Mindset, ya baca mindset, bukan headset,
beset, apalagi manset. Only read it as
mindset! Do you know what I mean?
*Berasa lagi di Pare Kediri*
Bagi penulis,
fiksi dan non-fiksi, harga mindset
setara dengan harga kehidupannya. Semakin ia bisa meluaskan mindset-nya, semakin luaslah hidupnya.
Semakin ia berhasil meninggikan level mindset-nya,
semakin naik pulalah level karyanya. Dengan kata lain, klaimnya, penulis yang mindset-nya tidak tinggi, biasa-biasa
saja, niscaya ia hanya akan menghasilkan karya yang tidak tinggi pula,
biasa-biasa saja pula. Sebuah karya yang biasa-biasa saja niscaya nasibnya di
level kompetisi publik, sebutlah pasar, akan biasa-biasa saja pula. Karya yang
biasa-biasa saja tentulah tak akan mampu berbicara banyak, baik secara
kemanfaatan, popularitas, dan finansial pula. Tak salah kan jika tadi saya mengklaim bahwa harga mindset bagi penulis adalah harga kehidupannya.
Pertanyaannya
kini pastilah seputar: Bagaimana meluaskan mindset?
Setelah berhasil menanjakkan mindset,
apa manfaatnya bagi proses kreatif dalam berkarya? Lalu, bagaimana pengaruhnya
terhadap kompetisi di ranah publik?
Baiklah, mari
duduk di sekitar saya sambil bersama-sama menikmati secangkir kopi yang mulai
layu dicipoki freon ini.
Saya akan menggunakan
teori Ludwig Wittgenstein, seorang filsuf logika bahasa yang sangat menakjubkan
dengan konsep Language Game-nya (kapan-kapan saya akan tuliskan secara khusus
konsep ini), dalam mengiris all about
mindset tersebut.
Wittgenstein
memberikan ilustrasi menarik di sini, yaitu, “Jangan menjadi lalat dalam toples kaca.”
Seekor lalat
yang terkurung di dalam sebuah toples kaca tentu tetap bisa melihat obyek-obyek
di sekitarnya. Umpama toples kaca itu ada di kamar @AvifahVe, niscaya lalat
malang itu akan melihat: stiker Real Madrid di sekujur tembok, sebuah lemari
setengah kayu setengah triplek, seonggok tivi yang hidup segan mati tak mau, sebuah
kasur berseprei Real Madrid (tentu
beserta jejak-jejak kentut di atasnya), sebuah ember yang layu dimakan usia,
sebuah sajadah yang lebih banyak dilipat daripada digelar, dan seutas tali
rafia yang membentang di sisi dinding utara, yang menanggung pilu karena
dipenuhi oleh jejeran onderdil dalemannya.
Lalat malang itu menyaksikan “dunia kamar” itu dari balik kaca bening
toples yang mengurungnya. Tanpa ampun, ia berpikir dan berpesepsi bahwa, “Oh,
ternyata dunia ini adalah Real Madrid,
tivi yang kecapekan, ember yang uzur, serta kasur yang penuh nestapa itu.”
Ia menjadi
lalat yang benar-benar summun bukmun
umyun fahum la ya’qilun. Ia tak pernah menginsafi bahwa ia semata terjebak
di sebuah “dunia kamar” belaka, yang cuma
merupakan serpihan imut dari dunia luas yang sesungguhnya, yang di luar sana menyuguhkan
jutaan obyek beserta warna-warninya yang sangat amazing.
Ia tak tahu
bahwa di luar sana ada MU yang merah itu keren euy, Amplaz yang riuh dengan gadis-gadis pirang bercelana dangkal, jalanan
yang dijejali anak-anak muda yang saling memasang celurit di pinggang
pasangannya di atas motor, hujan yang tak pernah alpa menciumi tanah setiap
senja mengerjap, kopi kental yang melesatkan imajinasi, sejoli yang berantem di
tepi jalan raya gara-gara belum tuntasnya hitung-hitungan bayaran ngafe tadi, sampai sepasang young adult yang memutuskan untuk LDR
gara-gara si cewek illfeel sama lelakinya
yang mencukur klimis jenggotnya. “Kau bukan lagi lelaki berkalung jenggot, Mas,
padahal satu-satunya hal yang kusuka darimu hanyalah jenggotmu itu!” pekiknya
sambil mengibaskan poninya yang curly
dan membanting HP (kemudian bagian ini disesalinya
dengan sangat). *sodorin jenggot kambing*
Dunia yang tak
terbatas ini, subyek yang tak terdefinisikan tingkahnya ini, obyek yang tak
terhitung eksotismenya ini, pelangi yang tak lagi selalu tujuh warna ini, hujan
yang tak mesti teriringi November Rain
lagi ini, hutan yang tak selalu berada di kejauhan kota ini, lelaki yang tak
selalu mencintai wanita lagi ini, gadis yang tak lagi sedih saat kehilangan
selaput daranya ini, lelaki yang tak lagi tahu memaknai kesetiaan ini,
anak-anak kecil yang tak lagi perlu menunggu lulus SD untuk jatuh cinta ini,
ayam yang tak lagi hanya milik binatang ini, mobil yang tak lagi dibeli karena
kebutuhan transportasi ini, bahkan agama yang tak lagi disakralkan ini, luput
dari mindset lalat tersebut.
Akibatnya, ia
hanya akan berpikir, bicara, dan menulis tentang “dunia kamar” itu. Tidak di luarnya. Tentu, pemikiran, pembicaraan,
dan tulisannya akan terasa sangat sempit, monoton, biasa saja, akhirnya
membosankan. Bukankah dihajar kebosanan merupakan masalah eksistensial dalam
setiap helai kehidupan kita?
Mau tak mau,
dalam upaya meluaskan mindset, lalat
itu harus memecah toples kacanya, keluar dari cangkangnya, dari kamarnya, dari
rumahnya, dan berjumpa dengan banyak lalat lainnya untuk berbincang, membaca,
berkelana, menyimak, dan merenungkan. Hasil semua kelananya itu akan membuatnya
benar-benar melek bahwa dunia itu wow
banget, beda bingit dengan “dunia kamar” tadi!
Keluar rumah,
berjalan-jalan, bergaul, berbincang, tertawa, berempati, mendengarkan, membaca,
dan merenungkan merupakan langkah-langkah yang harus menjiwai hidup penulis. Ia
harus selalu mampu memetakan kapan waktunya menulis, kapan masanya membaca, kapan
saatnya mendalami, dan kapan momennya berjalan-jalan. Ia tak bisa melulu
menulis, sebagaimana ia tidak bisa melulu membaca dan jalan-jalan. Membaca,
menulis, dan berjalan-jalan merupakan satu mahar yang harus dibayarkan oleh
penulis jika hendak meminang karya yang cantik.
Jika mindset telah diluaskan,
cakrawala-cakrawala telah berkelejaran di kepala, tentu saja penulis akan
sangat leluasa untuk memilah, memilih, dan memiluh setiap tulisannya. Dari
level ide, outline, plot, karakter, dialog,
narasi, konflik, setting, twist, pesan moral, hingga ending. Ia akan begitu sangat leluasa
untuk menjungkir-balikkan apa pun yang dituliskannya. Ia akan sangat kuasa
untuk bertahta sebagai “tuhan” (“t” kecil)
pada setiap tulisannya. Begitulah normalnya hidup seorang penulis.
Otomatis,
sebuah karya yang dihasilkan oleh penulis yang ber-mindset keren akan tsakep
pulalah untuk dibaca. Menyelamatkan setiap halaman dalam sebuah karya agar
tidak digodam keluhan bosan oleh pembacanya menjadi ukuran keberhasilan penulis
dalam menyematkan “unsur-unsur unik” di dalamnya. Otomatis pula, karya yang
demikian akan mencuat ke permukaan, jadi referensi bacaan, jadi gunjingan, jadi
buruan, yang secara telak, cepat atau lambat, akan memanahkan penulisnya ke
langit popularitas dan komersialitas. Dan, sekali lagi, otomatis lagi, kemampuan
menyematkan keunikan-keunikan tersebut semata bersumber dari keluasan mindset-nya.
Ya, ya, ya, I know, untuk mencapai level itu sungguh
tidaklah sesederhana provokasi note
ini. Perlu proses yang tidak jenak. Saya sendiri belumlah apa-apa dalam konteks
tersebut. Membaca Kitab Omong Kosong
Seno Gumira Ajidarma, Sang Alkemis
Paulo Coelho, dan Seratus Tahun Kesunyian
Gabril Garcia Marquez, misal, selalu membuat saya gemetar minder. Namun, sebagai
sebuah hikmah (ya, bukankah hidup tanpa
menyandarkan diri pada hikmah akan membuat kita kehilangan kesempatan untuk menyadari
pesona, istilahnya Fritjof Schuon, Realitas Ultim?), setingkat apa pun
level capaian seorang penulis, fardhu
‘ain baginya untuk mengerti wacana ini. Bahwa peluasan dan peluasan dan
peluasan mindset merupakan harga
kehidupan bagi seorang penulis.
“Kau tahu diriku, kutahu dirimu, kita sudah
tak sendiri lagi…” Sayup-sayup, suara melengking Vivi, bukan Ve, melindap
dari speaker komputerku. Tak Tunggu Balimu, ya itu lagunya.
Sebuah lagu dangdut koplo yang popular lantaran menawarkan corak musik yang
unik…
Jogja, 28 Oktober 2013
Tag :
Pasar Makalah,
Yang Serba Nakal
7 Komentar untuk "HARGA MINDSET BAGI PENULIS"
Keren sekali :)
mantap Pak! Izin share ya.. Saya juga sedang dalam proses, mencoba menjajaki dunia yang satu ini.
:menulis. Bismillah :)
monggo halalan thayyiban :)))
Bismillahirahmanirahim,
Baru mulai menikmati dunia penulis.Ingin seperti penulis2 lainya,juga maunya sperti pak edi,tentunya jadi diri sendiri.Tapi ah,,,bahasaku masih monoton saja.Matursuwun pak edi tulisannya..:-)
Syukran :)
hemm, penasaran sekali dengan diskusi tentang "t" kecil pada tuhan dalam konteks penulis. Mohon pencerahannya dong pak rektor, hehe :D
pak, saya share yaa. sekaligus ingin mengucapkan terima kasih yang secukup-cukupnya (karena yang berlebihan katanya tidak baik) atas kesempatan yang diberikan. akhirnya kumpulan kalimat yang tertulis lewat berbagai suasana itu berwujud nyata, sebuah novel dengan nama saya sebagai penulisnya. terima kasih Diva :) cupcup muah hehe