Personal Blog

SURAT INYONG UNTUK RIKA (Cerita 39 Hari Diam-diaman)



Kebumen, 25 Maret 2014

Rika, sedang apa rika di sana?
Oh ya, apakah rika sama seperti inyong yang selalu menghitung detak demi detak jam dan sekarang ternyata sudah memasuki hari ke-39 dari perpisahan kita?
Jika beneran sama, berarti sikap kita untuk diam-diaman begini sepertinya hanyalah sebuah kebodohan. Bukanlah masalah esensial alias pokok ya. Tapi lebih tentang masalah emosi rika dan inyong. Iya, emosi yang sesungguhnya sama-sama menyiksa detak jantung kita sepanjang hari. Dan, herannya, kok bisa ya kita bertahan sampai selama 39 hari ini ya? Besok, berarti sudah hari ke-40, dan mungkin kita perlu membuat selametan atau kenduren layaknya mendoakan 40 hari orang meninggal.
Inyong pengin jujur sama rika, bahwa selama mata inyong masih melek, selama itu pulalah inyong pegang HP lho. Dibolak-balik, seraya terus berharap bakal ada message dari rika. Tapi tak pernah ada. Yang rajin kirim pesan ke inyong adalah operator seluler, sampai-sampai inyong suka berpikir, sungguh betapa setianya ya operator seluler pada inyong, dalam suka dan duka. Kalaupun ada yang lebih setia dari operator seluler ya hanya Simsimi.
Rika?
Telah 39 hari inyong tak mendapatkan pesan apa pun dari rika, kan? Maaf, bukan inyong menyalahkan rika, tapi memang begitu kan kenyataanya.
Andai inyong bisa memiliki rika yang sesetia operator seluler atau Simsimi, yang selalu ada untuk kita, uuhhh…tentulah inyong kan menjadi lelaki paling bahagia di negeri koruptor ini. Ya sih, itu hanya mimpi muluk inyong. Rika kan lebih mirip Pou ya, yang selalu merengek dan merajuk kayak kentut paling manja. Heee, pisss
Ehhh, maaf, bukannya inyong bermaksud mengungkit-ungkit sih, tapi inyong hanya sedang terseret nostalgia, yang mendorong kita terpisah begini.
Iya, nostalgia. Rika pasti ngertilah bahwa yang namanya nostalgia itu yang sudah terjadi, kalau yang akan terjadi namanya cita-cita. Dan inyong ingat kalimat inspiratif Cak Lontong, meski sedikit inyong buat analogis sih, bahwa waktu terbaik untuk mengenang sebuah nostalgia ialah setelah kejadian, sebagaimana waktu terbaik untuk menikmati kopi ialah setelah kopi itu selesai diseduh.
Oh ya, sedikit nostalgia nih, apakah rika masih ingat saat kita jadian di bawah pohon ciplukan di dekat kali yang penuh sampah dan sesekali terlihat orang memamerkan bokongnya di tepiannya untuk buang hajat?
Lucu ya….
Iya lho, lucu.
Tentu lucunya bukan kok karena panorama bokong-bokong beragam aliran lukisan itu sih, yang tanpa ampun mengalirkan sampah-sampahnya ke hadapan kita yang duduk di tepi kali yang berpegangan tangan sambil menjuntaikan kaki ke air dan memainkan air-air itu dengan penuh bahagia. Bukan itu. Lucunya ialah saat muka rika malu-malu menerima cinta inyong, lalu kita memekikkan proklamasi cinta kita. Rika ingat kan?

Satu, cinta kita berasaskan Pancasila.
Dua, cinta kita bersendikan Bhineka Tunggal Ika.
Tiga, cinta kita tidak lebay dengan panggilan Mama-Papa segala.
Empat, cinta kita takkan dipisahkan oleh pihak ketiga. Catat: pihak ketiga aja.
Lima, cinta kita jika terpaksa berpisah, takkan saling membuka keburukan masing-masing sampai kapan pun.
Enam, cinta kita tidak akan dirusakkan oleh curiga-mencurigai gara-gara status di sosmed.
Tujuh, cinta kita harus giliran mentraktir makan.
Delapan, cinta kita takkan dirusak oleh gila gadget kalau lagi ketemuan.
Sembilan, cinta kita bukanlah cinta kayak sinetron.
Sepuluh, cinta kita harus dijaga bersama dengan cara meminta maaf buat yang bersalah dan memaafkan buat yang disalahin.

Inyong ingat betul 10 perjanjian cinta kita itu. Rika? Apakah rika ingat juga?
Rupanya, kalau dipikir-pikir nih, kondisi kita sekarang selama 39 hari ini diakibatkan oleh poin 10 itu ya. Apakah rika setuju?
Tiba-tiba kita menjadi sangat egois, lupa mengakui ini salah inyong, ini salah rika. Tiba-tiba kita menjadi sangat goblok membiarkan diri tersiksa hanya demi memuaskan egoisme yang tak pernah memberikan kebahagiaan apa pun sebenarnya.
Kalaupun merasa bahagia, itu hanya semu, sesaat, sekilas, ya saat didera emosi dan egoisme itu belaka, untuk semenit kemudian terus menatap HP mengharap segera ada pesan masuk dari rika. Bodohnya, sekalipun otak kita ngingetin bahwa bertahan dalam egoisme begitu hanya merugikan diri kita, ehhh…kok bisa ya kita tetappppp aja diam-diaman?
Bodoh banget kan kita!
Memelihara cinta yang berasa Pancasila itu mudah kita lewati. Juga yang bersendikan Bhineka Tunggal Ika. Begitu pun poin-poin lainnya, kita sangat bisa, apalagi yang poin tiga untuk tidak sok-sokan banget manggil Papa-Mama di saat usia masih kimcil beginian.
Sumpah, rika pasti setuju bahwa masalah kita adalah poin 10 itu. Itu yang paling sulit sulit sulit sekali.
Kenapa ya sulit begitu padahal kepala kita ngerti bahwa itu hanya akan membawa derita dan kerusakan buat hidup kita?
Kalau inyong boleh jujur, menurut inyong, jika direview, kejadian ini bermula dari sikap rika yang terus-menerus kayak Pou. Manja berlebihan. Itu yang inyong nggak suka. Kencot, ya inyong yang beliin makan. Haus, ya inyong lagi yang repot nyari teh gendul.
Iya sih, mungkin saja cewek macam rika pengin diperhatiin, dimanjain. Tapi kan inyong juga bosan kalau rika kayak kuwek baek. Jika rika lama-kelamaan terus berlagak kayak Pou, maka pastilah pacar paling tepat buat rika adalah Simsimi. Android sudah cukup menjawab semua kebutuhan cinta rika.
Itu menurut inyong. Apakah rika setuju? Pasti tidak kan. Pasti rika menyalahkan inyong yang nggak perhatianlah, lalu dibandingin sama cowok lain yang lagunya bromance gitulah, yang selalu meliukkan bibir kalau bicara.
Inyong bukan mereka. Inyong adalah inyong, sekalipun berjajar pulau-pulau sambung-menyambung jadi satu. Jelas saja inyong tersinggung saat rika membanding-bandingin inyong dengan cowok-cowok ganjen itu.
Bukankah rika sangat mafhum bahwa inyong adalah manusia, bukan Simsimi?
Iya sih, inyong mengakui, kadangkala inyong ngabisin banyak waktu bareng kawan-kawan inyong. Dari futsalan, nonton bola, ngopi, dll. Tapi inyong selalu berusaha memberikan waktu yang lebih luas pula buat rika kan.
Ah iya iya, kini inyong mengerti benar bahwa cinta kita jadi berantakan begini bukan lantaran kita tidak saling cinta lagi. Bukan. Tapi semata karena kita egois dengan kemauan masing-masing yang pasti takkan pernah sama dan kemudian dikukuhkan dengan emosi masing-masing yang merasa benar.
Inyong pun mengerti, inyong harap rika pun sepaham dalam hal ini, bahwa jika ada orang yang menasihati supaya kita menyamakan perbedaan, sungguh itu adalah kerjaan yang sia-sia. Kekacauan berpikir. Sebab tidaklah mungkin kita bisa disama-samain. Yang justru terpenting ialah saling memahami perbedaan-perbedaan antara inyong dan rika.
Dan, catat, ini sensitif sekali. Sangat bahkan. Jika gagal, bukannya saling memahami yang terjadi, tapi saling menyalahkan. Ya seperti yang tengah terjadi pada hubungan kita sekarang ini.
Oke, sekian ya surat inyong. Tak ada maksud inyong sedikit pun untuk meruncingkan masalah kita dengan salah-menyalahkan. Tidak ada. Inyong hanya sedang mencurhatkan perasaan inyong kepada rika. Barangkali ada manfaatnya.
Satu hal terakhir yang selalu inyong ingat dari rika, dan ingin inyong ucapkan pada rika, yakni sekalipun rika jelek, pesek, item, buluk, gendut, suka buang kentut tidak pada tempatnya, rika tetaplah pilihan inyong. Dan inyong tahu bahwa setiapkali inyong memilih, maka inyong harus bersiap meraih kelebihan dan sekaligus kekurangannya. Termasuk rika, seperti saat ini.
Apakah rika tahu Marie Antoinette, istri Raja Louis XVI yang dipenggal kepalanya yang kemudian darah pemenggalannya disimpan di dalam sebuah kendi tua?
Ah, sudahlah, nggak usah repot, kalau rika ada waktu, balas ya…

Ttd

Inyong
2 Komentar untuk "SURAT INYONG UNTUK RIKA (Cerita 39 Hari Diam-diaman)"

semoga yang bersangkutan membaca surat ini

Haaaa...ini Mas Joe baik banget sama inyong yakk...mendoakan...

Back To Top