungai Oyo.



Kami lalu nyemplung, dan mulai rafting. Sayangnya, air kali ini kurang deras, sehingga kami hanya merasakan sekali saja suasana rafting yang bergelombang besar. Selebihnya, landai. Saya dan Dek Gara memilih nyemplung, tidak pakai ban. Berenang dan mengapung. Bagai Kate Winslett dan Leonardo di’Caprio saat kapal Titanik tenggelam.
Di tengah rafting ini, kami berhenti di sebuah air terjun yang tak seberapa curam, untuk foto-foto. Banyak orang di sini, ramai sekali, sampai harus antri untuk foto-foto.
Saya termasuk orang yang menggebu untuk antri foto di air terjun ini. Sebab, menurut hikayat yang sanad-nya maudhu’, bila berfoto di bawah air terjun ini, tuahnya langsung meresap ke tubuh kami seketika itu juga; basah, dingin, mak gedebrus, dan bonusnya wareg.



Perjalanan dilanjutkan dengan berenang saja. Lalu berhenti di sebuah sisi sungai yang landai, dan naik. Di dekat sungai ini, berdiri sebuah warung, yang saat saya memasukinya, menyediakan bakwan panas mengepul plus cabe ijo, cilok, donat, kripik, krupuk, air mineral, kopi, teh panas, dll. Sayang, saya tak menemukan sate belalang jati yang khas Gunung Kidul. 


Setelah puas menyantap makanan-makanan penghangat tubuh ini, saya menuju kasir, dan menghitungkan apa saja yang sudah kami makan. Dicatat di sebuah nota, lalu diserahkan ke guide kami.
Kami lalu berangkat, melintasi sawah-sawah yang menghijau, angin sepoi, orang-orang kampung yang bersarung dan bergerombol, juga beberapa pasang kekasih yang saling mencintai dan berjanji sehidup semati dalam hujan dan kemarau. Cinta yang sungguh badai. Hayuuhh
Kami kembali ke kantor tadi, lalu mandi, bersih-bersih, salin. Tak lupa, kami minum begitu banyak welcome drink tadi. Benar-benar efektif dan eksotis; bayangkan, saat tubuhmu kedinginan, kamu minum teh panas atau jahe panas dua atau tiga gelas. Manyes!
Perjalanan terakhir ke Gua Baru yang dekat dengan kantor ini. Hanya jalan kaki, paling 10 meteran. Sayangnya, gua ini belum dieksplor sedemikian baiknya, sebab katanya memang baru diketemukan bulan Desember kemarin. Banyak stalaktit dan stalakmit di sini. Amazing-lah!




Lalu, kami pulang. Di tengah jalan, kami mampir sejenak ke warung, beli Gatot dan Tiwul. Dua jenis makanan khas kampung yang langka di kota, enak banget. Tips untuk menikmati makanan ini cukup simple; comot  gatot dan tiwul dari dusnya, pakai tangan, lalu masukkan ke mulut, dan kunyah pelan-pelan, kemudian telan, dan susulkan air minum. Udah. #plakkk
Sayang, saya tak sempat mampir ke rumah Kangmastono Jogja, padahal rumahnya hanya sepelemparan tombak dari lokasi Gua Pindul tadi. Tapi, yang melemparkan tombaknya haruslah Bima yang memiliki kekuatan 4.000 ekor gajah.
Saya juga nggak jadi mampir ke rumah Mini GK yang sangat piawai berselfie dengan bejibun gaya. Selfie khasnya ialah gaya melata; nempel di tempok, bagai sedang merayap, lalu sedikit noleh menatap laron di dekatnya, lalu hap. Itulah Mini GK, sang novelis yang syahdan masih seduluran sama novelis Tasaro GK, dan juga masih punya hubungan sedulur dengan banyak orang di GK (Gondo Kusuman) bila ditarik dari silsilah Nabi Adam.
Saya juga gagal singgah ke rumah Tiwi, sang sastrawangi yang cerpennya pernah dimuat di Minggu Pagi dan Merapi, dan insya Allah akan segera dimuat kapan-kapan wallahu ‘a’lam di al-shawab di Horison, yang rumahnya berjarak sepelemparan mobil dari Gua Pindul. Konon, bagian belakang rumahnya langsung berbatasan dengan akhirat sebab sudah tak ada dunia lagi saking jauhnya. Ada sih ATM BRI di dekat pusat kampungnya. BRI benar-benar Bank Rakyat Indonesia lho.
Gunung Kidul, kita tahu, adalah bagian dari NKRI, yang terletak di wilayah Jogja lantai dua. Tradisinya sangat kentara dan kuat; keguyuban, kesederhanaan, keramahan, dan kebersahajaan.
Traveling ke sini, termasuk selain Gua Pindul, sangat murah dan simpel. Tetapi, di balik semua itu, tersaji panorama kultur kehidupan arif manusia yang lebih senang pasar daripada mall, jalanan kampung yang setapak dan bertanah daripada tol, bentang sawah kehijauan dibanding deretan ruko, dan kumpul-kumpul srawungan daripada ngedem di balik pintu-pintu rapat perumahan dan hotel.
Bila kau termasuk orang yang merindukan sisi lain kehidupan di luar macetnya kota, datanglah ke Gunung Kidul. Sederet lokasi wisata siap membuatmu mengerti bahwa kebahagiaan itu menyebar ruah di mana-mana.
Bila kau ketemu seseorang yang sedang memanen jahe di ladangnya sambil meliriki Tiger-nya, mungkin itu kawan saya Kangmastono Jogja. Bila kau berpapasan dengan seseorang yang antri ATM BRI sambil nyetatus galau tiada henti, mungkin itu Tiwi. Bila kau melihat seorang wanita sedang menempel-nempel di tembok sambil foto-fotoan, mungkin itu Mini GK.
I Love Gunung Kidul.
Jogja, 26 Januari 2015
Tag : Traveling
6 Komentar untuk "WELCOME TO “JOGJA LANTAI DUA” (Catatan Traveling ke Gua Pindul)"

saya belepotan terus membacanya, selalu saja terbaca 'Pinggul'. Sialan ini bacaan :D

Pak edi, masih banyak Kampretnya kah? kelelawar kecil heeee. Dulu kesana pertama kali tahun 2010, lanjut tahun 2013. Pak aku rekomendasikan ke Kalisuci pak, masih daerah lantai 2 :-)

Gk bnyk bnget sih tp masih ada. Oke catat: KALISUCI. Thx yaa

terimakasih banyak atas kunjungannya di obyek wisata goa pindul,,,kami tunggu kedatangannya lagi.....

Back To Top