Personal Blog

#SILABUSMENULISNONFIKSI By Edi Akhiles



Ini contoh buku non fiksi "Putusin Nggak, Ya?"




Pengantar

OMG halloo….!
Upps, sorry, keceplosan, kena virus Ganteng Ganteng Srikaya itu, seharusnya bagian ini dibuka dulu dengan syukur alhamdulillah. Iyes! Thx for God yang telah baeeekkkk banget pada saya sekalipun saya sering jadi orang nggak baik.
Thx berat juga buat my prophet, Muhammad Saw., ingkang sampun paring teladan kagem kito sami.
Kawan, saya termasuk orang yang:
Pertama, tidak percaya bahwa menjadi penulis itu berkat gen, bakat, keturunan. Menulis itu skill, dan namanya skill hanya akan dicapai dengan baik bila didasari dengan ketekunan dan kegigihan. Tiada tara. Tiada lelah.
Kedua, namun bedanya skill nulis dengan skill teknik lainnya ialah menulis juga menuntut kekuatan state of mind. Opo kui? Gampangnya, kemampuan berpikir sistematis, logis, argumentatif, yang ini jelas harus based on knowledge.
Ketiga, nggak ada penulis tsakep yang nggak tsakep pengetahuannya. Bergaul dan ngobrol dengan orang yang isi kepalanya tsakep tentu menyenangkan. Makanya, nggak usah heran, banyak sekali penulis yang sangat bid’ah tampangnya, tapi berhasil menaklukkan cewek kueeren sekali sebab isi kepalanya.
Keempat, penulis fiksi harusnya juga piawai menulis non fiksi. Ini tidak sebaliknya otomatis sama. Penulis non fiksi belum tentu jago nulis fiksi lho. Huaahh, betapa kerennya kan penulis fiksi itu.
So, so, setelah saya menulis #SilabusMenulisFiksi, bikin Kampus Fiksi, kini saatnya saya bantuin kalian yang minat menulis non fiksi dengan buku #SilabusMenulisNonFiksi ini.
Silakan tulisan ini dikopi, di-share, seluas-luasnya. Jika bernilai kebaikan, jadi jariyah buat kita semua, saya niatkan untuk almarhumah ibu saya yang lelap sejak tahun 2010 di Ma’la, Mekkah .
Kelak, insya Allah, saya akan bikin kelas khusus untuk Kampus Fiksi edisi Non Fiksi. Aneh ya istilahnya?
EGP…..
Jogja, 5 Juni 2014


Kenalan Sama Si Non Fiksi Dulu, Yuk….
Apa itu tulisan non fiksi?
Gampangnya, ia adalah jenis tulisan yang berkarakter ilmiah, berbasis data, dan dianalisa dengan sistematis. Kita mengenal selama ini ada tulisan berupa disertasi, tesis, skripsi, makalah, artikel, esai, resensi, hingga feature. Nah, itulah ragam rupa tulisan non fiksi. Ia dicirikan oleh hanya satu hal: ilmiah.
Berbanding terbalik dengan fiksi kan (cerpen atau novel), yang bersifat cerita dan rekaan.
Itulah ciri paling sederhananya.
Namun, buru-buru saya harus jelaskan di sini bahwa tidak berarti tulisan fiksi itu lebih rendah kelasnya dibanding non fiksi. Penulis fiksi tidak boleh disebut kurang pintar dan cerdas dibanding penulis non fiksi.
Kenapa?
Sebab dalam menulis fiksi yang baik, ya yang baik sih ya, kau sangat membutuhkan kekuatan logika pula, sistematika berpikir pula, penguasaan data pula. Pendeknya, penulis fiksi dan non fiksi sama-sama harus memiliki kualitas state of mind yang baik. Tanpa topangan itu, penulis apa pun hanya akan muter-muter kayak odong-odong kedinginan.
Justru, maaf aja nih, saya ingin menyatakan di sini bahwa penulis fiksi mestinya lebih tsakep daripada penulis non fiksi. Mengapa? Sebab penulis fiksi yang ber-state of mind baik, pastilah juga piawai menulis segala jenis tulisan non fiksi, dari makalah, artikel, sampai resensi, dan feature. Ini tidak berlaku otomatis lho, penulis non fiksi lalu ahli menulis fiksi. Tidak. Sebab untuk menulis fiksi yang baik, kau harus memiliki kualitas logika cerita dan jelajah imajinasi yang baik pula, yang hal ini tidak menjadi tuntutan bagi penulis non fiksi.
Masih kurang yakin?
Mari bandingkan petanya: menulis non fiksi membutuhkan penguasaan data dan analisa yang logis-sistematis, sedangkan menulis fiksi membutuhkan imajinasi, penguasaan data, penuturan cerita yang logis.
Jika unsur “analisa data” dalam tulisan non fiksi bersifat sistematika yang logis, maka unsur “analisa data” dalam tulisan fiksi bersifat cerita yang logis. Keduanya (sistematis dan logis) memiliki sifat dasar yang sama: sama-sama membutuhkan pondasi state of mind yang baik.
Selain itu, penulis fiksi lebih diuntungkan daripada penulis non fiksi dalam hal kemampuan berbahasa, berdiksi, dan bertutur yang lebih kreatif dan imajinatif tentunya. Membaca tulisan non fiksi karya seorang penulis fiksi pastinya akan lebih hidup, tidak monoton, dan reflektif.
Wow, kan?

Unsur-unsur dalam Tulisan Non Fiksi
Pada dasarnya, ragam jenis tulisan non fiksi itu memiliki unsur-unsur yang sama. Iya, tentu dengan hanya sedikit sekali perbedaan antar variannya. Kisi-kisi formalnya yang berbeda.
Secara umum, passion orang dalam menulis non fiksi ialah artikel. Dan segala unsur  dalam tulisan artikel sebenarnya “mewakili” segala unsur dalam tulisan berjenis makalah, esai, feature, dan resensi.
Sebab itu, di sini, saya akan berfokus pada tulisan non fiksi berjenis artikel saja. Soal jenis-jenis lainnya macam makalah, esai, feature, dan resensi, akan saya singgung sebagai tambahan di bagian belakang untuk memperjelas kisi-kisi perbedaannya doang.
Apa itu artikel?
Tadi sudah disinggung di awal, bahwa artikel merupakan jenis tulisan ilmiah. Sebuah tulisan disebut ilmiah jika berbasis data dan analisa sistematis.
Maka, kesimpulannya, artikel ialah sebuah tulisan yang berbasis data dan dianalisis secara sistematis (runtut, logis).
Paham, ya? Iya aja deh….
Oke, lanjutkan. Sekarang kita bicara tentang struktur atau unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah tulisan artikel.

1. Ide/Topik/Tema
 Apa yang ingin kau tuliskan? Itulah idenya. Ide adalah “pokok hal” atau “pokok permasalahan” yang akan kau teliti dan tuliskan. Semakin tsakep idemu, semakin kerenlah tulisanmu. Karena itu, tulislah hanya ide-ide yang tsakep. Ciri ketsakepan sebuah ide ialah “aktual, bergreget, penting, memantik rasa ingin tahu pembaca”.
Misal. Sekarang lagi ramai tentang sosok Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden. Apa yang ingin kau tuliskan tentang mereka?
Lalu kau munculkan ide berdasar “pokok permasalahan”.

Jokowi atau Prabowokah Sang Pembasmi Koruptor?
Modal Militer Prabowo untuk Libas Korupsi
Watak Kesederhanaan Jokowi Ditakuti Para Koruptor

Ya, itu hanya beberapa contoh. Di dalamnya, ada pokok permasalahan yang akan kau teliti dan tuliskan, yakni “presiden dan pemberantasan korupsi”.
Lain lagi dengan ide yang berbasis “pokok hal”. Ide sejenis ini tidak berbasis “masalah”, tapi bersifat pengetahuan atau motivasi.
Misalnya:

Pentingnya Tahajjud untuk Mengundang Jodohmu
Bahagia Itu Sederhana, Santai Sajalah….
Agresi Israel ke Tanah Palestina
Korupsi dalam Kacamata Islam
Saat Kodifikasi Agama Jadi Kiblat
Pacaran itu Haram atau Tidak, Ya?

Mungkin, kalian yang tsakep akan bertanya di sini, lalu apa bedanya ide dengan judul?
Sering pula ide itu disebut topik atau tema lho. Pada intinya, ia adalah hal yang ingin kau teliti dan tuliskan. Otomatis, judul pun akan sesuai dengan ide itu, bukan? *Iya aja deh….*
Tentu nggak asyik jika topikmu, temamu, idemu tentang “korupsi adalah bagian dari kekufuran”, tapi judulmu ternyata nggak mencerminkan itu sama sekali. Maka, gampangnya, judul yang kau pilih kemudian boleh sama atau berbeda dengan idemu, asalkan tetap mewakili, mencerminkan idemu.

2. Data
Setelah dapat ide, kau harus kumpulin data. Bagus lagi, ide yang akan kau tuliskan sudah kau kuasai data dan keilmuannya. Sudah mendalami dan menguasainya.
Data yang kau pilih haruslah data yang akurat. Jangan data abal-abal tidak jelas juntrungnya.
Ciri data yang akurat itu ialah ilmiah, yang bisa dibuktikan dengan memiliki sumber rujukan yang jelas. Haram hukumnya menggunakan rujukan semaca “menurut sebuah penelitian” atau “katanya” atau “konon” atau…. Harus jelas menurut siapanya.
Bukankah mendapatkan kepastian itu sangat penting? Haaaa….
Misal kau dapat data dari sebuah buku atau artikel atau situs yang terpercaya (tentang situs-situs ini bertelitilah ya, sebab banyak sekali situs yang hanya bersifat propaganda, sama sekali tidak ilmiah). Ciri lainnya ialah ia banyak dikutip atau dipakai orang.
Ciri sebuah data patut diragukan keilmiahannya ialah “sensitif konflik” (ini jangan disamain dengan istilah polemik atau ikhtilaf ya). Hari gini, jangan mudah terprovokasi oleh “ke-wah-an” sebuah tulisan yang kesannya menggelegar. Lebih baik cari saja sumber-sumber data yang kredibel, lazim, popular, dan terpercaya.
Oh ya, saya tandaskan satu hal lagi di sini, bahwa ilmiah bukan berarti lalu tidak ditentang orang lho ya (sedunia setuju gitu). Yang terpenting ialah data yang kau kutip ialah data yang jelas sumbernya dan sumber itu sendiri (usahakan) tidak diragukan kapasitasnya.
Lantas, data yang kau ambil tidak perlulah sekarung gitu. Ambil data yang kau butuhkan saja sebagai penopang keilmiahan tulisanmu.
Ada data yang disebut data primer dan sekunder. Nah, data primer inilah yang harus kau pegang. Soal data sekunder sifatnya pelengkap dan penambahan belaka.
Data primer ialah data yang berkaitan langsung dengan ide yang akan kau tuliskan dan bersifat teori atau data besar. Jika tentang korupsi di Indonesia, sebutlah itu data berdasar KPK. Data sekundernya misal tentang ketidakadilan pembangunan di Indonesia Timur.
Dalam dunia akademik, data primer yang paling dihormati ialah buku, lalu jurnal, lalu media massa, lalu sumber online. Tapi dalam tulisan artikel, peta ini lebih longgar sih.

3. Pembukaan
Setiap artikel tentu harus memiliki bagian pembukaan dulu. Ia menjadi semacam pengantar terhadap ide yang akan kau ulas. Mau sekadar satu atau dua paragraf, ia harus ada.
Bentuk pembukaan yang keren ialah merangsang pembaca untuk melanjutkan membacanya. Ya, setelah judul yang bergreget, pastikan kalimat-kalimat pembukamu juga bertaji ya. Ia bisa dikemas dalam bentuk kutipan atau pertanyaan atau “provokasi” bahkan, dll.
Misal yang berbentuk kutipan:

Nyaris separuh penghuni bumi Indonesia ini masih didera kemiskinan, dan itu merupakan buah haram korupsi. Begitulah data riset terbaru yang dikeluarkan oleh LSM Belum Sempat Korupsi Juga (2014). *contoohhhhhh….

Bentuk pertanyaan:

Mau tahu berapa juta di tahun 2014 ini anak-anak Indonesia yang tidak tersingkir dari bangku sekolah hanya karena kemiskinan? Ya, kemiskinan yang ditebar oleh tangan-tangan kejam koruptor.

Apa benar pacaran itu haram sepenuhnya, tanpa pengecualiaan sedikit pun? Apa lantas juga berarti benar bahwa semua pelaku pacaran itu adalah para muslim sesat, sebagaimana dipekikkan oleh para pengusung fiqh serba subhanallah dan anti dialog itu? *ngoaahhaa…

Bentuk “provokasi”:

Inginkah Anda menjadi satu dari jutaan orang yang berdiam diri menyaksikan pemerkosaan-pemerkosaan terus menayang di depan mata? Masihkah Anda bertahan hati untuk duduk manis menyaksikan kenyataan kian maraknya kekejaman seksual, yang sebagiannya mulai mendera anak-anak tak berdosa itu?

Ya, ya, banyak lagi contoh model lainnya. Intinya, pembukaan haruslah menarik, memikat, dan “memaksa” pembacamu untuk melanjutkan membaca tulisanmu, bukan malah melipat, angop ngantuk, lalu lelap berbantal tulisanmu. Kalau sampai terjadi yang kedua ini, pertanda tulisanmu sukses menjadi pengantar tidur.

4. Analisa sistematis
Data yang sudah kau kumpulin selanjutnya harus kau kuasai sekaitan dengan idemu tadi. Inilah proses analisa.
Analisamu haruslah berjalan secara sistematis. Runut. Jangan lompat-lompat ke sana-sini  tidak runtut. Sistematika adalah cerminan cara berpikirmu. State of mind-mu.
Dari bagian pembukaan, analisa, sampai penutup, harus kau jalinkan secara runtut, saling menunjang dan mendukung. Kagak lucu bingiiittt jika analisamu nggak sesuai dengan kesimpulanmu.
Itu sama persis dengan kau berkata, “Aku sayang kamu,” padahal kau tak pernah bertemu dengannya kecuali di sosmed dan BBM sehingga kau tidak pernah bisa menyediakan bahumu secara nyata untuk jadi sandarannya. Sayang macam apa coba yang begitu? Jawab….!!! Eaaakkkk…..haaaa….
Ya, sistematiskanlah cara berpikirmu, runtutkanlah, mengalir teratur, runut, agar analisamu tersaji dengan jernih dan enak.
Saran tambahan, buatlah kerangka tulisan untuk membantumu meruntutkan analisasmu. Misal, di bagian pembukaan, poin-poin apa yang ingin kau sajikan. Lalu di bagian pembahasan, kau kutip sebuah teori, dilanjutkan dengan data-data lapangan, dan dilanjutkan lagi dengan pendapatmu pribadi. Di bagian kesimpulan, kau tegaskan inti dari semua analisamu itu.
Ya, buat corat-coret saja seputar plot tulisanmu itu mau kayak apa. Ini pasti sangat membantu membuatmu fokus dan sistematis.

5. Kesimpulan
Tentu, artikel harus ada kesimpulannya. Kesimpulan di sini tidak melulu harus berupa solusi lho ya. Ia bisa bersifat penegasan teori, atau data lapangan, atau motivasi tertentu terkait ide tulisanmu.
Misal, idemu tentang “korupsi itu adalah salah satu bentuk kekufuran”. Maka kau bisa memungkasi tulisanmu dengan kesimpulan begini:

Sudah jelas sekali berdasar tuturan Sayyid Sabiq di atas, bahwa kafir bukan semata tentang ingkar tauhid. Berbuat kerusakan di muka bumi juga merupakan bentuk praktik kekafiran. Dan tentu saja, korupsi adalah salah satu bagiannya.
Jadi, masihkan Anda mau korupsi?

Begitu juga bisa, kan?
Bisa pula kau akhiri kesimpulan artikelmu dengan sebuah quote atau puisi bahkan. Yang terpenting, apa pun itu, kudulah selaras dengan bagian analisamu tadi.
Misal:

Rasanya, cukup telak untuk menandaskan ucapan bijak Einstein di sini bahwa “Ilmu tanpa agama hanya akan menjadi kebutaan dan agama tanpa ilmu hanya akan menjadi kelumpuhan.”

Banyak caranya, kan? Prinsipnya, kesimpulanmu harus selaras dengan analisamu.

Tips-tips Praktis Lainnya
Berikut beberapa poin tambahan dalam menulis artikel dan sekaligus kaitannya dengan peluang publikasinya di media massa.

1. Ide aktual atau ide penting bagi publik luas
Jika kau ingin artikelmu dimuat di media massa, salah satu hal yang kudu kamu sadari benar ialah tentang aktualitas ide artikelmu atau ide penting dari artikelmu.
Ingat, media massa itu harian atau mingguan ya. Waktunya berkelebat cepat. Semudah kau cinlok di acara Kampus Fiksi, lalu putus seminggu kemudian sebab hanya berdasar emosi sesaat aja. Haaaa….
Wajar saja jika sifat media massa yang demikian menghasratkan mereka selalu “berburu aktualitas”. Semakin aktual ide artikelmu, hot news begitu, maka semakin besar peluang tulisanmu dimuat.
Khusus untuk momen-momen rutin tahunan, misal lebaran, hari kemerdekaan, hari ibu, Sumpah Pemuda, Hari Galau, dll., sebaiknya kau juga memiliki jadwal yang akurat. Sehingga kau bisa mempersiapkan tulisanmu jauh-jauh hari dan dibidikkan secara tepat pada waktunya.
Nah, ini tips amat penting lho. Jangan sampai kau menulis artikel yang nggak aktual, apalagi nggak penting pula bagi publik luas.
Jika tulisanmu tidak memiliki aktualitas momen, pastikan ia mengandung ide yang amat penting untuk publik luas. Semakin menarik segmen pembaca seluasnya, maka akan semakin berpeluang pulalah artikelmu dimuat.
Misal, tentang pacaran Islami, adakah?
Ide ini jelas tak kenal momen, kan. Mau ditulis kapan saja juga bisa. Namun, pastikan, bahwa idemu itu memiliki muatan yang menarik untuk diketahui atau dibaca masyarakat luas.

2. Kekuatan dan aktualitas data
Pastikan untuk riset data ya sebelum menuliskan idemu. Jangan menulis dari ruang kosong, agar tulisanmu bertaji. Data-data yang kau kumpulkan haruslah data yang akurat pula, baik secara legitimasi sumbernya maupun aktualitasnya. Jangan sampai kau pakai data yang sudah direvisi atau diperbaharui ya, sebab itu justru hanya akan menunjukkan bahwa kau tidak punya tradisi membaca dan menguasai data yang baik.
Malu-maluin atuh….
Mengutip dari tokoh-tokoh besar yang terkait dengan ide yang kau tuliskan bisa dijadikan salah satu tipsnya. Misal kau akan menulis tentang ide khilafah islamiyah (Negara Islam), maka mengutip pemikiran Abul A’la al-Maududi, Abdur Razzak, Ibnu Taimiyyah, atau Yasser Auda bisa menjadi kekuatan datamu.
Misal lain kau akan menulis tentang masalah cinta, kau bisa kutip pemikiran Kahlil Gibran, Erich Fromm atau pun Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Misal kau ingin menulis tentang feminisme, maka kau bisa kutip pemikiran Lia Nurida, Pia Devina, atau Farrah Nanda, dll. *abaikan*
Tapi, ingat pula, bahwa kekuatan data bukanlah berarti tulisanmu berisi kutipannnnnn mulu. Tidak. Sekali lagi, data ilmiah yang kau kutip dalam artikelmu adalah penunjang kualitas keilmiahan tulisanmu saja yaMaka ambil seperlunya. Kau sebagai penulis sendiri jelas harus bereinversi, berkonsep, bak peneliti dan penemu atau pencetus pula, sehingga kau pun harus menyodorkan pula analisamu dan pendapatmu.
Baiklah, itu disebut sebagai intersubyektif. Kita kunjungi yuk….

3. Analisa Intersubyektif
Tidak ada seorang penulis bagus yang hanya mengamini data. Ia haruslah memunculkan pendapatnya terhadap ide yang dituliskannya. Karena itulah ia harus mampu membuat analisa.
Soal kau berpendapat akhir setuju atau tidak terhadap data tulisanmu di hadapan publik, itu bukanlah masalah. Yang terpenting, kau harus menyajikan analisa terhadap ide dan data, lalu munculkan pendapatmu terhadapnya.
Semakin kuat datamu, semakin detail analisamu, maka akan semakin kuatlah argumenmu, kan? Itu tanda kau mampu melakukan analisa yang tajam terhadap ide yang kau tuliskan.
Otomatis, ketika kau menyimpulkan tulisanmu nantinya, kau sudah melahirkan sebuah pandangan, pendapat, bahkan teori tentang ide itu. Semakin tajam dan fresh pendapatmu, berarti semakin kerenlah intersubyektifmu.
Apa itu intersubyektif?
Gampangnya ia adalah “kegelisahan intetelektualmu”, “kritisimu” terhadap ide yang kau tulis. Ia adalah pemahamanmu terhadap sebuah masalah, yang telah kau kuasai dengan penelitian dan pemikiran, lalu kau munculkan sebagai pendapatmu.
Itulah intersubyektif.

Apa pendapatmu tentang relasi korupsi dan kekafiran?
Apa pendapatmu tentang isu bahwa wanita itu nyebelin?
Apa pendapatmu tentang paham bahwa pacaran itu haram mutlak?

Nah, jawabanmu terhadap semua contoh pertanyaan itu adalah buah intersubyektifmu.
Tentu dong, bukan asal jawaban, tapi berbasis data yang dianalisis secara argumentatif dan ilmiah.
Eh, ngomongin tentang ilmiah, simaklah poin tentang state of mind.

4. State of mind
Artikel itu haruslah ilmiah. Nah, pondasi tulisanmu kian ilmiah bukanlah sebab bertaburnya kata-kata yang gawaaattt itu, tetapi seberapa kuat sistematika berpikirmu, logika analisa tulisanmu, atau state of mind-mu.
Sekali lagi, kau takkan bisa menulis artikel yang sistematis enak dibaca jika kau tidak memiliki dasar state of mind yang baik.
State of mind adalah kerangka berpikir yang logis dan sistematis. Ia harus dicirikan argumentasi yang kuat berdasar data dan analisa. Ia juga berlandaskan kerangka teori.
Pusing?
Ya sudah deh, nggak usah diperluas, cukup kau pahami saja bahwa state of mind itu adalah kemampuan berpikir logis dan sistematis. L
Iya, poin ini memang tidak bisa disulap dong, butuh proses pembelajaran tiada henti. Yakinlah, semakin kau banyak membaca, berpikir, dan menulis, pastilah state of mind-mu akan kian kuat kok.
Otomatis, tulisanmu akan kian ilmiah, kian argumentatif, kian sistematis.
Ya, baca, baca, diskusi, diskusi….

5. Fair pada Data
Penulis itu cendekiawan lho. Dan cendekiawan yang baik pastilah semangatlah ialah gerakan dinamika keilmuan. Bukan propaganda partisan dalam bentuk apa pun, kayak nganu itu.
So, kuncinya ialah kau harus fair pada data yang kau kutip. Jangan sekali-kali memperlintiri data apa pun demi sekadar mendukung kepentingan tulisanmu. Sekali lagi, “Jangan pernah MEMPELINTIR data!” Itu namanya pengkhianatan intetelektual lho. Efek negatifnya sangat besar ke publik, yakni penyesatan opini. Dan ini mengerikan sekali dampaknya.
Jika sebuah data berkata A, maka kau harus bilang itu A. Jangan diakal-akali supaya menjadi B, sesuai maumu. Tidak boleh. Harammmmm…!!! Dosaaa……!!! *cari aja sendiri dalilnya gih* J

6. Catatan Kaki dan Catatan Perut
Dalam artikel media massa, tidak dipakai catatan kaki, tetapi catatan perut. Kecuali kau menulis untuk sebuah jurnal ilmiah, memang dipakai catatan kaki. Ya sih, mudah dimaklumi, sebab adanya catatan kaki dalam atikel koran pastinya bakal bikin ribet membacanya.
Catatan perut itu lazimnya hanya ditulis begini (misal).

Pandangan saklek tersebut cukup berbeda dengan analisa Edi Akhiles dalam bukunya, Putusin Nggak, Ya? (2014), bahwa pacaran….
Pendapat yang menyatakan bahwa korupsi adalah bagian dari kekufuran itu muncul dalam tulisan Sayyid Sabiq (1995), ….
Dalam bukunya, Truth and Method (1992), Hans-Georg Gadamer menegaskan….
Apa yang dituturkan Amir Pilliang (2000) tentang galaksi simularka itu….

Begitulah contoh catatan perut. Tidak perlu pakai halaman berapa juga. Sekali lagi, jangan manipulasi sumber data ya. Harammmm…..!!! OMG hallowww…. J
Kalau catatan kaki penulisannya begini:

1. Edi Akhiles, Putusin Nggak, Ya? (Yogyakarta: Safirah, 2014), hlm. 36.

Dengan ukuran font lebih kecil, 10 pts.
Jika catatan kaki berikutnya, nomer 2, juga masih dari buku yang sama dengan halaman yang berbeda, maka cukup tulis begini:

2. Ibid., hlm. 39.

Jika catatan kaki selanjutnya (misal nomer 3) diselingi oleh buku lain, lalu kau akan mengutip dari buku yang sudah pernah dikutip sebelumnya (artinya sudah dipakai sebelumnya dalam catatan kakimu), maka dituliskan begini:

5. Edi Akhiles, Putusin…, hlm. 55.

Sekarang jenis catatan kaki ala op.cit. dan lok.cit. atau pun kuc.rit. dan mak.tit sudah tidak dipakai lagi ya. Jika kau masih pakai itu, oke fix, kau tua!
Ngoaahhaaa….. J

7. Daftar Pustaka
Selain tentang catatan kaki, ciri keilmiahan sebuah tulisan ialah adanya daftar pustaka. Dalam artikel memang tidak pakai daftar pustaka sih. Ia biasanya dipakai di makalah atau buku atau skripsi dan sejenisnya. Jika ada sebuah buku tidak memiliki catatan kaki atau daftar pustaka, hemmm….patut diragukan kehalalannya lho. Atau, mungkin saja dia menulisnya dari wahyu langit ya?
Baiklah, sekadar tambahan pengetahuan, begini cara menulis daftar pustaka yang benar.

Abdullah, Amin, Studi Islam: Normativitas dan Historisitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
-----------, Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Al-Asqanali, Ibnu Hajar, Fathul Baari Jilid 10, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002.
Al-Muhasibi, Menuju Hadirat Ilahi, Panduan bagi Kafilah Ruhani, Bayan, Bandung, 2003.
Baqi’, M. Fu’ad Abdul, Al-Lu’lu Wal Marjan, Al-Ridha, Semarang, 1993.
Faiz, Ahmad, Dustur al-Usrah fi Dzilal al-Qur’an,  Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1983.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Paramadina, Jakarta, 1996.
Khallaf, Abdul Wahhab, Al-‘Ilmu fi Ushulil Fiqh, Markazul Maktabah wad Da’wah, Beirut, 1990.

8. Kesinambungan Antar Paragraf
Pastikan, antar paragrafmu saling menopang, berkaitan, dan sistematis. Tidak boleh lompat-lompat. Harus runtut.
Ini menjadi cermin dari konsistensi state of mind-mu.
Biasanya, kata paling simple untuk menjadikan antar paragrafmu nyambung selalu ialah pakai kata “oleh karena itu”, “karenanya”, “atas dasar hal itu”, “berdasarkan”, “maka”, “seharusnya”, “otomatis”, “namun demikian”, “tentu saja”, “wajar sekali”, dll.
Tapi jangan lupa, kata-kata itu hanya alat sambung antar paragraf ya, yang lebih penting tetaplah isinya harus nyambung dan runut. Selain itu, kau perlu mengembangkan dengan ragam banyak lainnya pula agar tak monoton jadinya.

9. Pemakaian *** atau sub judul
Ada dua pola yang lazim dipakai dalam fungsi ini. Yakni pakai bintang-bintang (***) begitu (plis nggak usah ditambahi pagar ya) atau pakai sub judul. Tujuannya sama, untuk memisah analisa atau menekankan sebuah analisa, yang ujungnya akan bersambung di kesimpulan.
Saya pribadi lebih suka pakai sub judul. Kenapa? Sebab ia akan menjadikanmu bisa lebih fokus dan terarah tentang apa yang akan kau tulisakan di bawah sub judul itu.
Misal, temanya tentang pacaran ya.

Setelah kau bikin pembukaan misal setengah halaman gitu, berilah sub judul:

Sumber Primer Hukumnya

Otomatis, di bawahnya kau akan menuliskan tentang dalil-dalilnya kan, plus analisa tentangnya.

Lalu, kasih lagi sub berikutnya, misal:

Syahwat, Apa Batasannya?

Lalu kau di situ bahas tentang hal tersebut. Dan demikian seterusnya. Otomatis, tulisanmu akan lebih runtut, fokus, dan gamblang.
Hemm, jangan sekali-kali pakai sub judul dengan style lugu ya:

Pembukaan

Pembahasan

Penutup

OMG Halloooowwww……ojo atuh, itu pamali….

10. Bahasa Karya Ilmiah
Sebagai sebuah karya ilmiah, artikel haruslah disajikan secara ilmiah. Keilmiahan sebuah tulisan, secara materi, haruslah mencerminkan adanya data akurat, analisa yang baik, dan kesimpulan yang selaras. Itu ya ciri karya ilmiah. Lalu, secara kemasan alias bahasa, karya ilmiah haruslah menggunakan bahasa yang formal dan baku. Namun ini tidak berarti bahwa artikel harus dijejali oleh “bahasa ilmiah” kelas tinggi, pure akademis, yang sulit dimengerti oleh mayoritas orang lho.
Ingat selalu, bahasa adalah “alat komunikasi”. Tujuan pokok penggunaan bahasa ialah untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Maka agar pembaca paham dengan mudah, bahasa yang digunakan haruslah bahasa yang mudah dipahami dengan luas pula.
Jangan terkecoh dengan istilah “karya ilmiah”, lalu begitu terobsesi untuk bermegah-megah dengan “bahasa kelas tinggi”. Bukan itu poinnya. Buat apa bergagah-gagah dengan bahasa yang “alat komunikasi” itu jika justru pembacamu malah nggak mengerti “inti komunikasimu”, kan?
So, fair-lah dalam berbahasa, berendah-hatilah dalam berbahasa. Ingat kata Plato, “Orang pintar bukanlah orang yang merumitkan sebuah hal, tetapi orang yang mampu menyederhanakan hal rumit.” Orang yang pintar, menguasai ide yang ditulisnya, adalah orang yang mampu menyampaikannya dengan mudah, sederhana, dan bernas.
Ya, ini memang juga tidak berarti bahwa penggunaan bahasa ilmiah kelas tinggi haram dipakai ya. Ia jelas boleh sekali dipakai, tetapi pakailah ia dengan: “bijaksana, proporsional, tepat, dan memang penting penggunaannya”.
Memahami dengan akurat segmen pembaca atau pendengar pemikiranmu adalah bagian dari bukti kebijaksanaanmu dalamn berilmiah lho. Percumalah kau ngomong apa pun sepenting apa pun sekalipun, jika penyajian bahasamu tidak sesuai segmennya.
Misal:

Inferioritas kompleksitas problematika korupsi merupakan tendensi-tendensi paling elementer non-available-nya. Tanpa inversi yang rigid dan presisi terhadap tiap kompleksitas problematika tersebut, mustahil menghadirkan the invisible hand yang dirujuk sebagai vox populi vox dei.

Mooodaaarrr kowe!!!
Aduuhhhh, mau kemana sih segitu Vicky Prasetyo-nya gitu? J
Orang jadi pusing, jeleh, dan malas meneruskan membaca tulisanmu. Padahal, poin tulisan tadi sangat bisa disajikan dengan lebih gamblang, tanpa berkurang sifat keilmiahnnya lho.

Menyepelekan ragam masalah korupsi merupakan penyebab paling pokok dari kegagalan pemberantasannya. Tanpa pemahaman yang detail terhadap tiap elemen masalah tersebut, mustahil untuk menghadirkan “tangan sakti” yang bisa memberantasnya.

OMG halloooooo….!!!
Ingat selalu deh, kecerdasanmu mengulas sebuah masalah, kekuatan state of mind-mu,  bukan sebab kau gagah nangkring di atas tower seluler dalam berbahasa. Bukan! Justru hanya akan sia-sia belaka jika pembacamu nggak suka, apalagi pusing, dengan gaya bahasamu. Pembaca justru lebih simpatik pada orang yang membumi lho, tapi keren isinya, dibanding mereka yang melangit itu.
Ehmmm, biasanya sih, orang yang congkak dalam berbahasa, ambisius berlangit-langit begitu, sampai lupa pada segmen dan isinya, adalah ciri orang yang nggak berisi beneran!

11. Bahasa yang Etik
Mungkin saja, dalam sebuah artikel atau bukumu, kau berbeda pendapat dengan seseorang atau sumber tulisanmu. Itu bukan hal yang luar biasa kok bagi kaum cendekiawan yang mengabdi pada ilmu. Ya beda lagi kalau mengabdi pada ideologi sih. Pretttt….
Dalam tulisan artikel, itu lazim disebut polemik. Beberapa bahkan bisa berlanjut sahut-menyahuti sampai berbulan-bulan gitu sih. Dulu, saya pernah beberapa kali berpolemik di media massa. Asyiklah pokoknya… Dapat honor terusss…haaaa
Pintarnya nambah (ya jelas dong, kan malu kalau kita merespons kritiknya dengan lugu aja atau apalagi sekadar subhanallah, masya Allah….), dan eeehhemmm honornya datang terus.
Poinnya di sini ialah hindarilah menggunakan kata-kata yang kasar, apalagi menjatuhkan dengan tidak etik. Jangan dong. Sesebel apa pun kau bahkan sama lawan itu, jangan jadiin dirimu terlihat so stupid deh di hadapan public dengan bahasa yang norak tidak intelek.
Cukup misal dengan ungkapan-ungkapan begini:

Saya berbeda pendapat dengan Felix dalam poin ini….

Dalam amatan saya, statemen Felix itu terlalu menyederhanakan realitas. Fiqh-nya tidaklah membumi. Sungguh sangat penting untuk memahami bahwa realitas itu sangat beragam dan tidak bisa dibidik dari satu kacamata.

Apa yang saya paparkan di atas menunjukkan dengan benderang bahwa pernyataan Felix tidak cukup kuat untuk dipertahankan akibat kelemahan metodenya.

Buku Halaqah Cinta, saya kira, terlalu gegabah untuk menyimpulkan bahwa orang-orang yang secara umur sudah matang tetapi belum menikah juga diklaim sebagai bermental kekanakan. Sebab, semua kita mafhum, ukuran kesiapan antar orang tidaklah sama, dan tentu sama sekali tidak bisa dibenarkan untuk menjadikan umur sebagai patokannya bahkan.

Ya, ya, sejenis itulah.
Tidak berarti kau tak boleh berkata jelas, tegas begitu. Bukan. Kau hanya tak pantas untuk merendahkan dengan kata-kata yang tidak based on state of mind.
Selain soal polemik itu, pakailah pula kata-kata yang tidak mengandung konotasi negatif ya. Maksud saya, tidak perlulah kau mengumbar amarahmu dalam tulisanmu dengan kata-kata yang bagi sebagian orang berkonotasi barbar.
Misal:

Sungguh hanya para jancuk bedebahlah yang tega melakukan korupsi.

Hanya para ahli neraka sajalah yang akan bermulut mendua: pagi kedelai dan sore tempe. Mereka benar-benar bangsa setan!

Ohhh, jangan dehh….

Tambahan-tambahan
Di bagian akhir ini, saya akan menyinggung tentang ragam jenis tulisan non fiksi selain artikel itu. Ehhmm, pada prinsipnya, semua tulisan non fiksi itu berkarakter sama, yakni ilmiah. Tidak banyak perbedaan dalam hal strukturnya. Kisi-kisinya formalnya doang yang sebagian berbeda.

1. Makalah/Skripsi/Tesis/Disertasi
Jenis tulisan ini memiliki struktur dan watak yang sama. Full ilmiah! Full formalitasnya!
Jenis tulisan ini sangat ketat dan baku menerapkan prinsip keilmiahannya. Seperti kewajiban penggunaan judul yang formal, catatan kaki, daftar pustaka, kerangka teori, metodologi, rumusan masalah, dll. Demikian pula dalam pilihan bahasanya, haruslah sepenuhnya formal dan baku secara akademik.
Sepanjang amatan saya, masalah umum yang dialami karya sejenis skripsi atau tesis atau disertasi ini bahkan ialah banyaknya penulis yang mengalami “kegagalan menerapkan kerangka teori”.
Sesungguhnya, penggunaan kerangka teori di sini adalah sebagai “landasan teori untuk membedah rumusan masalah yang diangkat”, bukan gagah-gagahan formal belaka. Perbedaan penggunaan sebuah teori sebagai landasan pisau bedahnya, jelas akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda sekalipun tentang tema yang sama.
Misal, menulis skripsi tentang Negara Islam.
Jika menggunakan kerangka teori Abul A’la al-Maududi niscaya akan beda kesimpulannya dengan jika kau menggunakan kerangka teori Nurcholis Madjid. Sayangnya, sebagian besar karya skripsi, tesis, dan bahkan disertasi banyak yang menjadikan kerangka teori semata pemenuhan formalitas belaka, bukan landasan pisau analisanya.
Misal lain, menulis skripsi tentang Public Sphere berdasar teori Anthony Giddens dan Wilfred Whitehead atau pun Bryan S. Turney seharusnya menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Sebab setiap teori pastilah memiliki poin-poin yang berbeda.

2. Esai
Esai secara struktur dan watak sepenuhnya sama dengan artikel. Jika pun diminta untuk menunjukkan perbedaannya, ia hanya terletak pada sifat esai yang lebih berpola “tuturan saya” (penulis). Artinya, esai itu lebih santai dibanding artikel. Namun ya tentu saja ia tetaplah harus ilmiah.
Misal, kau ingin mengulas lukisan karya Djoko Pekik.
Jika kau menuliskannya dengan sepenuhnya ilmiah, maka itu jadinya artikel. Tapi jika kau menuliskannya dengan lebih ringan dan santai, maka ia jatuhnya ke esai.
Jadi, esai itu bolehlah disebut sebagai “adik artikel” secara formalitas keilmiahannya.

3. Feature
Tulisan jenis ini semacam “reportase” terhadap sesuatu obyek yang kau alami dan tuliskan kemudian. Ia menyingkap semua sisi sebuah obyek yang dituliskan itu dengan bahasa yang sederhana dan memang cenderung didominasi oleh pemikiran subyektif penulisnya.
Jika kau tahu buku Trinity yang The Naked Traveler atau postingan-postingan saya di blog tentang event Kampus Fiksi atau perjalanan ke Turki, itulah contoh-contoh feature.
Sebagian orang mengetahuinya dengan sebutan “tulisan catatan”. Ia tidak harus tentang traveling sih, perjalanan gitu. Ia bisa berupa apa pun. Misal pengalaman menjalankan puasa Ramadhan tahun 2013. Pengalaman patah hati karena terlalu percaya pada PHP. Pengalaman ngejomblo bukan sebab alasan ideologis, tapi semata ketiadaan pilihan akibat desakan keadaan. Misalllllll lho ya. Misaalllllllll aja kok. J
Ya, bebas, boleh apa saja.

4. Resensi
Jenis tulisan ini khusus untuk bedah buku atau film. Bedah perasaan tidak termasuk di sini. Sebagai sebuah karya bedahan, maka ia harus mampu meringkas, memaparkan, dan memberikan penilaian pada kandungan buku atau film tersebut.
Membaca bukunya jelas harus dilakukan dulu. Mendeteksi plus minusnya jelas harus dipetakan dulu.
Resensi bisa dilakukan dengan cara murni mengulas buku itu atau membandingkannya dengan buku setema yang sudah pernah ada sebelumnya. Tujuan dari jenis tulisan ini ialah memberikan informasi kepada masyarakat tentang kandungan sebuah buku, plus-minusnya, kualitasnya, hingga rekomendasinya.
Akan lebih baik, kau kutip beberapa bagian penting dari buku itu, lalu sertakan halamannya. Ini akan kian meyakinkan pembaca tentang mutu resensimu. Dan jangan lupa pula, sertakan spek buku tersebut dengan detail di awal tulisanmu: judul, penulis, penerbit, tahun cetakannya, jumlah halaman, kover buku, dan jika bisa sekaligus harganya.
Ideal, menulis resensi harus membacanya dulu sampai tuntas. Tapi juga bisa, teruatama jika kau sudah punya jam terbang tinggi, kau “hanya membaca” secara skimming, quick reading. Baca kata pengantarnya, daftar isinya, kesimpulannya, dan halaman pokok topiknya. Dapat poin besarnya, pegang plus-minusnya, sudah.
Enaknya jadi peresensi ialah dapat fee dari media massa yang memuat tulisanmu, plus dapat bonus buku gratis dari penerbitnya, dan sebagian penerbit masih menambahkan uang juga.
Sekadar gambaran, kalau di Penerbit DIVA Press Group, setiap resensi media massa itu dapat buku gratis dua eksemplar (bebas milih judul), plus uang Rp. 100.000. untuk resensi yang dimuat di media massa lokal dan Rp. 200.000. untuk resensi yang dimuat di media massa nasional.
Enak, kan?
Bisa bikin perpustakaan pribadi, atau yang bakat dagang, dijual lagi itu buku-buku hadiahnya via online. Haaaa….

5. Personal Literature (Pelit)
Publik cenderung kenal jenis tulisan ini sebagai bagian dari fiksi. Tapi, tulisan jenis ini ada lho yang tidak fiktif, alias masuk tulisan ilmiah pula.
Ia adalah jenis tulisan yang dekat dengan feature tadi, hanya saja bisa bertama apa saja, seperti buku motivasi, baik umum atau religi.
Misal, saya pernah nulis tentang Jangan Memasak di Ruang Tamu. Isinya adalah pendapat saya tentang tidak baiknya mengumbar masalah pribadi apa pun di sosmed. Di dalamnya terdapat ulasan intersubyektif, sekalipun sebagiannya berkemas cerita. Tapi ia tetaplah sebuah karya yang berkategori ilmiah sebenarnya, sebab tidak fiktif.

6. Ngeblog
Membuat blog dan memposting tulisan-tulisanmu di sana merupakan aktivitas wajib bagi setiap penulis. Ia bisa jadi wadahmu untuk berlatih, berkreasi, dan membangun jaringan. Bergabung dengan komunitas-komunitas pun menjadi langkah yang buat saya sangat penting.
Ingat, Kawan, menjadi penulis itu butuh pembaca, dan meraih jumlah pembaca yang besar tidaklah mudah. Ia harus ditempuh dengan cara merintis jaringan. Dan di era sosmed gini, kau sangat diuntungkan dengan adanya blog, tweter, facebook, dll. Maka, rangkullah sosmed itu. Jangan haramin dia deh, sekalipun memang blog, tweter, facebok, dll., itu jelas bid’ah, sebagaimana diriwayatkan Ucup yang mukanya juga bid’ah itu. Ngoaahhaaa….
Hanya saja, saya juga ingin mengingatkan di sini bahwa jika kau berniat menerbitkan tulisan-tulisanmu dalam sebuah buku, seharusnya tulisan-tulisan tersebut jangan diposting di sosmed. Ya, tulisan yang sama. Penerbit enggan untuk menerbitkan buku yang materinya sudah tersebar luas begitu. Sebab, itu tentu sudah mengurangi jumlah peluang pembeli yang mungkin akan membeli bukumu kelak.

7. Attitude
Ya, sama saja dengan menulis fiksi, penulis non fiksi juga akan bekerjasama dengan banyak pihak dalam perjalanan proses kreatifnya. Mulai penerbit, redaktur, hingga pembaca.
Kerjasama apa pun akan langgeng jika berjalan dengan saling menguntuingkan, etik, dan elok. So, memastikan attitude-mu keren, jelas adalah kewajiban buatmu.

Begitu, Kawan, semoga #SilabusMenulisNonFiksi ini bisa membantu kalian ya untuk belajar dan berlatih menjadi penulis non fiksi yang tsakep.
Last, ingat selalu, bahwa menulis itu adalah menulis itu sendiri, berlatih itu sendiri, berdarah-darah itu sendiri. Tanpa menjadikan dirimu tahan banting dalam proses panjang itu, sangatlah mustahil kau bakal beneran menjadi penulis yang tsakep!
Jika kau sanggup tahan banting dalam kesendirian begitu, kenapa kau begitu rapuh dalam menempuh proses kreatif menulis?
Jogja, 7 Juni 2014

*) Boleh dishare. Jika mau bertanya, diskusi, menambahkan poin pelengkap, atau sekadar emot smile dan keplok-keplok, silakan dipost di kolom komen ya… J
19 Komentar untuk "#SILABUSMENULISNONFIKSI By Edi Akhiles"

Bookmark! Ini panduan selanjutnya! :) Makasih, Pak

dan lagi-lagi kau baik pak eddy.. :-D matur suwun.

keren... biasanya baca tulisan begini malas di awal/pembukaan tapi ini selesai sampai titik akhir :D *sangat bermanfaat* (vote)


silakan mampir juga pak edy apakah ini termasuk artikel yg baik?!
http://quadraterz.blogspot.com/2014/04/tingkatkan-kesadaran-masyarakat-dalam.html

makasih bos..

Subhanallah....
Keren banget, izin share pak Edy....

sembah nuwun kang edi. gedhe manpangat e sanget
Good article

MAKASIH KAK ATAS INFONYA, *SEMANGAT

wah memberi gambaran gimana dunia menulis
trims infonya, "LANJUTKAN"

Saya berharap ini di-ebook-in juga kaya #SilabusMenulisFiksi :)

Terima kasih atas share ilmunya pak. Semoga berkah. Aamiin.. Untuk temen-temen bisa simak juga kisah-kisah nyata perjuangan dalam menulis naskah buku di http://www.pesantrenpenulis.com/ Semoga bermanfaat ya..

Keren! ini nih yang dicari :)
Terima kasih Pak. Semoga berkah

jazakumullah khairan, Pak.. izin share ya :)

kenapa ya.. agak kesulitan kalau bikin tulisan ilmiah.

Back To Top