Di dunia
nyata, boleh jadi ada suatu peristiwa yang tak sanggup dinalar logika. Begitulah
kosmos ini bekerja. Tetapi, kondisi yang sama (tak terjelaskan oleh logika)
haram hukumnya terjadi di dunia fiksi (cerpen atau novel). Setiap bagian dari
cerita fiksi haruslah memiliki landasan logika cerita “mengapa dan bagaimana
hal itu terjadi”.
Tanpa ampun,
jika sebuah cerpen atau novel mengandung kegagalan logika itu, dalam hal apa
pun seperti plot, karakter, atau setting,
sontak ia jungkal ke jurang cacat logika cerita. Jadilah ia karya yang tidak
baik.
Ada beberapa kecenderungan
umum dalam kaitan logika cerita ini yang paling sering menodai karya para
penulis muda atau pemula.
Pertama, “plot tabrakan”. Untuk
“mengatur” tokoh utama A dan B bisa kenal, lalu terjalin alur cerita lebih jauh
tentang keduanya, penulis begitu tega membuat kedua tokoh bertabrakan. Lalu,
dengan adegan tabrakan itu, keduanya bisa saling kenalan. Syukur-syukur, bisa
bertukar nomer handphone. Syukur
lagi, kemudian saling jatuh cinta, lantas jadian.
Come on, di dunia nyata saja yang
menoleransi “keterbatasan logika” adegan seperti itu sangat sulit diterima,
apalagi di fiksi yang anti keganjilan logika. Jika adegan demikian nyata
adanya, logis kondisinya, niscaya setiap malam Minggu jalanan dan tetamanan akan
lebih ramai lagi dilintasi pemuda-pemudi yang kemarin sore habis tabrakan, lalu
kenalan, lalu jadian. Kenyataannya? Masih sangat banyaaaakkkk anak-anak muda yang setiap malam Minggu….ah,
sudahlah. Sorry, nyaris keceplosan.
Percayalah, ini semata sebab saya care
padamu.
Kenapa nggak
sekalian dituliskan sebab tabrakan dengan pengemudi Honda Jazz, lantas bisa kenalan
dengannya, lalu bisa jadian dengannya, sehingga setiap malam Minggu akan ada
Honda Jazz yang parkir di depan rumahmu?
Kurang suka
dengan Honda Jazz karena imut, bolehlah ganti truk molen atau sekalian
buldoser. Adegan tabrakan dengan truk molen atau buldoser, lalu kenalan, lalu
jadian. Tentu, jika masih selamat ya….
Kedua, “plot kebetulan”. Untuk
menciptakan twist atau suspense cerita, atau bahkan konflik,
penulis lalu merancang pertemuan tak sengaja alias kebetulan antartokoh. Di
sebuah taman, sambil membelakangi bangku, “tiba-tiba” terdengar sebuah
panggilan.
“Kamu
Srintil, kan?”
katanya.
“Iya, aku Srintil. Kamu kan Waluyo,” kataku.
“Iya, aku Waluyo, kita kawan main kecil dulu
di bawah pohon ciplukan,” katanya.
Aku pun tersipu malu.
“Oh, kamu sekarang cantik,” katanya.
“Kamu
juga gagah sekarang, Waluyo,” kataku.
Kali ini Waluyo yang tersipu malu.
Lalu kami jadian.
Kelak, jika
mereka oleh penulisnya dibikin menikah, lalu punya anak, saya usul supaya
dikasih nama Srintil Kebetulan Waluyo
saja. Simpel, kan.
Come on, penulis harus mampu mengkreasi
plot yang logis, masuk akal, penuh kejutan, tidak kacangan, buncisan, wortelan, kolan atau picisan, muran, bautan demikian. Jika memang adegan kebetulan bisa membuatmu
bahagia beneran dalam hidup ini, silakan sekarang pergi ke ringroad atau tol, lalu berdiri di tengah jalan, semoga “kebetulan”
selamat ya.
Ketiga, “memaksa tokoh jadi corong
penulis”. Tentu saja, penulis adalah manusia, yang memiliki pikiran, sense, dan visi hidup. Wajar bila dalam
karyanya penulis menyelipkan idealismenya. Tetapi, ingat selalu, setiap tokoh
cerita yang dibuat haruslah selalu terpelihara kelogisannya. Dalam hal apa pun,
mulai nama, karakter, pikiran, passion,
hingga fashion-nya.
Come on, jangan pernah memaksa anak TK
untuk bertanya tentang apa itu perbedaan demokrasi Pancasila dan demokrasi
liberal. Sekalian saja bikin ia gamang tentang masalah pacaran dan ta’aruf.
Jika itu tega kau
lakukan pada tokoh ceritamu, sekalian kuatkan hatimu untuk menjadikan tokoh
sebagai “diary curhatmu” tentang
kegalauan setiap malam Minggu hanya berkawan dengan remote dan gadget yang
sangat setia, luka hati menunggu kepastian bertahun-tahun lamanya, pilu sebab merasa
hidup telah berlaku tak adil padamu kala menyaksikan sejoli yang menurutmu kalah
mempesona darimu sedang bergandengan tangan di bawah gerimis.
Di alam nyata,
kau memang sangat berhak untuk salto-salto seolah kau benar-benar bahagia dalam
kesunyian. Tetapi di alam fiksi, hal itu tidak bisa diterima. Logika cerita
selalu mutlak hukumnya.
“Sabar, ya,”
kataku sambil ketawa. “Aku peduli padamu.”
Jogja, 6 November 2014
Tag :
KampusFiksi,
Yang Serba Nakal
12 Komentar untuk "FIKSI “TABRAKAN”, “KEBETULAN”, DAN “PEMAKSAAN TOKOH” (Ikhwal Logika Cerita yang Tak Perlu Dilakukan) Oleh Edi AH Iyubenu"
Keren tulisannya. Sangat bermanfaat untuk penulis pemula seperti saya. Ditunggu artikel selanjutnya. (setia baca, pak) hehe. Salam
Saran yang cukup menohok.
Uhuk uhuk
satu pemikiran denganmu pak :P saya lagi cek nih, apa tulisan saya ada yg pake acara ketabrak truck molen lalu pacaran besoknya nikah :P wkkkwkwkkkw duh ketawa nih nguakak :P
Terima kasih banyak pak untk infonya. Sangat bermanfaat.
Jika ada waktu kunjungi blog saya : kuchkuchhotahaii.blogspot.com
kece ^_^
Maaf, Pak, untuk poin ketiga saya masih belum mengerti. Mungkin panjenengan bersedia memberi penjelasan lebih? Matur nuwun :)
"Kak, kenapa demokrasi negara kita yang katanya demokrasi pancasila ini terasa seperti demokrasi liberal? kita yang dulu mengagungkan musyawarah dan gotong royong sekrang mengagungkan uang?" tanya adek perempuanku yang masih tk.
aku pun merenungkan pertanyaan ini sambil memandang indahnya sunset di pantai marina. tak lama kemudian ombak besar menerpa diriku... aku pun terbangun dari tidur karena ternyata kamarku kebanjiran.
Haaaaa....
Keren (y) Artikelnya bagus dan sangat bermanfaat sekali sebagai masukan yang membangun ;) Terima Kasih Bapak Edi Akhiles.....
Jgn lewatin kf surabaya
huwaaa :D
Hhh betul betul betul ...tp poin ke 3 sy msh bloon pak alias blm paham