Personal Blog

ORANG PELIT PANTATNYA ITEM

Seberapa hitamkah pantatmu?

Ahaa…coba deh bercermin, dikacain tuh pantat, atau bisa juga sih minta tolong sama teman atau pasangan atau kerabatmu untuk menyimak pantatmu dengan seksama: “Hitamkah? Setengah hitamkah? Atau putihkah?”

Jika ternyata pantatmu berwarna hitam mutlak, berarti kamu pelit mutlak. Jika rada abu-abu, kombinasi sempurna antara hitam dan putih bak racikan cat lukis Picasso, berarti kamu pun menempuh hidup yang abu-abu, antara pelit dan kagak. Tapi ingat, jika cenderung ke item, berarti kamu cenderung ke pelit. Jika cenderung ke putih, berarti kamu cenderung ke luman, meski sesekali juga pelit. Dan jika ternyata pantatmu berwarna tidak hitam, meski nggak selalu kudu putih sih sebenarnya, misal putih, ijo, kuning, coklat, orange, atau malah pink gitu, berarti kamu tergolong orang yang dermawan, penuh empati pada derita dan kekurangan hidup orang lain.

Bagaimana membuktikan teori unik ini?

Hemmm…agaknya kamu meragukan benar validitas teori warisan para nenek moyangku dari Madura itu ya.

Begini, Bro/Sist…

Teori universal menunjukkan (dan kita semua niscaya sepakat) bahwa karakter pelit mendorong pelakunya untuk ngumpetin semua hal yang dimilikinya, serapat-rapatnya. Ia nggak hanya berhenti pada level ngumpetin ini bahkan. Ia akan terdorong pula untuk terus mengejar, menjangkau, menggaruk semua apa yang bisa dikejar, dijangkau dan digaruknya sehabis-habisnya, penuh keserakahan, demi terus menumpuk hartanya.

Akibat lanjutan dari sikap ini ialah si pelaku terus didera oleh rasa kekurangan, di antara kelebihan-kelebihan materinya. Punya duit sekian, ehhh….ngerasa miskin. Punya rumah sekian, ehhh…masih ngerasa miskin. Punya mobil dan motor sekian, ehhh…masih pula ngerasa miskin.

Rasa kekurangan ini terus menderanya sampai pada rasa takut yang amat serius, yang nggak jarang, sering membuatnya migraine, stress, depresi, dan akhirnya penyakitan dah. Lalu, is dead!

Modar!

Mati gara-gara ketakutan yang sejatinya nggak pernah ada, tetapi melulu diciptakannya, di antara bayangannya sendiri yang nggak pernah benar-benar nyata. Rugi sekali jadi orang begini. Udah stress mulu, nggak bisa menikmati anugerah kelebihan hidupnya, ehhh…masih pula penyakitan, lalu mati cepat!

Kerja keras, menabung dengan disiplin, belanja barang, sebenarnya untuk siapa sih kalau bukan untuk dinikmatinya sendiri bersama keluarga dan kerabat dan sahabatnya agar bisa membawanya ke level hidup yang lebih nyaman dan bahagia?

Sungguh amat amit-amit deh pola pikir orang pelit itu. Kebolak-balik, jungkir-balik, nyungsep kagak jelas. Padahal semua yang ditimbunnya dengan penuh serakah itu, bahkan sebagian ditempuh dengan keberanian luar biasa menempuh dosa, jelas-jelas akan ditinggalkannya kelak. Semua itu akan enyah darinya, tanpa terkecuali, termasuk tahi-tahi yang saking emannya untuk dibuang sering dimasak bersantan untuk santap malam, dan bila ada sisanya, dipanasin lagi untuk sarapan paginya.

Hueekkk…

Kata orang tua di Madura, “Orang pelit itu ibarat kata tahinya sendiri akan disayur untuk makan malam dan sarapannya!”

Nah lho, kebayang nggak, bagaimana rasanya sarapan dan makan malam dengan sayur tahimu sendiri, saking pelitnya kamu, saking emannya kamu untuk melepaskan sebagian dari apa yang kamu miliki untuk dibagikan kepada orang lain. Boro-boro kok membuang duit, ini malah tahinya aja sayang sekali untuk dibuang ke habitat aslinya.

Lalu, bagaimana mungkin bila kamu bersikap pelit dalam hidup ini, kamu akan mampu menikmati indahnya kehidupanmu?

Bagaimana bisa kamu akan tertawa lepas nan bahagia jika hatimu terus-menerus didera rasa takut nggak punya dan merasa selalu masih sangat kekurangan harta?

Bagaimana bisa kamu akan mampu membuka mata hatimu sendiri untuk turut merasakan nestapa hidup orang-orang papa di sekitarmu jika kamu sendiri terus-menerus merasa sangat kekurangan?

Bagaimana mungkin kamu akan mampu menggunakan akal sehatmu untuk memahami bahwa sejatinya kamu nggak akan pernah jatuh miskin umpama sebagian hartamu diberikan kepada orang lain yang benar-benar kekurangan jika kamu sendiri selalu didera oleh pikiran bahwa kamu masih kekurangan?

Bagaimana bisa kamu akan tidur nyenyak jika kamu selalu berpikir “jangan-jangan hartamu dicuri” oleh maling atau orang-orang di sekitarmu?

Bagaimana bisa kamu akan nyaman jalan-jalan bersama kerabat atau sahabatmu jika kamu terus berpikir tentang piutang-piutang dagangmu dengan penuh kecurigaan dan kecemasan?

Dan bagaimana mungkin kamu akan menyadari bahwa seratus ribu itu sangat berharga jika kamu nggak pernah berlapang dada untuk memberikannya pada orang lain dan melihat dengan mata kepala dan hatimu sendiri betapa jumlah itu sangat berharga untuk menyambung makan si penerima pemberianmu dan keluarganya yang lapar?

Ahhh…semestinya kita mampu memahami hukum alam, sunnatullah, bahwa jika ada pemasukan pastilah ada pengeluaran. Nggak mungkin kita terus menerima setoran tanpa mengeluarkan biaya produksi. Mustahil kita bisa kenyang tanpa makan yang harus dibayar. Nggak masuk akal sama sekali kita bisa memiliki sesuatu tanpa mengeluarkan sesuatu. Persis dengan nggak mungkinnya kita ini akan terus-menerus menyuapi mulut kita dengan makanan dan minuman tetapi kita enggan untuk mengeluarkannya dalam bentuk kotoran karena begitu emannya.

Sudahlah, jangan lawan hukum alam itu, karena perlawananmu itu hanya akan membuatmu tersungkur sendiri, jatuh sendiri, sakit sendiri, lalu mati sendiri dilibas sunnatullah.

Biarkan kotoran dalam wujud tahi atau pipismu itu keluar dan pergi dengan langkah ringan dari kehidupanmu, karena mereka (ya tahi dan pipismu itu) sedang bekerja untuk menyempurnakan wujudmu, bahagiamu, di antara hukum alam ini.

Begitu pula dengan hartamu. Selalu ada sebagian kecil saja dari hartamu yang itu berpoisisi layaknya kotoran itu dan harus dikeluarkan, dibuang dari kehidupanmu, agar perut finansialmu sehat. Jika kamu terus-menerus menahannya untuk keluar, padahal itu ternyata berperan sebagai kotoran dalam perutmu, niscaya kamu akan menuai akibat buruknya: ya cemas, depresi, merasa terus kekurangan, nggak tentram, nggak bahagia, lalu penyakitan, lalu mati jantungan!

Begitulah teori kearifan orang tua di Madura menjelaskan tentang dampak buruk sikap pelit yang akan membuat pantatmu item. Ya jelas dong, gimana nggak mau item tuh pantat, jika terus-menerus tahimu nggak mau kamu buang, tetapi kamu olah lagi jadi menu makan malam dan sarapanmu, maka lama-lama tahi yang semua berwarna kuning cerah nan bahagia gitu akan kehilangan warna cerianya lantaran terus-menerus dilibas panas api tungkumu (baik disajikan dalam gorengan atau pun rebusan atau pun semuran, dll.). Pudar, pudar, dan terus pudar warna aslinya, warna bahagianya, berganti kelam, kelam, dan kelam.

Maka jangan salahkan siapa-siapa jika lama-lama pantatmu pun jadi item karena terus-menerus didera tahi hangus berwarna item solid itu.

Weekkkk…!!!

Ngarang ya?

Yoben…


Jogja, 12 Desember 2012

*) Tulisan yang sengaja dibuat jorok ini tidak memaksudkan “warna item” dalam arti rasis, tetapi sebagai simbol keburukan.
4 Komentar untuk "ORANG PELIT PANTATNYA ITEM"

Oke, setelah membaca ini jadi baru paham kalo warna kuning cerah itu lebih menyenangkan daripada item. hahahaha

saya baru mendengar ungkapan bijak ini, tentunya dari masyarakat Madura, "Oreng létér bhada ambuna. Oréng cerré' egiba paté" (Orang yang ganjen/kegenitan suatu saat akan berhenti. Sementara sifat kikir terbawa mati". Mengerikan..


:-o

hahaha........ ada ada aja..... judulnya lucu.

Abholunnas fidarqi aswal miannaaaaaaaarrrrr

Back To Top