“Ya, aku tahu,
kamu mencintaiku. Tapi, kenapa kamu sering membuatmu membencimu?”
“Kamu kira aku
pun tidak memiliki pikiran yang sama?”
“Ya, aku tahu
itu…”
“Lebih sering
mana yang kamu rasakan, antara mencintaiku atau membenciku?”
“Ya, lebih
sering mencintaimu.”
“Aku pun juga
begitu.”
“Kamu belum
jawab pertanyaanku….”
“Memang masih
ada masalah yang harus kujawab? Bukannya jawabanmu tadi adalah juga jawabanmu
pada pertanyaanmu?”
“Iya, sih,
cuma kamu tahulah aku ingin mendengarnya darimu langsung.”
“Apa nanti
setelah kamu dengarkan jawabanku, lalu kamu pun akan memperdengarkan jawabanmu
padaku?”
“Haaaa….
Kukira itu tak perlu, karena kukira juga akan sama saja intinya, kan?”
“Iya,
baiklah.”
“Aku
menyimak….”
“Mencintai dan
membenci itu sunnatullah, hukum alam.
Tidaklah mungkin melulu hujan tanpa terang, sebagaimana mustahillah hidup akan
selalu menangis tanpa tertawa, juga tidaklah akan terjadi semulia apa pun
seseorang lalu semua orang akan memujinya tanpa ada yang mencelanya. Tidaklah
mungkin kamu berharap semua orang akan mencintaimu atau membencimu. Kanan-kiri,
atas-bawah, alim-kafir, baik-buruk itu serupa kerjanya dengan siang-malam,
hitam-putih, hujan-terang, cinta-benci.”
“Lalu?”
“Kamu akan
jadi pembenci, jika benci itu yang kamu dahulukan. Kamu akan jadi pencinta,
bila cinta itu yang kamu utamakan. Semua tergantung kamu seorang. Dan kamu
seorang akan sangat dipengaruhi oleh pendidikanmu, pergaulanmu, agamamu,
budayamu, hingga kepentinganmu. Kamu adalah otonom yang diciptakan oleh semua
item itu. Apa yang kamu alami, rasakan, dan tindakkan, sepenuhnya adalah kamu
otonom itu.”
“Apakah aku
yang otonom bisa membebaskan keputusanku dari item-item pencipta otonomku itu?”
“Bisa!”
“Apa iya?
Caranya?”
“Setiap yang
kamu baca, dengar, dan renungkan pastilah memberikan pengaruh padamu, bukan?
Bahkan sekalipun itu berlawanan dengan item-item otonom yang sudah membentukmu.
Seseorang jika berhadapan dengan sesuatu yang berbeda dengan item otonomnya
selama ini akan bersikap begini: menerima penuh, menerima sebagian dan menolak
sebagian, atau menolak semuanya tanpa ampun. Sekali lagi, kamu akan menjadi
seperti apa yang kamu lakukan saja. Juga ucapkan. Bukan pikirkan. Soal pikiran
dan pengalaman memberikan sumbangan pengaruh, itu benar. Tetapi seringkali apa
yang kamu lakukan tidak sejalan dengan apa yang telah kamu pikirkan dan alami,
bukan?”
“Iya sih.”
“Jadi, boleh
saja perasaanmu membenciku saat kamu menilai aku menyebalkan. Namun bukankah
itu tidak berarti lalu kamu memarahiku, kan?
Antara apa yang kamu rasakan dan lakukan pun bisa berbeda. Tentu saja, aku
hanya tahu apa yang kamu lakukan, juga ucapkan. Di luar itu, pikiranmu dan
perasaanmu, sama sekali aku tak tahu. Jika kamu membenciku, tetapi perbuatanmu
adalah mencintaiku, maka aku tahunya kamu mencintaiku. Demikian sebaliknya.”
“Ya, ya, ya,
aku tahu.”
“Jadi, sudah
beres, kan?”
“Mungkinkah
kita menempuh hidup yang di dalamnya ada benci dan cinta sekaligus?”
“Memang
begitulah hidup, bukan?”
“Bukankah itu
menyiksa sekali?”
“Apa yang kamu
rasa menyiksa, itu karena kamu melakukannya sebagai tersiksa. Jika dibalik,
kamu melakukannya dengan tidak menyiksa, maka kamu pun akan merasakannya tidak
menyiksa.”
“Berarti aku
hanya perlu melakukan ya?”
“Iya.”
“Marah,
misal?”
“Iya. Aku akan
tahunya kamu marah, tidak cinta.”
“Cinta,
misal?”
“Iya. Aku akan
tahunya kamu cinta, tidak marah.”
“Padahal
keduanya berdenyut bersamaan?”
“Aku hanya
tahu yang kamu lakukan dan ucapkan. Di luarnya, aku, dan semua orang, tidak
pernah tahu.”
“Jadi, kalau
marah sebaiknya dikatakan saja, kalau cinta dikatakan saja, begitu?”
“Marah yang
diam akan membuat pemiliknya tidak bisa nyenyak. Marah yang bicara akan membuat
pemiliknya sakit jiwa. Ada
orang bijak yang bisa mengatasi marahnya tanpa harus mengatakannya. Cinta yang
diam akan membuat pemiliknya memeluk bantal. Cinta yang bicara akan membuat
pemiliknya tahu apakah dia akan memeluk bantal juga atau memeluk orang yang
dicintainya.”
“Seperti si secret admirer?”
“Iya. Enakkah
jadi secret admirer?”
“Tidak.”
“Kalau begitu,
katakan saja kamu mencintaiku, agar kamu segera tahu apakah kamu akan memeluk
bantal atau memelukku.”
“Prettt!”
Jogja, 22 April 2014
Tag :
Yang Serba Nakal
10 Komentar untuk "CINTA DAN BENCI"
duh, saya masih punya utang untuk nulis catatan tentang #KAMPUSFIKSI Malang dan sosok almarhumah Rina Shu
Kalau begitu, katakan saja kamu mencintaiku, agar kamu segera tahu apakah kamu akan memeluk bantal atau memelukku. sesudah mengatakan lalu ditolak pada akhirnya memeluk bantal juga deh pak guru :-D
oya, yang selalu tak pernah berubah dari gaya menulis pak edi ini, begitu ngena.... saya suka banget bukumu pak yang dibeli beberapa tahun silam berjudul " andai aku berjalan kaki " ..... pas golepas pas pas :-D
Cinta&Benci tidak berlawanan ya, Pak?
naaah ayo ayo Pak Rektor, tulisan tentang kampus fiksi malang mana??? ditunggu looh hehe :D
Saya ketinggalan yang kampung fiksi malang hiks ;(
Ehemmmm
Wait
Duh
Berlawanan