Di tahun 2011, awal kali masuk ke
jenjang doktoral Islamic Studies, saya geleng-geleng melihat jadwal didominasi
mata kuliah metodologi. Beberapa gelintir mata kuliah non metodologi, seperti Sejarah
Filsafat Barat dan Timur, Pemikiran Islam Kontemporer, dan Islam
dan Isu-isu Global, dalam praktik kuliahnya ternyata juga mengaras pada
perkara metodologis –selain membedah silsilah pemikiran tokoh-tokoh.
Setelah menempuhnya, saya tak pernah
geleng-geleng kepala lagi. Benar sekali ucapan Prof. Amin Abdullah, persoalan
mendasar di kalangan sarjana dan master ialah perihal metodologi. Padahal ia
memegang peranan yang sangat krusial dan menentukan hasil akhir sebuah riset
dan pemikiran.
Fakta memperlihatkan bahwa mau
menulis skripsi atau makalah apa pun, sepanjang masih seputar isu-isu
kontemporer Islam, misal, “seolah” pakai metode dan landasan teori apa pun, hasil
akhirnya cenderung seragam. Sungguh aneh! Aneh betul! Bagaimana ini bisa
terjadi?
Saya tunjukkan contohnya.
Saya bikin makalah tentang “Problematika
Dinamika Tafsir Ayat Poligami di Indonesia” dengan mengunakan teori strukturasi
Anthony Giddens. Tentu, saya menggunakan pendekatan sosiologis di sini. Lantas,
kawan saya bikin pula makalah setema, menggunakan teori batas (had al-‘ulya-had
al-sufla) Muhammad Syahrur. Tentu, pendekatannya filosofis.
Tetapi bagaimana mungkin kedua
metodologi ini menghasilkan kesimpulan yang sama?
Letak problemnya ialah betapa
mayoritas sarjana kita masih gagap dalam menerapkan sistem kerja sebuah metodologi,
sebab ia sekadar diposisikan sebagai “formalitas ilmiah-akademik”. Dan inilah
pemafhuman saya kemudian betapa berderetnya mata kuliah metodologi, dari
filsafat sampai sosiologi, menjadi silabus yang sepatutnya diprioritaskan.
Di level skripsi, problem sejenis jelas
berjubel jumlahnya. Anda yang meneliti tema pergaulan di sebuah sekolah SMA di Bandung,
misal, bagaimana mungkin hasil akhirnya sama belaka dengan Anda yang meneliti
tema sejenis di Madura –padahal secara kultural jelas sangatlah berbeda.
Inilah masalah metodologis yang
berakar-urat dan rupanya dipahami benar oleh para petinggi kampus di jenjang doktoral,
sehingga metodologi diberi porsi besar, utama, dan prinsipil. Konsekuensinya, saat
masuk kelas doktoral, kita dianggap sudah tuntas dengan segala teori dari tokoh-tokoh
terkait.
****
Mengapa menguasai cara kerja metodologi
sangat penting dalam kancah ilmiah-akademik?
Pertama, ilmu tidaklah stangan, tapi dinamis. Dinamika
ini bisa berwujud penemuan, sanggahan, dan pengembangan. Tidaklah mungkin
dinamika ilmu akan diraih bila aspek metodologi yang merupakan pondasi
pertanggung jawaban ilmiah tidak diperhatikan. Karya ilmiah apa pun yang tidak
memiliki metodologi yang kuat niscaya akan ditampik validitas ilmiahnya.
Keilmiahan sama sekali tak beraras pada perkara benar atau salah, tetapi soal
kualitas presentasi yang argumentatif, analitis, dan metodologis.
Kedua, menyelamatkan kekacauan berpikir dengan cara
menciptakan kamar yang menjadi fokusnya. Ada begitu banyak kamar metodologis
untuk mengkaji suatu hal. Semua kamar itu diterima keilmiahannya sepanjang
tangguh belaka.
Ayat “jihad”, misal. Kamar apa
gerangan yang Anda pakai dalam membahas soal jihad dalam ayat-ayat Alqur’an? Jika
kamar sejarah yang dipakai, Anda bisa mengkaji sejarah Perang Salib dan
dampak-dampaknya terhadap sensitivitas hubungan antaragama. Jika kamar politik klasik
yang dipakai, Anda bisa mendulang risalah strategi politik dari Perjanjian
Hudaibiyah antara Nabi Muhammad dan Suhail yang mewakili kafir Quraisy Makkah.
Jika kamar politik kontemporer yang dipakai, Anda bisa melihat imbas standar
ganda Amerika sebagai pemantik aksi-aksi terorisme di banyak wilayah sebagai
isu global vis-a-vis konsepsi dan legitimasi jihad. Jika Anda memakai
kamar sosiologis keindonesiaan, niscaya perkara pluralisme akan menjadi bagian
tak terpisahkan. Jika Anda memakai kamar filosofis, boleh jadi Anda akan
mengulik pandangan Fazlur Rahman tentang “moral-ethic” dalam
yurisprudensi Islam. Dan sebagainya. Dan seterusnya.
Fokus kamar-kamar ini merupakan
bagian dari kerja metodologi. Semua peneliti dan pembaca haruslah memafhumi concern
kamar-kamar yang dipakai. Tidak boleh tidak. Pencampur-adukan kamar-kamar
metodologis ini hanya akan menimbulkan pemahaman yang rancu. Tidak otoritatif.
Tema sedekah, misal. Tidak ada yang
salah bagi pelaku sedekah untuk mengharapkan balasan rezeki 10 kali lipat, atau
700 kali lipat, atau bahkan tak terbatas. Ayatnya benar-benar ada di Al-Baqarah
261-263. Ustadz Yusuf Mansyur saya kira di sini posisinya.
Tetapi kebenaran tafsir balasan
sedekah itu berada di kamar syariat. Hal-hal dzahir. Tentu saja pandangan kamar
syariat ini akan goyah seketika bila didekati dengan kamar hakikat. Ayat 264
dari Al-Baqarah menjelaskan tentang makna hakikat dalam bersedekah. Mengharap
imbalan dari sebuah sedekah akan terlihat transaksional dan karenanya tak
menarik secara hakikat.
Tapi, sekali lagi, pandangan kedua
ini adalah kamar hakikat, bukan syariat. Dengan mendudukkan kedua kamar itu di
tempat masing-masing, tak ada yang salah dengan pelajaran sedekah Ustadz Yusuf
Mansyur dan sebaliknya dengan pengamal sedekah berkamar hakikat. Sama baiknya,
sama mulianya.
Tema “manunggaling kawula Gusti”,
misal. Jika kita menggunakan kamar psikologi Barat, misal pemikiran Viktor E.
Frankl yang mengkritik Sigmund Freud, niscaya kita akan mengerti bahwa istilah “supra
sadar” setamsil dengan ungkapan tasawuf Imam Ghazali tentang mukasyafatul
qalb. Bukan hasyafah. Penyingkapan hati yang bukan dzahir, tapi
batin. Dalam istilah Mulla Sadra, disebut al-harakah al-jauhariyah. Ada
pula yang menyebutkan “teologi negatif”.
Kita lantas juga bisa mengerti ungkapan
Deepak Chopra tentang “Merging Self” sebagai sejajar episteme-nya
dengan konsep Wahdlatul Wujud Ibn ‘Arabi. Di sebelahnya lagi, Taoisme yang
diusung Lao-tzu dan Chuang-tzu ternyata memiliki esensi yang sama. Taoisme
menyebutnya t’ien nie.
Ihwal ini seketika akan berantakan episteme-nya
jika kita mengintipnya dari kamar modernisme, sebutlah “aku berpikir maka
aku ada” atau “hukum nalar” Jean-Paul Sartre. Atau, hadits khairukum
anfa’ukum linnas. Bukan karena ada yang salah pada dua risalah itu, tetapi
cara kita meneropongnya yang bermasalah karena memaksakan satu kamar ke kamar
yang sama sekali lain. Satu metode tidak bisa dipaksakan kepada metode yang
lain. Keduanya sama-sama otonom dan otoritatif pada dirinya masing-masing.
Anda masih ingat polemik selfie
yang diawali kultwet Ustadz Felix Siauw? Pada kamar hakikat, esensi kultwet
beliau sama sekali tak salah: bahwa selfie memicu ujub, riya’, dan
sombong. Ketiga hal ini jelas penyakit hati yang harus dihindari. Hanya saja,
beliau kurang tepat ketika menggabungkan kamar hakikat yang batini dengan kamar
syariat yang dzahiri –yang berujung pada fatwa “haram” selfie. Inilah akar
problem kultwet itu, yang memancing letusan polemik di masyarakat.
Ustadz Felix benar pada kamar
pentingnya menjaga hati dari segala potensi riya’, ujub, dan sombong. Ini
ajaran yang baik sekali. Ini kamar batin, dan tentu hakikat. Seketika ia bubrah karena oleh Ustadz Felix sendiri
dikurung lagi dengan kamar syariat. Stempel haram jelas adalah perkara syariat.
Dan syariat bekerja dalam ranah dhahir. Bagaimana mungkin perkara batin semacam
ujub, riya’, dan sombong dihukumi dengan pasti oleh kamar dhahir? Bagaimana
mungkin yang lahir menghakimi yang batin? Bagaimana cara mengukur isi hati?
Tidak ada. Tidak bisa.
Boleh jadi sebuah selfie
dilakukan untuk kepentingan dokumentasi atau kenang-kenangan pada sebuah
momentum yang sangat berharga. Ia tentu tidak sahih dikat-kaitkan dengan ujub,
riya’, dan sombong. Walhasil, adanya dua kamar berbeda yang dikurungkan kepada selfie
itu menjadikan ia seketika tidak otoritatif lagi, malah berbuah polemis.
Ketiga, konsisten melihat sesuatu pada kamarnya
masing-masing akan menjadikan kita lebih bijaksana dan lepang dada dalam
menilai dan memahami sesuatu. Semua ada konteksnya, porsinya, lingkungannya,
habitnya, dan masing-masing atmosfir itu berdiri di atas kakinya sendiri.
Radikalisme agama, misal, sangat
besar potensinya dipantik oleh pemaknaan tekstual an sich, sembari
tentunya menegasi pemaknaan intertekstual. Jika semua ayat dalam Alqur’an
dipahami secara qath’i, tanpa melihat konteks asbabun nuzul dan
historisitasnya dalam kehidupan dulu dan kini, sebutlah kaidah ‘urf, mashlahah
mursalah, atau al-‘adah al-muhakkamah, sontak kita akan kehilangan
dinamisasi maknanya. Risikonya, kita menjadi muslim yang wujudnya bernapas di
era kekinian dan kedisinian, tetapi karakternya dihentakkan pada kultur Abda Pertengahan
yang kontras beda. Tanpa ampun, meletuplah friksi-friksi.
Inilah beberapa poin pentingnya selalu
berpikir metodologis. Darinya akan tumbuh kekayaan perspektif, lantas tersertailah
sikap-sikap legawa, terbuka, dan apresiatif.
Jogja,
7 Pebruari 2016
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
2 Komentar untuk "PERKARA METODOLOGI DAN DAMPAK-DAMPAKNYA"
Artikel nya bikin sy geleng2 gan, izin bookmark Thanks
Watch movie online
Tu, kan, ada yang salah kamar. Ada juga yang mustinya masih di kamar syariat, eh, nyelonong masuk ke kamar hakikat. Di situ kadang saya pengen geleng-geleng.