“Punya cita-cita itu suatu hal yang luhur. Tapi jika tak kesampaian, jangan berputus asa. Pasrah kepada kehendak Allah adalah suatu sikap yang terpuji.” (Danarto, Sebatang Kayu).
Kehilangan selalu menjadi titik nadir setiap kita untuk bisa merasa
sungguh-sungguh kita adalah manusia. Tanpa kehilangan, kita takkan mengerti
bahwa kita adalah manusia.
Kehilangan selalu mampu membuat kepala kita tertunduk, tangan kita
terkulai, dan hati kita lemah karena retak-retak tak keruan. Kita sepenuh-penuhnya
adalah butiran debu di gurun sahara nan agung bernama kehidupan.
Maka andai setiap hari kita ditimpa kehilangan demi kehilangan,
mustahillah kita sempat untuk beralih jadi iblis dan setan yang merupakan
separuh bagian dari kemanusiaan kita. Kehilangan demi kehilangan akan
senantiasa menjadikan kita malaikat yang merupakan separuh lain dari hakikat kemanusiaan
kita.
Sayangnya, kita selalu lebih suka menyebut kehilangan sebagai petaka.
Bukan anugerah. Musibah yang kita benci. Bukan hadiah terbaik dari alam
semesta. Kita tampak benar lebih memilih menjadi iblis dan setan bila diberikan
hak mutlak menentukan, ketimbang menjadi malaikat. Kita selalu lebih gemar
kepada postur tubuh dengan kepala mendongak, urat leher menegang, tangan
menggenggam keras, dan suara menggelegar. Postur tubuh iblis dan setan, bukan
malaikat.
Tentu, kita bisa memberi permakluman, itu karena kita hanyalah manusia yang
sepenuhnya Manusia –bukan iblis atau setan yang selalu berwajah merah membara;
bukan pula malaikat yang selalu berwajah putih jernih di suatu pagi yang cerah
tanpa noda.
****
Umpama saja semua yang kita impikan dipenuhi oleh Tuhan, pasti kita
takkan pernah mampu menjadi manusia yang seutuhnya Manusia.
Lazim sekali bila kita senang benar untuk mengukur kualitas kemanusiaan
kita semata bersandingan dengan kebahagiaan-kebahagiaan. Kita, karenanya, lalu
terus berusaha menepikan penderitaan-penderitaan bukan sebagai bagian dari
jalan panjang menuju kualitas kemanusiaan kita.
Untunglah, Tuhan adalah sebenar-benarnya Yang Maha Baik. Orang religius
lalu mengabarkan: “Tuhan mengabulkan sebagian yang kita pinta dengan segera,
menundanya sebagian lagi di suatu masa, atau menyiapkan sebagian lainnya lagi
di kehidupan usai kematian kelak.”
Bila semua yang kita pinta, citakan, dipenuhi semutlaknya oleh-Nya saat
ini juga, sudah pasti dunia ini akan berantakan, sebab kita takkan pernah mampu
merasakan lagi bagaimana meringkuk dibekap rindu dan benci, butuh dan masa
bodoh, cinta dan muak, bahagia dan nestapa. Kita akan saling melupakan satu
sama lainnya, meninggalkan satu sama lainnya, tanpa ingin sedikitpun, tanpa respect
secuilpun. Dunia tanpa butuh satu sama lain, tanpa respect each other,
tak beda lagi dengan neraka.
****
Cinta menjadi sangat terasa sebagai Cinta manakala kita diterkam
kerinduan yang tak tersampaikan. Cinta yang selalu terpenuhi adalah bentuk
cinta yang membosankan. Cinta yang membosankan takkan pernah menghadirkan
denyar-denyar jiwa para perindu pada sang kekasihnya. Maka berterima kasihlah
pada semesta yang dengan pelbagai caranya membuat kita meringkuk perih dalam
sunyi dilukai hunjam-hunjam kerinduan yang tak terkabulkan.
Benci pun demikian adanya. Ia adalah bentuk lain dari Cinta yang membuat
kita sejenak lantas mampu menghargai makna hadirnya seseorang bagi hidup kita.
Biarkan saja kita pernah didera benci padanya, di suatu masa, dan yakinlah
takkan lama lagi waktulah yang akan mengubahnya menjadi rindu –semisal
berputarnya ingatan-ingatan panjang atas kebaikan-kebaikan dan
pesona-pesonanya—lalu terbuhullah cinta yang diperjuangkan deminya.
****
Pada suatu perpisahan yang menyayat, seyogianya kita mampu menimba
jubelan makna kerinduan yang mengabarkan betapa sangat berartinya ia bagi hidup
kita. Pada suatu impian yang tak terkabul, sepatutnya kita mampu menadahi derai
makna perjuangan yang bertetesan dari langit yang tampak murung nan muram. Pada
suatu kejadian yang menyemaikan kebencian, sepantasnya kita mampu menerima
wedaran warta kesabaran betapa berharganya kerinduan.
Tetapi, tak mungkin disangkal, bagaimanapun, kita adalah sekadar
Manusia: di dalamnya berkelahi selalu seringai iblis dan senyum malaikat. Di
waktu yang sama, kita adalah iblis yang bisa beranjak mulia layaknya malaikat
atau malaikat yang terjungkal nista layaknya iblis.
Kesenangan menerima kebaikan seseorang seharusnya sekaligus
menghantarkan kita untuk bersiap menerima keburukannya; mencintai seseorang
sewajibnya pula menyadarkan kita untuk bersiap menerima kebenciannya;
mengimpikan sesuatu semestinya pula membuat kia mengerti untuk menerima kegagalannya;
dan, senang atas kehadiran seseorang atau sesuatu sepantasnya diiringi serentak
oleh kesiapan untuk kehilangannya kapan saja.
Sebab air mata adalah bentuk lain dari tawa –sebab cinta adalah bentuk
lain dari benci, nyaman adalah bentuk lain dari kesedihan, impian adalah bentuk
lain dari perjuangan, memiliki adalah bentuk lain dari kehilangan, dan hidup
adalah bentuk lain dari mati.
Setipis itulah jarak setiap kita pada segala apa dalam kehidupan ini.
Kita semata lalu berbeda satu sama lainnya pada kemampuan memaknai rahasia di
balik tipisnya jarak-jarak itu.
Jogja, 17 November 2016
Tag :
Utak Atik Manusia
1 Komentar untuk "KEHILANGAN"
Super sekali...dunia adalah pergumulan hidup sebagai bentuk kefanaan. Keyakinan adalah keabadian bahwa kelak takkan pernah ada cinta yg tersiakan..