Personal Blog

“UCAPANMU KINI PASTI BERBEDA DENGAN UCAPANMU NANTI” (IDEALISME, KOMPROMI, DAN HIDUP)



Jika kini kau masih newbie di dunia teenager, baru mulai merasakan denyar perasaan sama lawan jenis, kau akan berkata:
“Aku maunya sama yang cakep, ganteng, mancung, famous, selalu ada untukku, bawa coklat tiap malam minggu, dan selalu ngertiin aku.”
Setelah usiamu bertambah 5 tahun, kau akan berkata begini:
“Aku lebih suka yang pintar, pengertian, bisa melindungi aku, perhatian sama aku, apalagi tiap ngapelin selalu bawa Honda Jazz RS dan ngajak candle light dinner…”
Saat usimu bertambah 5 tahun lagi, kau akan berkata begini:
“Harapanku sih dapat pasangan yang serius, punya penghasilan, terdidik, soal fisik sih buatku itu bonus doang. Syukur-syukur dia keren….”
Saat usiamu kian senja dari era young adult, kau akan berkata:
“Ya Tuhan, datangkanlah jodohku. Yang serius mau menikah. Aku udah nggak ada waktu lagi untuk pacaran…”
Saat usiamu sudah bertambah cukup jauh, kian memasuki waktu tahajjud, kau akan berkata:
“Ya Tuhan, beri aku jodoh. Yang penting jodoh….”
****
“Tidak ada kompromi, perjuangkan idealisme sampai mati!”
Kalau pekikan Akhiles pada Hektor begini, “There is no negotiation between a man and lion!”
Ogah! Kalau mau mati, ya mati silakeun mati aja sendiri. Saya teh masih demen jalan-jalan, ngopi, nonton bola, yang semua itu kagak bisa saya lakukan jika saya sudah mati. Bahkan, saat mulai menua dan didera seabrek pantangan.
But, jelas statemen itu tidak lantas akan menjadikan saya penjilat, Mr. Okay, oportunis, sebab saya punya otak, prinsip hidup, dan keinginan.  Bahwa saya harus memperjuangkan prinsip hidup dan keinginan saya, ya tentu itu kudu. Tetapi saya pun harus memahami bahwa kadangkala prinsip dan keinginan saya tidak bisa ditegakkan seratus persen, mesti dikomunikasikan, bahkan dikompromikan. Beragam kondisi, orientasi, dan sudut pandang jelas akan sangat bermain di situ.
Sampai di sini, kalian pasti paham kan, bahwa di hadapan helai-helai kehidupan, sejatinya kita tidak akan bisa berdiri seratus persen di atas kaki idealisme kita an sich. Tidak bisa. Apa yang kita katakan hari ini niscaya akan mengalami pergeseran, bahkan perubahan, yang itu tidak bisa gegabah disebut sebagai ababil, mencla-mencle, tidak konsisten. Tidak.
Why?
Lantaran hidup ini mengerami jutaan atau milyaran idealisme, yang boleh saja sebanding dengan jumlah kepala yang berdenyut itu sendiri. Semua jenis idealisme di kepala yang berdenyut itu dibiarkan hidup oleh kehidupan ini. Sebagian di antaranya menyeruak jadi mainstream yang dominan, sebagian lainnya berkelejar di bawah tanah sebagai klandestin. Dua-duanya tetaplah idealisme. Dua-duanya tetaplah kehidupan.
Pilihanmu pada kutub mainstream dominan atau klandestin jelas menjadi wewenangmu, sekalipun niscaya pula kau akan menuai konsekuensinya masing-masing, menyenangkan atau memilukan.
Guys, jelas saja, kagak ada orang yang tidak akan kecewa (setidaknya dalam hatinya) jika prinsip dan keinginannya (sebutlah ia idealisme) tidak bisa diwujudkan seratus persen. Kekecewaan yang mungkin menyesaki setangkup hatimu akibat tidak terpenuhinya sebuah idealisme lantaran bertabrakan dengan idealisme lain yang lebih kekar. Dari hal gede sampai kecil, dari urusan valas sampai kimcil.
Mari coba berpikir begini:
Segala jenis tabrakan tidak pernah membuahkan kebahagiaan sejati. Tidak. Setiap tabrakan akan selalu bekerja dalam hukum “Menang jadi arang, kalah jadi abu.” Selalu begitu. 
Jika kau sudah mengerti hukum alam ini, harusnya kini kau bisa memahami betapa pentingnya sebuah kompromi. Iya, kompromi, bukan sarimi, indomie, parmini, atau pun pamimi.
Bahwa kau perlu memperjuangkan idealismemu (prinsip dan keinginan), itu jelas. Tapi bahwa kau pun akan selalu berhadapan dengan idealisme orang lain (prinsip dan keinginan), itu pun jelas mesti kau pahami selalu. Jika kau paksakan idealismemu terus melaju tanpa rem dan kemudi, tanpa ampun kau akan memicu tabrakan. Risikonya selalu tak berubah: kau akan jadi arang atau abu.
Rem dan kemudi itulah yang saya maksud sebagai kompromi.
Bukankah tidak berarti bahwa jika kau menggunakan rem dan kemudimu sesekali di jalanan, lantas kau tak akan sampai ke tujuan?
Bukankah justru jika kau mampu mengerem dan mengemudi dengan baik, maka kau akan selamat dan sampai tujuan dengan alhamdulillah?
Begitulah hidup, Kawan.
Ada saatnya kau leluasa melaju cepat sekuat akselerasi SLK 250, ada kalanya kau harus melaju pelan sambil mengerem bak siput sakit pinggang, atau bahkan ada kalanya kau harus mengerem total dan menjauhkan kakimu dari pedal gas bak batu kehabisan bensin.
Kompromi, ya rem dan kemudi tadi, sama sekali bukanlah sebuah kebodohan, apalagi kekalahan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Bukankah kau tak akan bisa mengecap madu kehidupan jika kau berada dalam situasi bertabrakan? Bukankah ngemil tahu isi rumput jauh lebih yummy dinikmati saat ngedate dibanding makan steak sambil dibentak-bentak oleh pacarmu yang geje hasil kenalan di tweeter dan facebook itu?
Kompromi, dalam bahasa Islam, adalah kalimatun sawa’. Kesepahaman. Common sense, kata orang Manchester. Sarojuk, kata orang Madura. Inyong iyak, kata orang Tegal. Cixis, kata orang Istanbul. Ehh, itu exit ding. Ngoahaaa
Hemmm, boleh jadi kini galaumu ialah tentang “Ntar kalau kompromi, gimana idealisme ane?”
Guys akhi wa ukhti, afwan before, sebenarnya kau hanya tinggal menciptakan peta di dalam jiwamu, pikiranmu sendiri, seputar batas yang “Inyong yes” dan “Abdi teh no” (jujur, saya belum pernah di manapun menemukan merek teh no, lho). Ya, peta! Peta yang akan menempatkanmu pada batas jelas berdasar prinsip dan inginmu, meski pula batas itu pun tidaklah perlu dipancang dengan tiang beton. Maksud saya, dalam proses kompromi itu, kau akan mengalami proses negosiasi. Kata orang Jogja, rembakan. Di situlah posisimu untuk memperjuangkan idealismemu. Jika dalam laju negosiasi tersebut kau merasa idealismemu tersingkirkan, tak terakomodir sama sekali, di situlah batas yang harus kau bela. Tapi, catat, membela batasmu bukanlah stempel sah bagi egoisme dan arogansi. Kau tetap harus berada dalam ranah good attitude.
Kau tak perlu mencak-mencak, apalagi memaki-maki, jika idealismemu tak terakomodir. Paling banter kau hanya perlu untuk diam dan mundur. Diam dengan tsakep, mundur dengan tsakep. Ya, itulah batas idealisme yang saya maksudkan patut menjadi sikap kita.
Absolutely, saya tahu bahwa apa yang disebut batas, negosiasi, good attitude akan selalu berpusar di lembah yang relatif. Fleksibelitas. Subyektivitas. Iyes itu, pasti. Tapi, saya kira hal-hal demikian tidaklah laik untuk dijadikan senjata apologi kan? Apologi untuk mengesahkan diri sendiri bertindak di luar batas kepantasan tata nilai kemanusiaan.
Ya, hidup memang serba subyektif, karenanya relatif, tetapi akuilah bahwa sejatinya obyektivitas itu hanyalah kumpulan-kumpulan subyektivitas yang bertemu di satu titik, di kalimatun sawa’ itu, di kompromi itu. Di hadapan kutub-kutub itu, kita semua selalu mengenal dan mengacu pada apa yang disebut sebagai:
Satu, tata nilai universal. Nggak peduli kau orang Inyong, Abdi, Engkok, Ana, I, Je, dll., kau akan selalu terukur melalui tata nilai universal itu. Berkata, “Mbahmu tuek!” pada orang lain, jelas merupakan sebuah pelanggaran tata nilai universal. Selain ia bernilai makian yang tak sopan, sisi lainnya ia jelas sebuah kebodohan. Ya pasti dong, coba pikir, mana ada sih simbah yang masih teenager coba?
Dua, agama. Agama apa pun tak mengesahkan ketidaksantunan alias kezaliman diperagakan oleh pemeluknya. Bahkan, do you know?, di kalangan suku primitif penganut keyakinan tribal sekalipun, salah satu taboo yang nggak boleh dilanggar ialah soal susila alias kesantunan sebagai basic attitude.
Jadi, sungguh nggak ada alasan logis, juga spiritual, apa pun pada kita untuk bertindak tidak etik pada siapa pun atas nama apa pun, termasuk idealisme itu.
Karenanya, saya ingin menandaskan, bahwa orang yang mendesakkan idealismenya tanpa membuka pintu kompromi apa pun pastilah orang yang dekat dengan potensi bad attitude. Sebab, ia rentan menabrak!
Orang yang isi kepala dan tindakannya selalu tentang idealismenya seratus persen pastilah orang yang belum pernah disodori billing yang harus dibayar dengan uangnya sendiri, bukan?
Saat ia berhadapan dengan billing, ia baru akan mengerti bahwa dalam hidupnya ia perlu mengoles senyuman di bibir, bernegosiasi dengan asyik, yang jelas mensyaratkan good attitude.
Jika hari ini kau belum mengerti benar makna note ini, kelak kau akan lebih tahu bagaimana cara menciptakan “benang merah kompromi” antara idealisme dan kehidupan saat kau mulai berhadapan dengan billing dan real society.
And it will come soon
Jogja, 14 Maret 2014
1 Komentar untuk "“UCAPANMU KINI PASTI BERBEDA DENGAN UCAPANMU NANTI” (IDEALISME, KOMPROMI, DAN HIDUP)"

Hahaaa...setuja sekali Pak Edy, eh setuju. Heee...

Back To Top