“Pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa
yang terjadi pada kita, dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib.
Demikianlah dusta terbesar itu.”
Paulo
Coelho, Sang Alkemis.
****
Salam, Bara….
Saya bukanlah
cerpenis Jogja seangkatan Bara. Secara proses kreatif, saya di atasnya, sejak
tahun 1995. Saya seangkatan Agus Noor, Satmoko Budi Santoso, Raudal Tanjung
Banua, dll., di bawah Budhi Sardjono atau Mustofa W. Hasyim. Tapi saya tak pernah
berjumpa Umbu Landu Paranggi.
Saya tahu nama
Bara belum setahun ini. Saya tidak mengenalnya secara personal. Saya beberapa kali membaca karyanya, baik di koran, blog,
maupun bukunya. Dua bukunya sudah saya baca. Kata Hati dan Milana.
Untuk Milana, saya baca dua kali. Dan
semalam (20 November 2013), sebelum kembali melumat Paulo Coelho, Sang Alkemis, untuk kedua kalinya saya menekuri
Milana.
Untuk semalam,
saya hanya baca tiga cerpennya, yakni cerpen 1 dan 2, lalu cerpen paling akhir,
Milana.
Saya tidak
tahu mengapa tumben-tumbennya saya berlagak kritikus begini. Seingat saya,
hanya dua kali saya pernah menuliskan hal sejenis ini. Selebihnya, saya lebih
suka berkarya saja. Satu, tentang cerpen-cerpen
Seno Gumira Ajidarma. Dua, tentang puisi-puisi
Kuswaidi Syafi’ie.
Saya tidak
punya basic akademik dalam dunia
sastra. Jadi, tepatnya, sebut saja saya hanya sedang berahi sama Bara untuk
“berkomentar” tentang cerpen-cerpennya, dari sudut pandang saya subyektif yang seorang
penulis cerpen juga. Ya, saya tahu, ini bisa bias, memang. Karena kacamata yang akan saya pasangkan kepada Bara
adalah kacamata proses kreatif saya, yang tentu saja takkan sama, karena
“faktor alam” yang saya tempuh berbeda dengan “faktor alam” yang dicecap Bara.
Baiklah, mari sebut
tulisan ini sekadar cakap-cakap saya pada Bara.
****
Jujur, mulanya
saya beli Milana hanya karena
tertarik pada endorsement AS Laksana.
Saya termasuk penyuka Mas Sulak (AS Laksana). Dalam amatan saya, sejak lama,
Mas Sulak tidaklah sembarangan memberikan endorsement.
Tulisan-tulisan kritisnya tentang dunia sastra membuat saya takjub padanya,
meski tidak berarti saya selalu bersetuju dengannya. Setidaknya, saya tidak
setuju atas kritiknya pada Agus Noor tentang logika cerita dan snapshot saat mengomentari cerpennya Requim Kunang-Kunang, yang pernah dinobatkan
cerpen terbaik Kompas. Saya termasuk
pemuja snapshot, sebagaimana Agus
Noor, hanya karena permikiran bahwa teknik snapshot
membuat saya lebih mampu menenggelamkan cerita dalam lembah dramatisasi. Tidak
lebih. AS Laksana tidak suka snapshot
karena menurutnya itu bukanlah kalimat, tapi frase. Ya, saya tahu, tapi saya
tetap memilih menggunakannya, sebagaimana Agus Noor tetap memilih
mengenakannya. Selain perbedaan itu, saya suka Mas Sulak.
Balik lagi ke
anak muda bernama Bara yang sangat produktif menulis ini. Well, secara keseluruhan, saya harus menyebutkan bahwa Bara adalah
cerpenis yang telah matang teknik. Cool!
Saya tidak tahu sejak kapan dia menulis cerpen, bergaul dengan siapa saja,
bacaannya apa saja, tetapi dari karyanya saya yakin bahwa Bara adalah “penulis
yang berisi”.
Saya coba
petakan dalam poin-poin berikut:
Pertama, Bara piawai beragam teknik
menulis cerita. Orang awam yang hanya membaca Milana sekali, boleh jadi akan limbung mencerna jalan ceritanya.
Juga orang yang membaca Milana sambil
menonton aksi Manchester United atau drama Full
House, cenderung akan sakau memahami tokoh-tokoh ceritanya. Ada teknik penjungkirbalikan
tokoh, karakter, dengan memanfaatkan durasi waktu dan teknik flashback dalam cerpen Milana. Dan jelas
ini membutuhkan fokus yang tinggi untuk bisa menuliskannya dengan baik. Apakah
Bara sudah berhasil dengan sebaik itu? Nanti kita simpulkan masing-masing di
belakang.
Kedua, Bara cukup kaya diksi. Ya,
maklum, bukankah dia juga seorang penyair? Bagi penyair, diksi merupakan
jantungnya. Meski, bagian ini buru-buru
harus segera dituliskan, diksi yang dahsyat semata akan menghasilkan
estetika yang gelap membingungkan an sich
jika tidak dibarengi dengan logika bahasa yang cermat. Ludwig Wittgenstein mengajarkan saya tentang "language game" dalam konteks ini. Kelebihan Bara yang
penyair jelas menyumbangkan kekayaan diksi saat menuliskan cerita-ceritanya.
Dan ini tentu poin plus untuknya.
Ketiga, Bara memiliki kemampuan di atas
rata-rata untuk menyinergikan alur cerita dan setting. Kebanyakan penulis muda khusyuk dengan salah satunya saja.
Tidak banyak yang piawai mengawinkan keduanya. Mendominasikan alur cerita,
tentu tidak salah, berdampak akan mengesankan cerita hanya bergerak bak mobil
di jalan tol belaka. Mendominasikan setting,
tentu pula tidak haram, berdampak akan mengisyaratkan cerita hanya melaju di
satu titik. Bara berhasil menyilangkan keduanya. Kadang berlari dalam jarak
yang jauh, kadang melompat di satu titik.
Keempat, ending dalam cerpen Milana
tampak sangat menggoda, meski sejatinya itu bukanlah pola yang fresh. Tentu, itu sah-sah saja. Yang
terpenting adalah suspensi emosi cerita begitu hunjam di ending Milana.
Selebihnya,
ehmm…di bagian ini saya tiba-tiba teringat ucapan Lembong, kawan kelas S-3 dari
Aceh, bahwa di dunia ini ada dua hal yang sangat enak: (1) Makan gratis, dan
(2) Menyalahkan orang lain.
Baiklah, di
bagian selanjutnya ini, saya akan menjerembabkan diri ke poin kedua dari ucapan
Lembong itu: “menyalahkan Bara”.
Pertama, saya merasa terganggu dengan
bagian logika cerita saat "saya" memarah-marahi Milana setelah saya tahu bahwa
lelaki perekam senja yang ditunggu Milana itu sudah mati. Tanpa premis apa pun,
tiba-tiba saya memarahi Milana. Pertanyaan logis saya: Apa hak saya memarahi
Milana? Bukankah saya diceritakan dalam bagian sebelumnya bahwa saya bukan
siapa-siapa dalam kehidupan Milana? Lalu bagaimana mungkin saya
memarah-marahinya jika saya bukan siapa-siapanya?
Kedua, agaknya Bara memiliki watak
terburu-buru dalam menuntaskan cerpen-cerpennya. Cerpen Milana merupakan salah satu contoh yang menyimpan bagian
terburu-buru itu, yang saya rasa bisa dibikin lebih kuat logika ceritanya
umpama penulisnya tidak mengidap keburu-buruan. Kondisi yang sama juga pernah
saya temukan dalam cerpen Bara yang (saya
lupa judulnya) di awal bulan November 2013 lalu dimuat di Koran Tempo. Di bagian awal sangat
bagus, tapi di bagian tengah ke belakang jeblok betul logika ceritanya, begitu simplistic, mudah ditebak, biasa saja, yang
saya yakin disebabkan oleh keburu-buruan penulisnya.
Ketiga, penulis yang kreatif tentunya
tidak melakukan pengulangan, template,
dalam hal ide maupun teknik. Untuk membebaskan diri dari godaan begini,
dibutuhkan ketelitian dan kesabaran. Apa yang dianggap ide jleb saat ini, tidaklah mesti lalu ditulis saat ini pula. Meremas gagasan
sekuat-kuatnya agar mengeluarkan santan kental yang tebal jauh lebih penting
daripada ketergesaan menuliskannya. Ketergesaan mengeksekusi ide ujung-ujungnya
hanya akan menjebak penulis menjadi “pengrajin cerita”, yang mekanis bak mesin,
berkat bekal tekniknya belaka. Dua cerpen yang pernah saya baca di blog Bara
mencerminkan situasi tersebut.
Bara, engkau
masih muda, gemar bertualang, doyan bergaul, yang tentu saja akan memberikanmu
banyak energi kreatif. Ada
baiknya jika watak ketergesaan direduksi demi pencapaian karya yang lebih
mentereng. Betul memang bahwa cepat atau lambat tidaklah selalu paralel dengan
kualitas. Namun, hukum alam telah menuturkan bahwa para penulis hebat tidaklah
cukup hidup hanya dengan menulis belaka. Di sisinya, harus ada sosok-sosok cantik
bernama sharing, bacaan, perjalanan, pendalaman,
permenungan, kontemplasi, refleksi, dan bahkan diam.
Gabriel Garcia
Marquez, peraih Nobel Sastra 1981 yang juga populer dengan sebutan El Gabo, dan
Paulo Coelho, dengan karyanya Sang
Alkemis yang mengguncang dunia, adalah sedikit contoh dari tuturan hukum
alam yang saya maksudkan.
Salam, Bara….
Jogja, 21 November 2013
7 Komentar untuk "“MEMBACA” CERPEN-CERPEN BERNARD BATUBARA (@benzbara_)"
bahasa mas Edi keren sekali, suka bacanya :)
terlepas dari bagian 'menyalahkan bara'
saya rasa saya akan banyak mampir ke sini untuk membaca dna memperkaya diksi saya
salam kenal dari Pontianak
Sy skrg nyesal knp ya sy jd sok tahu ngritik orang? Sial! Ternyata, saya pun masih tergolong ke dalam.kelompok orang yg kata Coelho, "Merasa lebih tahu bagaimana seharusnya orang hidup, pdahal dirinya tidk tahu bagaimana seharusnya ia hidup." Heeee... maafkan berahi saya pada Bara....
Keren. Bahasanya tertata dengan sangat rapi, to the poin, tapi halus. Jika saya jadi Bara, saya sama sekali tidak akan merasa disalahkan :)
Benrkah ini tidak melukai perasaan siapa pun? Ah, syukurlah. Kadang saat kita tidak memaksudkan sesuatu, tiba-tiba saja terjdi sesuatu yang tidak seharusnya.
Kritikannya halus pak. Bila saya jadi Bara saya malah senang ada yang memberi masukan seperti ini.
salut pada Pak Edi, pada kesempatan membaca dan menuliskan hasil bacaannya: ini pendapat saya
Nah. saya secara peribadi sangat ingin membaca lebih banyak lagi tulisan jenis ini dari Kak Edi... Salam hangat.