Pukul 03.45 tanggal 18 Pebruari 2016
kami tiba di Rembang. Berhenti di sebuah kedai kopi. Jam yang tanggung untuk
masuk ke pesantren Gus Mus. Jadilah kami ngopi dulu sembari melepas ketegangan
urat di sekujur pinggang dan punggung. Saya bayarkan 50.000 kepada bapak
penjual kopi yang kerepotan sekali menghitung berapa harga yang harus saya
bayarkan. “Kembalinnya kagem Panjenengan kemawon, Pak....”
Jelang adzan Subuh, kami masuk pesantren.
Kembali saya merasakan tempat wudhu pesantren, lalu gabung di masjid. Saya
lirik beberapa santri masih sangat imut, ada pula yang sepantar Dek Gara. Subuh
pun ditegakkan. Suasana masih temaram.
Seseorang menyilakan kami naik ke lantai
dua, istirahat. Katanya, “Mbah Yai belum kelihatan....”
Deg. Ya sudah, kami memilih tele-tele saja,
toh kami sudah janjian dari kemarin sore. Saya pun tertidur dan baru bangun di
saat kram menyerang tangan yang ketindihan kepala. Pukul 08.00. Muhlis tampak
sudah mandi. Juga Yusri. Dan Pak Rusdi. Kak Kuswaidi tak kelihatan. Terdengar
suara tet-tot dari mobil di bawah yang dibuka pintunya.
“Ribut, tolong bawain tasku ke sini,
ya,” kata saya dari jendela yang terkuak.
Saya pun mandi. Semoga Gus Mus tak
ada halangan untuk menemui kami. Pukul 09.00 seorang santri membawa kabar itu.
Kami diminta siap-siap menemui Gus Mus.
Buru-buru kami beberes lalu masuk ke
sebuah ruangan besar yang menjadi ruang khusus untuk para tetamu beliau. Sekira
beberapa menit, rewang ndalem menyuguhkan minuman dan makanan kecil.
Darinya tersampaikan sebuah cerita.
“Mbah Yai semalam nonton bola. Lalu
ketiduran. Beliau tadi bilang tak membaca SMS itu, sehingga dikira tak jadi
datang.”
Waa, pantas. Tak sampai 10 menit, sosok mulia
penuh kharisma itu masuk ke ruangan ini. Kami bergiliran menciumi tangannya,
lalu duduk dengan kepala tertekuk. Sungkan, pekewuh, dredeg, deg-deg-ser.
Komplit, lah.
Kak Kus perlahan menyampaikan hajat sowan
kami.
“Terkait undangan yang tanggal 11
Maret untuk masjid di Bantul Jogja, Mbah Yai, kami ke sini untuk....”
“Mau dibatalkan?” kekehnya.
Pembawaan beliau yang santai,
tenang, datar, dan tanpa perayaan bendera kebesaran apa pun, nggak kayak
kalian, membuat kami lebih rileks dan berani turut terkekeh. Berkali-kali.
“Iya, iya, insya Allah saya nanti
silaturrahim ke Jogja, doakan ya sehat,” ujarnya kemudian.
Saya mulai memberanikan diri buka
suara, “Mengenai hotel, Mbah Yai, nuwun sewu, kiranya menghendaki hotel
apa, njeh, akan saya bookingkan.”
“Ya yang dekat saja dari lokasi.”
“Di sekitaran jalan Solo?”
“Boleh. Tapi sudah itu nanti saja,
kalau sudah dekat-dekat, njenengan SMS saya saja....”
Saya mengangguk.
Kak Kus lalu menyodorkan beberapa
buku yang memang kami siapkan untuk beliau.
“Ini saya niru-niru Mbah Yai menulis
buku,” kata Kak Kus sembari menyodorkan dua buku karyanya.
“Alhamdulillah,” serunya. “Ayo,
dong, ditandatangani.”
“Aduh, sampun, Mbah Yai....”
“Lho, katanya tadi niru saya? Kalau
saya ngasih buku kepada orang, ya saya tandatangani....”
Kak Kus pun menuliskan catatan kecil
di bukunya lalu menandatanganinya. Gus Mus menjamah buku-buku lain yang saya bawa
dari Jogja. Ada buku Biografi Gus Dur
Greg Barton, Mencari Setangkai Daun Surga karya Anton Kurnia, Semesta
Maulana Rumi karya Abdul Hadi WM, dan Cerita Pilu Manusia Kekinian.
Di buku terakhir ini beliau berhenti, memegangnya, membolak-baliknya. Deg-deg-ser
benar jantung saya.
“Mbah Yai,” kata Kak Kus lagi. “Ini
buku saya yang insya Allah akan diterbitkan dalam waktu dekat oleh adik saya
ini,” sembari menyentuh lutut saya yang tertekuk di sebelahnya. “Mohon perkenan
Mbah Yai untuk memberikan endors buku ini.”
Dami buku Allah Maha Cemburu
disodorkan ke beliau.
“Ini buku tasawuf, ya?” ujarnya.
“Njeh.”
“Bagus ini, bagus. Iya nanti biar
saya SMS saja ya endorsnya.”
Alhamdulillah. Semua hajat kami
lancar jaya.
Kak Kus lalu melanjutkan, “Mbah Yai,
ini adik saya ini takmir masjid yang akan mengundang Mbah Yai itu. Dia juga
punya penerbit di Jogja, ya menerbitkan buku-buku ini semua....”
Beliau menatap saya, “Takmir bisa ya
punya penerbitan?” Kami terkekeh –seiring tawa lepas beliau. “Bagus-bagus bukunya
ini. Baguslah....”
“Mbah Yai, tulisan-tulisan
Panjenengan kan banyak sekali,” sambung Kak Kus. “Jika berkenan, bisa adik saya
ini diamanahi naskah-naskah Mbah Yai untuk diterbitkan....”
Kepala saya telah terlipat. Sumpah!
Deraan sungkan sangat dahsyat mengerumuni sekujur tubuh.
“Saya ada banyak tulisan. Cuma ya
saya wes nggak tahu itu gimana, ada di mana, terbit di mana, apa sudah
habis kontraknya atau gimana....”
Saya pun memberanikan diri buka
suara. “Nuwun sewu, Mbah Yai, bila berkenan, biar kami saja yang
mengumpulkan. Kalau sudah siap, saya bawa ke sini untuk dikoreksi....”
“Iya, enak itu saya,” kekehnya lagi.
“Ya sudah, boleh, kalau sastra juga menerbitkan, ya? Kayak cerpen....”
“Iya, Mbah Yai.”
“Satu buku perlu berapa cerpen?”
“Monggo nderek Mbah Yai
saja....”
“Saya kayaknya ada 10 cerpen yang
belum diterbitkan. Nanti saya kumpulkan ya.”
Alhamdulillah, ya Allah....seru saya
dalam hati. Saya tahu di antara buku beliau yang sangat sulit didapat padahal
isinya sangat bagus dan selalu relevan, yakni Kesalehan Ritual Kesalahen
Sosial. Saya pun menanyakan buku tersebut –jawabannya begini:
“Ya itu sudah tak tahu gimana
kontraknya, tak ada informasi lagi dari penerbitnya, arsipnya juga di mana wes
nggak tahu.”
“Kalau diijinkan, biar saya
terbitkan lagi, Mbah Yai....”
“Iya boleh. Boleh.”
Alhamdulillah....
Tak terduga! Allah Maha Besar, Maha
Kuasa, Maha Menggerakkan. Hajat kami ke sini aslinya cuma satu: mengkonfirmasi
kehadiran beliau untuk pengajian akbar di masjid kampung saya. Ndilalah,
dapat naskah beliau pula. Dua lagi!
Lalu beliau bercerita tentang
puisi-puisinya.
“Saya kan menulis puisi ya suka-suka
saya saja. Wong saya bukan penyair sungguhan. Cuma orang-orang sastra
itu yang suka bilang puisi saya sastra proteslah dan religiuslah dan
sufistiklah,” kekehnya meledak lagi. “Saya pengin suatu hari puisi-puisi saya
diterbitkan dengan dipilih penyair sejati. Misal, Puisi-puisi Gus Mus Pilihan
Sutardji Cholzum Bachri....” Tiba-tiba saya teringat Mas Joni Ariadinata di
titik ini. Yes, Mas Joni punya tugas negara nih, heee....
Beliau sangat ramah, rendah hati,
luar biasa. Tanpa tedeng aling-aling. Beliau menceritakan banyak hal
mulai masa kecilnya, masa nyantrinya, kuliahnya di Mesir tanpa memiliki ijasah
bawahnya (SD, SMP, SMA). Berkat tanda tangan sakti Mbah Yai Ali Maksum.
Beliau mengisahkan persahabatannya sama
Gus Mik yang mengundang banyak kekehan. Juga para kiai sepuh dan wali
Allah lainnya. Juga dilarangnya beliau oleh abahnya untuk kembali ke Lirboyo
gara-gara dikhawatirkan jadi “wali”.
Jadi, setahun beliau nyantri di
Lirboyo, pulang liburan. Kaget abahnya melihat penampilan beliau yang sangat
aneh. Pakai baju kombor berbahan kain wanita, rambut gondrong, dengan sendal
dibuat dari batang kayu kapuk dipapras dan dikasih ban.
“Bu, ndeloken anake kii....”
pekik abahnya dari halaman melihat penampilan Gus Mus. Beliau pun dilarang
kembali ke Lirboyo.
Tak lama, utusan dari pesantren
Lirboyo datang ke Rembang. Menanyakan kenapa Gus Mus tidak kembali lagi ke
Lirboyo.
“Aku sengaja melarang Gus Mus
kembali ke Lirboyo, takut nantinya jadi wali dia,” sahut si abah.
Si utusan berkata, “Kenapa, Mbah
Yai? Kan bagus kalau jadi wali.”
“Lha, saya penginnya dia jadi
kiai saja. Kayak saya. Kalau dia jadi wali, ya kalah pamor saya....”
Kami terbahak ngikik berderai.
Beliau lalu berkisah tentang masa
nyantrinya di Krapyak, Jogja. Mbah Yai Ali Maksum itu kiai yang kaya, tuturnya.
Kebun tebunya luas banget. “Suatu hari, saya ngajak teman-teman nyolong tebunya
sebelum dipanen. Kayaknya seger-seger. Lalu kami merunduk-runduk hendak
berangkat ke kebun tebu. Tiba-tiba suara Mbah Yai memanggil saya.....
“Gus, mriki....”
“Dalem, Mbah Yai....” dengan
tubuh gemetar.
“Kamu senang tebu, ya?”
Gemetar kian dahsyat menyerang
tubuh.
“Njeh, Mbah Yai....”
“Tunggu sini dulu.” Mbah Yai Ali
masuk ke dalam rumahnya, lalu keluar lagi sembari memikul seikat batang tebu
yang bagus-bagus. “Ini saya pilihkan yang bagus-bagus sebelum ditebang pabrik.
Kamu ambil ini, kasih ke teman-temannya juga, ya....”
Kami terkekeh lagi. Diiringi derai
tawa beliau. “Jadi,” kata Gus Mus. “Mbah Yai Ali itu tahu rupanya kalau saya
mau nyolongi tebunya....”
Beliau lantas mengisahkan kejadian
lucu yang belakangan ditabalkan oleh orang-orang sebagai bukti kewaliannya. “Saya
bikin cerpen tentang seseorang yang datang ke kiai, konsultasi tentang jodohnya
yang tak kunjung tiba. Kiai itu lalu menjodohkan pemuda itu dengan anaknya.
Nama tokoh itu adalah.....” Dia menyebut sebuah nama. “Ndilalah, suatu
hari, mantu anak saya ya namanya itu juga, dengan kisah begitu pula....”
Beliau juga berkisah tentang proses
awal menulis cerpen. “Danarto itu yang mendesak-desak saya menulis cerpen. Saya
bilang, kita bagi tugas sajalah, Mas. Saya nulis puisi, sampeyan nulis cerpen.”
“Nulislah cerpen, Yai,” sahut
Danarto. Dan setiap ketemu, Danarto selalu menanyakan cerpen lagi dan lagi. Gus
Mus lalu membuat cerpen. Panjang sekali, lebih 20 ribu karakter.
Lalu ditunjukkan pada Danarto. “Ini
sudah cerpen belum?”
Usai membaca, Danarto berkata, “Ya,
ya, sudah cerpen ini, cuma kepanjangan. Dipreslah, dipadatin, biar bisa dimuat
di koran.”
Gus Mus membaca lagi dan lagi cerpen
itu. Bingung mau dipangkas gimana lagi, dikirimlah cerpen karya pertama itu ke Kompas.
“Terserahlah, dimuat atau tidak, yang penting saya kirim.” Ternyata dimuat!
Sehalaman penuh, tanpa dipangkas sedikit pun. Catat, cerpen kaya pertama,
panjang tak keruan, langsung dimuat Kompas! Apa kabar cerpenmu, Kawan?
Hee..hee...
Danarto menelepon Gus Mus dan
berkata, “Wah, cerpen sampeyan dimuat dengan sangat panjang dan utuh gitu,
Yai....”
“Iya, alhamdulillah. Mungkin Kompas
takut kualat sama cerita-cerita orang tentang saya....” kekehnya. “Padahal ya
itu kan hak Kompas....”
Saya menyelipkan sebuah pertanyaan
di sini, “Nuwun sewu, Mbah Yai, terkait naskah Mbah Yai tadi, kira-kira
bagaimana ya kerja samanya? Apakah royalti atau bagaimana? Saya nderek
panjenengan kemawon....”
“Jangan nderek saja begitu,
kok ya kayak seserahan....” Ia terkekeh. “Tiap penerbit kan pasti punya
ketentuan bakunya bagaimana. Itu dikasih tahu saja ke saya. Boleh diemail atau
gimana....”
“Saestu, Mbah Yai, saya nderek
Panjenengan....”
“Nggak gitu, Dik. Pokoknya kita rembukke
aja soal itu. Yang saya setuju, iya. Yang saya kurang jelas, ya saya tanyakan.
Saya sih tak terlalu mikirkan itu, yang penting jangan ndak terbit-terbit. Itu
ada lho 6 naskah saya di sebuah penerbit, ndak terbit-terbit, ternyata sudah
hilang semua naskahnya. Sedihnya lagi, saya ya ndak punya asrsipnya sama
sekali. Sedih saya....”
“Iya, Mbah Yai, nanti saya emailkan
atau saya sowan sini lagi.”
“Iya, prinsipnya saya ndak masalahin
yang itu-itu, yang penting bisa segera terbit saja.”
“Njeh, Mbah Yai, insya
Allah cepat kok terbitnya, mungkin hanya satu atau dua bulan sudah terbit.”
“Alhamdulillah. Nanti naskah-naskah
yang lain bisa dirembukke lagi....”
Alhamdulillah, alhamdulillah....
Beliau yang seberkibar itu namanya,
kharismanya, popularitasnya, kemuliannya, sesantun itu lho. Ya Allah,
benar-benar rendah hati, ramah, dan penuh kesejukan. Kok beda betul ya sama
penulis-penulis yang nganunya macam kalian....
Sepertinya, saya bakal kerap sowan
ke Rembang ini, ketemu beliau. Seminimnya, saya harus sowan dalam maksud
membicarakan naskah-naskah beliau, teknis-teknis terbitnya, Mou-nya, sampel
cover dan layoutnya, dan ngasih sampel terbitnya.
Beliau menyerahkan sebuah kartu nama.
“Itu ada alamat saya, email saya, juga nomor handphone saya. Nanti SMS
saja....”
Dua bukunya akan segera saya
terbitkan! Insya Allah, disusul karya-karya beliau yang lainnya.
Kami lalu ngalap berkah belua dengan
meminta doa. Doa pun disulurkan. Amin. Amin. Amin.
Jogja, 19
Pebruari 2016
Tag :
Traveling
2 Komentar untuk "SOWAN GUS MUS"
Ke sana lagi.....??? Maulah diajak kapan-kapan...heee.
Saya juga...