Personal Blog

FIKSI “TABRAKAN”, “KEBETULAN”, DAN “PEMAKSAAN TOKOH” (Ikhwal Logika Cerita yang Tak Perlu Dilakukan) Oleh Edi AH Iyubenu



Di dunia nyata, boleh jadi ada suatu peristiwa yang tak sanggup dinalar logika. Begitulah kosmos ini bekerja. Tetapi, kondisi yang sama (tak terjelaskan oleh logika) haram hukumnya terjadi di dunia fiksi (cerpen atau novel). Setiap bagian dari cerita fiksi haruslah memiliki landasan logika cerita “mengapa dan bagaimana hal itu terjadi”.
Tanpa ampun, jika sebuah cerpen atau novel mengandung kegagalan logika itu, dalam hal apa pun seperti plot, karakter, atau setting, sontak ia jungkal ke jurang cacat logika cerita. Jadilah ia karya yang tidak baik.
Ada beberapa kecenderungan umum dalam kaitan logika cerita ini yang paling sering menodai karya para penulis muda atau pemula.
Pertama, “plot tabrakan”. Untuk “mengatur” tokoh utama A dan B bisa kenal, lalu terjalin alur cerita lebih jauh tentang keduanya, penulis begitu tega membuat kedua tokoh bertabrakan. Lalu, dengan adegan tabrakan itu, keduanya bisa saling kenalan. Syukur-syukur, bisa bertukar nomer handphone. Syukur lagi, kemudian saling jatuh cinta, lantas jadian.
Come on, di dunia nyata saja yang menoleransi “keterbatasan logika” adegan seperti itu sangat sulit diterima, apalagi di fiksi yang anti keganjilan logika. Jika adegan demikian nyata adanya, logis kondisinya, niscaya setiap malam Minggu jalanan dan tetamanan akan lebih ramai lagi dilintasi pemuda-pemudi yang kemarin sore habis tabrakan, lalu kenalan, lalu jadian. Kenyataannya? Masih sangat banyaaaakkkk anak-anak muda yang setiap malam Minggu….ah, sudahlah. Sorry, nyaris keceplosan. Percayalah, ini semata sebab saya care padamu.
Kenapa nggak sekalian dituliskan sebab tabrakan dengan pengemudi Honda Jazz, lantas bisa kenalan dengannya, lalu bisa jadian dengannya, sehingga setiap malam Minggu akan ada Honda Jazz yang parkir di depan rumahmu?
Kurang suka dengan Honda Jazz karena imut, bolehlah ganti truk molen atau sekalian buldoser. Adegan tabrakan dengan truk molen atau buldoser, lalu kenalan, lalu jadian. Tentu, jika masih selamat ya….
Kedua, “plot kebetulan”. Untuk menciptakan twist atau suspense cerita, atau bahkan konflik, penulis lalu merancang pertemuan tak sengaja alias kebetulan antartokoh. Di sebuah taman, sambil membelakangi bangku, “tiba-tiba” terdengar sebuah panggilan.

“Kamu Srintil, kan?” katanya.
“Iya, aku Srintil. Kamu kan Waluyo,” kataku.
“Iya, aku Waluyo, kita kawan main kecil dulu di bawah pohon ciplukan,” katanya.
Aku pun tersipu malu.
“Oh, kamu sekarang cantik,” katanya.
 “Kamu juga gagah sekarang, Waluyo,” kataku.
Kali ini Waluyo yang tersipu malu.
Lalu kami jadian.

Kelak, jika mereka oleh penulisnya dibikin menikah, lalu punya anak, saya usul supaya dikasih nama Srintil Kebetulan Waluyo saja. Simpel, kan.
Come on, penulis harus mampu mengkreasi plot yang logis, masuk akal, penuh kejutan, tidak kacangan, buncisan, wortelan, kolan atau picisan, muran, bautan demikian. Jika memang adegan kebetulan bisa membuatmu bahagia beneran dalam hidup ini, silakan sekarang pergi ke ringroad atau tol, lalu berdiri di tengah jalan, semoga “kebetulan” selamat ya.
Ketiga, “memaksa tokoh jadi corong penulis”. Tentu saja, penulis adalah manusia, yang memiliki pikiran, sense, dan visi hidup. Wajar bila dalam karyanya penulis menyelipkan idealismenya. Tetapi, ingat selalu, setiap tokoh cerita yang dibuat haruslah selalu terpelihara kelogisannya. Dalam hal apa pun, mulai nama, karakter, pikiran, passion, hingga fashion-nya.
Come on, jangan pernah memaksa anak TK untuk bertanya tentang apa itu perbedaan demokrasi Pancasila dan demokrasi liberal. Sekalian saja bikin ia gamang tentang masalah pacaran dan ta’aruf.
Jika itu tega kau lakukan pada tokoh ceritamu, sekalian kuatkan hatimu untuk menjadikan tokoh sebagai “diary curhatmu” tentang kegalauan setiap malam Minggu hanya berkawan dengan remote dan gadget yang sangat setia, luka hati menunggu kepastian bertahun-tahun lamanya, pilu sebab merasa hidup telah berlaku tak adil padamu kala menyaksikan sejoli yang menurutmu kalah mempesona darimu sedang bergandengan tangan di bawah gerimis.
Di alam nyata, kau memang sangat berhak untuk salto-salto seolah kau benar-benar bahagia dalam kesunyian. Tetapi di alam fiksi, hal itu tidak bisa diterima. Logika cerita selalu mutlak hukumnya.
“Sabar, ya,” kataku sambil ketawa. “Aku peduli padamu.”
Jogja, 6 November 2014
12 Komentar untuk "FIKSI “TABRAKAN”, “KEBETULAN”, DAN “PEMAKSAAN TOKOH” (Ikhwal Logika Cerita yang Tak Perlu Dilakukan) Oleh Edi AH Iyubenu"

Keren tulisannya. Sangat bermanfaat untuk penulis pemula seperti saya. Ditunggu artikel selanjutnya. (setia baca, pak) hehe. Salam

Saran yang cukup menohok.
Uhuk uhuk

satu pemikiran denganmu pak :P saya lagi cek nih, apa tulisan saya ada yg pake acara ketabrak truck molen lalu pacaran besoknya nikah :P wkkkwkwkkkw duh ketawa nih nguakak :P

Terima kasih banyak pak untk infonya. Sangat bermanfaat.
Jika ada waktu kunjungi blog saya : kuchkuchhotahaii.blogspot.com

Maaf, Pak, untuk poin ketiga saya masih belum mengerti. Mungkin panjenengan bersedia memberi penjelasan lebih? Matur nuwun :)

"Kak, kenapa demokrasi negara kita yang katanya demokrasi pancasila ini terasa seperti demokrasi liberal? kita yang dulu mengagungkan musyawarah dan gotong royong sekrang mengagungkan uang?" tanya adek perempuanku yang masih tk.
aku pun merenungkan pertanyaan ini sambil memandang indahnya sunset di pantai marina. tak lama kemudian ombak besar menerpa diriku... aku pun terbangun dari tidur karena ternyata kamarku kebanjiran.

Keren (y) Artikelnya bagus dan sangat bermanfaat sekali sebagai masukan yang membangun ;) Terima Kasih Bapak Edi Akhiles.....

Hhh betul betul betul ...tp poin ke 3 sy msh bloon pak alias blm paham

Back To Top