Adakah di
antara kita yang bisa lari dari kenangan?
Tidak ada!
Semakin kau
memaksakan diri untuk melarikan diri dari kenangan, maka kenangan akan semakin erat
memelukmu. Tanpa mampu kau halau, lerai, sama sekali. Cobalah kau pindah ke kota lain, sejauh kau
bisa, lalu cermati, apakah semua pelarianmu itu berhasil menjauhkanmu dari
kenanganmu?
1.000 KM?
10.000 KM?
Tidak bisa!
Kenangan
adalah bagian utuh dari kehidupan manusia. Selama ia hidup, selama memori
otaknya bekerja normal, maka selama itulah ia akan berdenyut di dalam
ingatanmu.
Jarak sungguh
bukanlah pelerai kenangan. Sebab sejatinya tak ada jarak sama sekali antara
dirimu dan ingatanmu. Antara hidupmu dan kenanganmu.
Berpikir,
apalagi berusaha, menciptakan jarak jelas hanya akan menjadi kesia-siaan.
Kenangan
serupa dengan cermin.
Berdirilah kau
di depannya, maka akan terpantullah sempurna siapa dirimu. Punggungilah ia,
niscaya kan
tetap saja terpantul siapa dirimu. Pejamkanlah matamu di hadapanmu, maka akan
tetap saja ia setia memantulkan siapa dirimu.
Pernahkah kau
mengalami suatu kebiasaan yang mendorongmu untuk sejenak-sejenak menatap
cermin?
Mematut
rambutmu, wajahmu, lehermu, sekalipun kau tahu bahwa semuanya takkan pernah
berubah?
Seberapa
banyak dan sering pun kau mematut diri di depan cermin, seberapa sadar pun kau
mengerti bahwa takkan ada yang berubah darimu, cermin itu selalu setia memberikan
pantulan tentang dirimu, bukan?
Begitulah
cermin, sebagaimana kenangan, selalu setia padamu, pada hidupmu.
Kau hanya
perlu belajar mengikis kebiasaanmu bercermin itu, setahap demi setahap, sampai
kau akan terkondisikan oleh alam bawah sadarmu sendiri bahwa kau sudah rapi dan
baik-baik saja tanpa perlu terus-menerus bercermin. Sesekali kau memang
membutuhkan cermin itu, ya hanya sesekali, sebagaimana sesekali jugalah kau tak
perlu mengelak dari serpihan kenangan yang melindap begitu saja ke relung
ingatanmu.
Sekarang,
berdirilah kau di depan cerminmu.
Perhatikan
setiap detail wujudmu. Sedetailnya. Sekecilnya. Sampai kau lelah bercermin,
lelah menatap wujud yang dipantulkannya yang tak secuil pun berubah.
Lelahmu pada
kenanganmu tidaklah masalah untuk kau tuangkan dalam rinai airmata. Lakukanlah.
Menjeritlah. Jika masih kurang lagi, lagi, dan lagi, lakukanlah.
Kau hanya
perlu mengerti setiap airmatamu mulai mengering bahwa wujudmu yang dipantulkan
cermin itu takkan pernah berubah, serupa kenanganmu yang menyiletkan perih dan
airmata takkan pernah berubah.
Setelah kau
yakin, sadar, menancapkannya kuat dalam hatimu, keluarlah dari rumahmu. Pergilah
dari cerminmu. Bermainlah. Berjalan-jalanlah. Tertawalah. Tersenyumlah.
Setiap kau
pulang, setiap kau sengaja atau tak sengaja bersihadap dengan cerminmu,
kenangan itu memang mungkin masih akan menyemburat kembali. Tapi kini kau sudah
mulai mengerti bukan, seiring dengan langkah kakimu kemarin, tadi, dan esok
hari, betapa ada cermin-cermin lain, ribuan cermin lain, yang menunggumu untuk berdiri
dan mematut diri bercermin di depannya?
Ya, ya, tentu
saja itu cermin yang berbeda, cermin yang sama sekali tak sama dengan cermin
kenanganmu, meski ia tentu saja sama cerminnya, yang akan setia memantulkan
wujudmu apa adanya.
Di depan
cermin, di depan kenangan, bagaimana pun kau mematut diri, kau akan tetap sama
seperti kau yang dulu.
Jogja, 8 April 2014
6 Komentar untuk "KENANGAN DAN CERMIN"
Untuk kenangan pahit, memang seringkali ingin lari darinya. Kadang berpikir, adakah penghapus yang bisa menghilangkan rekam jejak kenangan yang mengikis perih...
Untuk kenangan indah, tentu berbeda kan, Mas?
"Kau hanya perlu mengerti setiap airmatamu mulai mengering bahwa wujudmu yang dipantulkan cermin itu takkan pernah berubah, serupa kenanganmu yang menyiletkan perih dan airmata takkan pernah berubah."
Whahaaaaaa! Kueeereennn, om! :D
agak tumben pak Edi nulis yang model begini
hdup memang penuh kenangan, baik kenangan baik dan kenangan buruk, sep Pak
Yaaa betul
Jleebbb