Personal Blog

IRONI PASAR NOVEL: “MAYORITAS PEMBELI NOVELMU ADALAH NOVELIS JUGA”

Saya mencatat sudah lebih dari tiga tahun booming buku-buku fiksi (novel) bergenre romance (teen dan young adult) menebar di toko-toko buku kita. Selalu sesuai hukum pasar, ada gula ada semut; ada kebutuhan ada barang. Besarnya euforia itu mendorong banyak penerbit berbondong-bondong menerbitkan novel-novel semazhab itu. Kau harus mengerti, tak ada sebuah penerbit pun yang tak memburu omset. Termasuk saya.

Saya selalu mencatat pula bahwa pasar buku senantiasa bergerak dinamis secara circle. Melingkar-lingkar. Tak pernah ada yang baru di pasar buku kita. Bahkan secara etstetik. Munculnya genre novel fantasi yang mengikuti merajalelanya Harry Potter di luar negeri tidaklah mengukuhkan lahirnya genre tersendiri di kita. Buktinya? Sampai hari ini, penggemar novel fantasi masih memilih novel-novel luar negeri dibanding dalam negeri. Dan, bisa apakah kau di hadapan pembeli?

Pergerakan novel yang berpola circle itu, entah apa saking mentoknya nalar saya, serupa dengan bianglala. Ada kalanya pure-romance di atas, ada kalanya religi di atas, ada kalanya novel sastra di atas, dan seterusnya. Menarik dicermati bahwa dari keseluruhan tipologi novel itu selalu melibatkan warna romance.

Mari telisik data sejarah ini.

Tahun 2006, pasar novel dikuasi jenis religi Islam. Ayat-ayat Cinta menjadi trendsetter-nya. Pasar pun dikebaki novel sejenis. Dari Syahadat Cinta hingga Bercinta di atas Sajadah. Pokoknya, buatlah judul yang mengkombinasi diksi cinta dan agama, jadilah novel religi.

Jauh sebelumnya, layak dicatat booming novel remaja Islami ala FLP dan kemudian novel bergaya seksualitas yang dimotori Jakarta Undercover (meski ini bukan jenis novel, tapi pengaruhnya kemudian ke segmen novel sangatlah besar).

Sesaknya novel religi dengan cepat menyumbangkan kematiannya sendiri. Ingat selalu hukum pasar ini: semakin sesak, semakin cepat mati.

Begitulah nasib novel-novel religi. Bahkan novel Kang Abik sebagai top leader novel religi, Bumi Cinta, tidaklah begitu menggembirakan penjualannya. Begitu data valid dari toko-toko yang saya dapatkan dari banyak sampling wilayah toko. Di titik ini, catat sebuah nama yang penuh kemujuran, Tere Liye. Ia meramaikan genre novel religi dengan kreatif, Hapalan Shalat Delisa. Gayanya menyimpang dari mainstream. Ia pun sukses dengan novel itu. Sejak saat itu, namanya dikenal luas hingga novel-novelnya bergeser dari ranah religi di masa kini.

Brojollah kemudian teenlit dan chicklit. Fairus, misal, salah satu pemain utamanya. Berbaur dengan tipe sejenis dari produk luar negeri, sebutlah Mag Caboot. Kembali, sesuai hukum pasar, banjirlah pasar buku dengan novel sejenis. Dari penulis entah hingga sekelas Clara Ng.

Trend ini bertahan sekitar 2-3 tahun. Kemudian, kolap.

Kemudian pasar diisi oleh trend Dan Brown dan sejenisnya. Novel-novel ini mengisi pasar buku dengan amat larisnya. Siapakah penulis novel Indonesia yang mampu mengisi trend ini?

Setahu saya memang tak begitu mudah menulis seperti Brown. Sulit. Ah, siapalah orang kita yang penyabar menukis novel setebal 800 halaman coba? Saya menemukan nama Dee yang bisa disebut sebagai orang kita yang mencuat di masa ini.

Lantas, membuhullah jenis novel horor dan komedi. Arif dengan novel tunggal-andalannya, Pocong, dan Radiyta Dika menjadi avant-garde-nya. Mereka benar-benar jualan kacang polong dengan buku-buku sejenis itu. Laris banget!

Lalu terkalah dengan jitu, pasar pun dibanjiri novel sejenis. Pionernya hingga kini adalah Raditya Dika. Hemm, selain seleb, ia pun piawai memaintaince momen terbit bukunya. Pelajaran emas dari Dika ialah kelola dengan baik masa terbit novelmu; jangan ambisius kayak orang mencret bentar-bentar nerbitin novel. Pembaca eneg! Itu bahaya, tak sehat.

Lalu, lahir kembali masa keemasan romance. Syahdan, Gagas Media pemain utamanya, sebelum kemudian digeser oleh GPU dan dikuti oleh banyak penerbit lain. Serial STPC menandai masa ini. Nama semacam Wina Effendy, Bernard Batubara, hingga Ilana Tan menjadi contoh penulis utamanya.

Di sisi lain, lahir nama Andrea Hirata dengan membawa jenis novel local-wisdom. Ia sukses berat dengan tetraloginya. Dan tak banyak yang bisa mengikuti jejak Hirata ini. Tetapi fakta unik di novel terbarunya, Ayah, senasib dengan karya Kang Abik, penjualannya kalah telak dibanding tetraloginya.

Novel-novel romance terus menguasai pasar hingga tahun terkini. Tentu, karena sudah sanga berjubelnya pasar, kelesuan pun mendera dengan cepat. Yakinlah, sebentar lagi ia akan tumbang!

Hei, kalian-kalian penulis novel, saya kira sangat perlu memahami situasi pasar ini.

Novel tak akan pernah mati, di satu sisi; ia selalu menempati posisi puncak di bawah buku-buku anak dan penunjang pelajaran. Bahkan buku agama pun sering dikudeta oleh segmen novel. Itu artinya, novelis takkan pernah mati.

Hanya saja, di sisi lain, kalian harus mengerti bahwa pasar novel akan bergerak circle. Lihatlah, kini, di sebelah novel-novel romance yang njelehi displaynya, kian banyak penerbit memilih meluncurkan novel-novel klasik dunia. Dari Rabindranath Tagore, Umberto Eco, Albert Camus, hingga Edgar Allan Poe.

Penulis yang buta peta pasar dijamin akan hanya numpang lewat, untuk kemudian bosan sendiri, capek sendiri, lalu menikah sendiri, punya anak sendiri, dan dasteran sendiri, lalu mambu pecel sendiri. Penulis macam kalian yang belum apa-apa di jagat fiksi haruslah ikut gelombang dinamika pasar agar tak tenggelam dan sekaligus kreatif agar tidak terus-menerus jadi anak bawang. Sosok Tere Liye di masa lalu layak menjadi teladan atas fatwa ini.

Tentu saya tak perlu klise mengatakan, kalian harus bertahan menulis. Yang tak kalah pentingnya ialah menulislah secara kreatif dengan membuka mata pada peta pasar novel terkini. Soal pilihanmu apa, silakan saja; konsekuensi plus-minus akan selalu menyertaimu.

Oke, tambahan terakhir.

Saya melihat anomali dalam pasar novel kita kini, yakni pembeli novelmu adalah kawan-kawanmu sendiri yang penulis juga. Sebutlah kawan sosmed.

Fenomena ini sungguh merisaukan, makanya saya sebut anomali. Bayangkan, berapa banyak jumlah penulis di negeri ini? Anggap saja ada 100.000. Dari jumlah itu, berapa banyak yang suka baca? Anggap separuhnya. Dari jumlah 50.000. ini, berapa banyak yang rela membeli novel dan berapa banyak yang keplakable maunya gratisan, berapa banyak pula yang hobi barteran novel, dan berapa banyak yang sekadar hobi minjam?

Pilu membayangkan irisan-irisan fenomena ini. Bagaimanapun, mengharapkan penulis sebagai pangsa utama novelmu itu tidak sehat. Publik umumlah yang harusnya menjadi pembeli utama novelmu. Posisi para penulis lebih tepat sebagai pelengkap saja, karena jumlahnya kecil.

Saya sering bepergian ke mana-mana via stasiun dan bandara, dan saya tak pernah menemukan orang membaca atau menenteng novel karya anak-anak muda sejenismu. Mereka hanya membawa novel dari nama-nama besar.

Pertanyaan finalnya jadi begini: apakah kamu bisa menjadi penulis besar suatu kelak?

Bisa. Syaratnya: istiqamahlah menulis secara kreatif dan akomodatif pada dinamika pasar buku.

Maka kalau kamu tidak kreatif, sudahlah berhenti sajalah menulis timbang capek toh takkan menghasilkan apa-apa. Mending jualan bakwan atau kopi, duitnya konkret.

Maka kalau kamu menganggap pasar buku adalah sampah, sehingga kamu menulis semau-maumu belaka, sudahlah berhenti sajalah menulis timbang kamu jadi katak dalam tempurung. Merasa singa padahal kucing belaka.

Apa lacur. Begitulah adanya, mekanisme survival of the fittest akan menentukan nasibmu. “Sesuatu yang tidak bisa membunuhmu akan membuatmu lebih kuat,” kata Nietzsche.

Jogja, 11 Juni 2015
Tag : KampusFiksi
12 Komentar untuk "IRONI PASAR NOVEL: “MAYORITAS PEMBELI NOVELMU ADALAH NOVELIS JUGA”"

Bagian menyebut nama-nama besar dengan karya mereka, saya seperti melihat parade fenomena. :)

Sekarang jamannya horor atau komedi atau romance? Atau campuran dari salah duanya?

Pembeli novelmu adalah novelis. Sayangnya sedikit novelis yg gemar beli

*Ironis lg saat, penulis=pembeli=best seller = merajai pasar utk bbrapa karya berikutnya.

“Pelajaran emas dari Dika ialah kelola dengan baik masa terbit novelmu; jangan ambisius kayak orang mencret bentar-bentar nerbitin novel. Pembaca eneg! Itu bahaya, tak sehat.”

Bagaimana dengan anda sendiri? Anda menulis banyak buku gak jelas dengan judul sama gak jelasnya sampai seabrek-abrek kek gitu. Anda kira pembaca gak eneg? Saya sempat baca buku anda, dan terus terang sangat eneg! Satu2nya yang memungkinkan buku-buku anda terbit hanyalah karena diterbitkan penerbit milik anda sendiri. Masih lumayan penulis lain menulis banyak novel tapi diterbitkan penerbit yang objektif, sehingga kualitasnya jelas. lah anda? nulis sendiri, terbitin sendiri, lalu jumawa sok produktif padahal kualitasnya amburadul, lalu sok ngajarin orang lain agar gak sering nerbitin novel, padahal mereka kualitasnya lebih bagus dari anda.

“Pilu membayangkan irisan-irisan fenomena ini. Bagaimanapun, mengharapkan penulis sebagai pangsa utama novelmu itu tidak sehat. Publik umumlah yang harusnya menjadi pembeli utama novelmu. Posisi para penulis lebih tepat sebagai pelengkap saja, karena jumlahnya kecil.”

Heran gue, dari mana anda dapatkan fakta yang aneh ini? kalau satu dua orang penulis emang ada yang kek gitu, yang biasanya penulis pemula, anda gak bisa jadiin itu sampel apalagi mengejudge semua penulis kek gitu. Itu namanya mengacaukan pemahaman orang yang gak tau.

“Merasa singa padahal kucing belaka.”

Kalimat itu mungkin lebih tepat menggambarkan anda. Seperti itulah sebenarnya diri anda, bukan?. Merasa singa padahal kucing belaka. Cuma karena punya penerbit sendiri, lalu nulis dan terbitin buku sendiri, lalu anda ngerasa hebat, padahal karya amburadul. Tulisan2 anda diblog ini juga nampak sekali kalau anda merasa singa, gayanya sok dan terkesan merasa tinggi, padahal kualitas kagak jelas, persis seperti kucing yang cuma bisa ngeong2.

Sekarang coba dicermati lagi, secara keseluruhan apakah tulisan anda ini berkualitas? Dari awal sampai ahir gak menyampaikan apa2 selain hanya pameran arogansi karena anda mungkin ngerasa pintar dan hebat. Yaitu tadi “Merasa singa padahal kucing belaka.”

“Sesuatu yang tidak bisa membunuhmu akan membuatmu lebih kuat,” kata Nietzsche.

Karena anda telah menuliskan itu, anda harus mematuhi. Meski mungkin komentar ini terkesan pedas, tapi jujur, nggak cuma menjilat seperti umumnya pembaca lain. komentar ini gak akan membunuh anda, jadi tentu membuatmu makin kuat. Tapi kalau kamu ternyata banci kaleng, ya mungkin komentar ini akan dihapus atau nggak akan dimunculin. Kalau memang begitu berarti benar. “Merasa singa padahal kucing belaka.”

*Mayoritas Pembeli Novelmu Adalah Novelis Juga*
APakah ini berdasarkan survey? Sepengamatan terbatas saya di sosmed, penulis-penulis Indonesia justru lebih suka membeli novel terjemahan.

Itu mas yang komennya puanjang banget spanengan banget mas, selow aja si. Mas edi cuma lagi nganalis (baca ; curhat) tentang pasar.

Analisis yang menyentuh hati Mas Edi, saya terharu.. :)
Saya suka gaya menulisnya.

biasa aja mas, yang ngatur laku apa kaga mah bukan pasar, tapi yang diatas.
yang penting kualitas buku yang kita keluarkan itu berbobot dan ga omong kosong cerita tanpa pesan.

analisa nya terlalu ke pedean
bilang pemula bakal mumpung doang ato apa lah. siapa yang tau masa depan coba? siapa?
nah pikir deh

Mantap! Nyindirnya nyakitin tapi emang kemyataannya kaya begitu! :D

Back To Top