Seringkali,
kau merasa begitu penting di atas bumi ini. Mungkin karena kau merasa cerdas,
kaya, tampan, cantik, perkasa, keturunan bangsawan, atau bahkan trah penguasa. Mengandaikan
bahwa sebuah kantor, kampung, komunitas, kampus, sekolah, bahkan kota begitu sangat
membutuhkanmu. Menduga bahwa orang-orang itu akan berkekurangan kehidupannya
jika tak lagi ada dirimu.
Tidak, Kawan!
Sejarah
sungguh telah lebih dari cukup untuk kita jadikan pembukti bahwa bumi ini akan
berjalan sebagaimana biasanya sekalipun tak ada kamu di atasnya. Kantor ini,
kampung ini, komunitas ini, kampus ini, sekolah ini, apalagi kota ini, semua akan berdenyut sebagaimana
lazimnya ia bergulir meskipun kau tak ada lagi di atasnya.
Tentu kau
pernah pergi ke luar kota, kan?
Anggap saja
kau tinggal di Jogja. Lalu kau merasa menjadi orang penting di sebuah
kampungnya. Suatu hari, kau harus pergi umrah selama 10 hari. Pernahkah kau
melamunkan saat sedang tepekur di depan Ka’bah, kau teringat kampungmu, dan kau
mengerti bahwa ternyata saat ini orang-orang di kampungmu tetaplah bernapas,
makan, minum, bercanda, keluyuran, berhubungan seksual, sekalipun tidak ada
kamu di sana?
Ya, ya, ya.
Kampungmu yang
yang kau pikir sangat membutuhkanmu, sangat dipengaruhi olehmu, tetaplah normal
kehidupannya sebagaimana biasa. Ada atau tidak
adamu di sana,
bukanlah suatu masalah besar. Jikalau pun ada yang merasa bermasalah, sebutlah
merasa kehilanganmu, paling-paling hanya segelintir kepala yang sangat kecil.
Paling-paling hanyalah orang-orang yang menghuni rumahmu belaka.
Di sebelahnya?
Di sekitarnya? Apalagi di radius 10 KM darinya? Tidak! Semua orang tetap hidup
dengan biasa, tak tergerus oleh ketiadaanmu.
Sejarah telah
melukiskan dengan benderang bahwa setiap kita pernah kehilangan orang tercinta
dari kehidupan kita. Catat, orang tercinta. Singkirkanlah tetangga atau kenalan
yang tidak kita cintai. Dan sejarah telah memperlihatkan pada kita bahwa kita
tetap hidup baik-baik saja, bukan? Kita tetap tumbuh, besar, dewasa, menua,
lalu sakit-sakitan, bukan? Kita tetap bernapas, makan, minum, bercanda, berpacaran,
minum kopi, tidur pulas, berhubungan seksual, beranak-pinak, bukan?
Di atas muka
bumi ini, di hadapan derum sang waktu, kita hanyalah bagian kecil dari sebuah
kue lapis.
Tentu kau
pernah tahu rupa kue lapis itu seperti apa. Anggaplah hidup ini adalah kue
lapis. Jika tebalnya 15 centi, sebutlah ia terdiri dari 100 lapis, dari lapis
paling bawah hingga lapis paling atas, kita berada di antara lapis-lapis itu.
Sebutlah kau berada di lapis ke-75. Kini kau masih perkasa, gagah, suaramu
lantang, ototmu keras, tatapanmu tajam, kau begitu kharismatik. Sang waktu pun merangkak
pasti melindasmu, mencerabut satu demi satu keperkasaanmu, lalu sempurnalah
menenggelamkanmu di antara lapis-lapisnya.
Kau pun
lenyap, punah! Kau pun terjungkal dari muka bumi yang kau pikir amat
membutuhkanmu. Tanpa jejak. Kecuali namamu.
Saat itu
terjadi, saat situasi yang sama telah menimpa kakekmu, nenekmu, orang tuamu,
apakah kau lantas kehilangan kehidupanmu di antara lapis-lapis waktu itu?
Tidak, bukan?
Bahwa kau akan
berduka, menangis, merasa kehilangan, merasa hidupmu tak lagi sama, sungguh itu
hanyalah selintas belaka. Berapa lama? Seminggu, sebulan, setahun, atau tiga
tahun?
Ya, kau akan
segera melupakannya. Setidaknya, sekalipun kau teramat mencintai orang yang
meninggalkanmu, seiring guliran waktu, kau akan lebih sering melupakannya
dibanding mengingatnya, bukan?
Sungguh, aku,
kau, dan dia sama sekali bukanlah apa-apa bagi dunia ini! Sungguh, kita ini
hanyalah remah-remah “kue lapis” yang akan tertimbun segera untuk ditindih oleh
remah-remah “kue lapis” selanjutnya?
Kita telah
menimbun orang tua kita, orang tua kita sudah menimbun kakek kita, kakek kita
telah menimbun buyut kita, dan demikian seterusnya hidup ini bergerak tanpa
kuasa kita bendung secuil pun.
Bukankah
kekayaan Qarun atau Bill Gates tak pernah sanggup membuat mereka tidak mati dan
tua?
Bukankah
kegeniusan Einstein tak kuasa sama sekali untuk membuatnya tidak tiada?
Bukankah kecantikan
Cleopatra maupun Demi Moore
tak pernah berhasil menggoda waktu untuk mempertahankan mereka tetap mempesona?
Bukankah
kegagahan Arnold Schiwarzineger kian tenggelam digerus laju sang waktu lalu dia
pun menjadi ubanan?
Bukankah
lantang suara Bung Karno tak sanggup membuatnya tetap ada di muka bumi ini?
Semuanya, ya,
semuannya pun terlindas tanpa ampun!
Kalaupun kita
cukup berharga selama menjadi manusia, dengan tingkah-laku kita yang bermanfaat
bagi sesame, kita pun tetap takkan pernah kuasa melawan akselerasi waktu.
Kalaupun kita mulia, layak untuk dikenang, paling banter kita hanya akan
diingat oleh segelintir orang yang merasa bahwa bagi mereka kita adalah
dunianya.
Kita sama
sekali bukanlah siapa-siapa bagi dunia ini. Kita hanyalah remah-remah tiada
makna. Tetapi, sebagai manusia, sudah seharusnya kita selalu berjuang untuk
menjadi dunia bagi siapa-siapa.
Hanya itu yang
bisa kita perbuat. Ya, hanya itu.
“Lalu ayat Tuhan manakah yang masih akan kau
dustakan?”
Jogja, 3 Maret 2014
Tag :
Yang Serba Nakal
6 Komentar untuk "TANPAMU, HIDUP KAN TETAP BERJALAN BIASA"
Pak ediiiiiiii :)
"Jlebb" Seperti biasanya Pak Edi selalu begitu..
Ipulll are you ready for KF Emas?
Semoga bermanfaat
keren banget, pak. :D KF Pekanbaru kapan yah, pak? :v #ngarep
Segera....kapan2 xd