Sejatinya, sudah menjadi pengetahuan
umum di kalangan para pelajar studi Islam, bahwa ISLAM bukan semata memuat fiqh.
Di sebelahnya, ada bangunan ilmu kalam (teologi) dan tasawuf. Jika diulur lagi,
segala macam persoalan umat kekinian pun merupakan bagian integral dari studi
Islam, sebutlah filsafat, etika, politik, hingga LGBT, illegal logging,
komodifikasi, dll.
Tapi kali ini saya hanya ingin
membatasi ulasan ini pada apa yang lazim disebut ORTODOKSI; pandangan umum
(rezim) yang melandasi gaya berislam sebuah komunitas dan wilayah. Ortodoksi
ini jangan diterjemahkan sebagai “kejadulan, kekolotan”. Cukup sebagai “rezim
paham” saja.
Di kekinian Islam global, ortodoksi
ini terbagi dalam banyak karakter. Ada ortodoksi Arab, Afrika, Eropa, hingga
Asia. Ia tak mewakili benua-benua, tetapi “sekadar” suatu wilayah muslim yang
memiliki karakter berislam yang sama atau identik. Contoh, apa yang disebut
ortodoksi nusantara, sama sekali bukan menunjuk pada semata wilayah Asia, atau
pun sekadar Indonesia, tetapi seluruh wilayah yang corak keislamannya senada, sebutlah
Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, dan sekitarnya. Karakter
Islam nusantara sangat jauh berbeda dengan Arab, misal, lantaran perbedaan
ortodoksi itu.
Di sini, saya akan berikan contoh
dua ortodoksi saja, yakni Arab dan Nusantara.
Ortodoksi Nusantara (termasuk
Indonesia) mengenal tiga pilar: teologinya Asya’riyah, fiqh-nya Syafi’i, dan
tasawufnya Ghazali. Di Arab, ortodoksinya teologi Wahabi, fiqh-nya Hanbali, dan
tasawufnya tidak diakui. Peniadaan tasawuf dalam ortodoksi Arab berkaitan erat
dengan ketatnya teologi Wahabi menolak segala apa yang mereka nyatakan “bukan
Islam otentik” (atau mudahkanlah dengan menyebutnya “bid’ah). Perbedaan
ortodoksi ini tentu saja amat panjang sejarahnya. Melibatkan ragam dimensi,
mulai sosio-kultural, historis, hingga politis. Sejenak, ingatlah perubahan rezim
syi’ah di Mesir dan Universitas Al-Azhar kala dikuasai Bani Fathimiyah menjadi
sunni di tangan Salahuddin al-Ayyubi. Sampel ini memperlihatkan kompleksitas
urusan rezim ortodoksi, bukan semata soal teks Islam itu sendiri.
Dominasi teologi Wahabi di Arab,
misal, jelas erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Dinasti Su’udiyah. Andai
Arab historinya seperti Maroko, niscaya teologinya pun akan berbeda. Demikian seterusnya.
Sampai di sini, soal teologi apa yang dominan di sebuah wilayah, sama sekali
tak laik dipertentangkan satu sama lainnya, dengan pendekatan apa pun. Selamanya,
sebuah ortodoksi akan eksis di dalam wilayahnya sendiri dan akan resistan bila
diangkut ke wilayah lainnya. Jika Anda ingin mengubah ortodoksi Indonesia, maka
Anda harus mengubah seluruh elemen nasional Indonesia. Begitu juga bila Anda
hendak mengubur Wahabi dari tanah Arab, maka Anda harus mengubah seluruh elemen
Arab. Sebuah impian yang tak perlu Anda sematkan di kepala sebab takkan pernah
berhasil dan hanya akan menjadikan Anda lupa menikmati kopi dan travelling.
Dalam ranah fiqh, kita tahu mazhab
Hanbali memiliki karakter hukum yang ketat. Ia berbeda dengan mazhab Syafi’i
yang lebih moderat. Contoh, musafahah (jabat tangan dengan lawan jenis)
dalam fiqh Hanbali diharamkan mutlak. Di Syafi’i masih ada ruang “kebolehannya”,
misal dengan menggunakan sarung tangan atau adanya sebuah kebutuhan mu’amalah
yang tak terhindarkan.
Apakah sebuah teologi dan fiqh dan
tasawuf yang menjadi pilar sebuah ortodoksi memiliki keterkaitan?
Tentu saja. Kita tahu teologi Asy’ariyah
berkarakter moderat, lebih terbuka. Jangan bandingkan ia dengan Mu’tazilah yang
sangat rasionalistik atau pun Khawarij yang saklek luar biasa. Wahabi pun
memiliki watak teologi sendiri, yang tentu saja jauh berbeda dengan Asy’ariyah.
Di teologi Wahabi, misal, seseorang
disebut kafir bila melakukan dosa besar, sebutlah murtad. Hukumannya cuma satu:
mati. Dalam pandangan Imam Ghazali, misal, seseorang sekalipun berpeluang 99
kali menjadi murtad tetapi ada 1 peluang untuk muslim, maka haram darahnya
ditumpahkan. Ia harus diakomodir ke dalam bagian muslim. Saya kira ini pulalah
salah satu alasan bahwa dalam banyak hal pandangan Ghazali selaras dengan
teologi Asy’ariyah, sehingga di sini bisa sejalan dalam satu ortodoksi.
Lalu lihat tentang posisi wanita. Di
Arab, kaum wanita haram tampil ke publik tanpa disanding mahrahmnya. Wanita
menyertir pun dilarang keras. Di sini, pandangan demikian tidak berlaku. Kaum wanita
memiliki kebebasan yang lebih luas.
Jika urusan wanita di negeri ini diteropong
dengan menggunakan mata ortodoksi Wahabi, jelas keislaman kita salah total.
Tetapi dalam pandangan ortodoksi kita, tentu tidak.
Oleh karena itu, sangat diperlukan kesadaran
dan kepiawaian di antara kita dalam melihat sebuah masalah hukum melalui peta
wilayah antarortodoksi itu; tidak mencampur-adukkan untuk mengambil sebuah
kesimpulan karena pastilah akan membuhulkan ketidaksambungan. Jika dipaksakan,
hasilnya hanyalah takfir yang membosankan itu.
Kesadaran dan kemampuan memilah “wilayah”
ini juga sangat diperlukan bahkan dalam satu ortodoksi, misal antara wilayah
fiqh dengan wilayah tasawuf. Jika wilayah-wilayah ini digado-gadokan begitu
saja, dampaknya rentan memantik konflik. Konflik yang timbul lantaran memang
antarwilayah itu memiliki sudut pandang yang berbeda.
Zakat fitrah, misal. Dalam kacamata
fiqh, di kita, ia cukup dengan beras yang mungkin nilainya hanya setara Rp. 40.000.
Jumlah yang sangat tak seksi bagi kaum muslim borjuis. Dalam amatan tasawuf,
nilai zakat seperti itu jelas tidak menarik, lantaran diyakini tidak memberikan
banyak power bagi hakikat perintah zakat. Maka mengeluarkan harta
sebanyak-banyaknya menjadi pesan moral yang diajarkan olehnya.
Sedekah, misal. Sebut saja Anda
rajin memasukkan uang Rp. 2.000 ke kotak amal masjid setiap hari Jum’at. Secara
fiqh, luar biasa sekali pahala sedekah Anda ini. Tetapi dalam kacamata tasawuf,
apanya yang luar biasa jika Anda berpengasilan Rp. 50.000.000 setiap bulan?
Lalu ambil contoh shalat. Secara
fiqh, syarat dan rukun shalat ya demikian itu. Mau Anda shalat jempalitan,
sepanjang syarat dan rukun terpenuhi, sahlah ia. Tetapi secara tasawuf, shalat yang
hanya memenuhi syarat dan rukun fiqh tidaklah cukup. Wajar bila kemudian pelaku
tasawuf memiliki tekanan-tekanan khusus dalam ritual shalatnya, seperti menekan
dada sebelah kiri yang dipercaya sebagai sarana untuk meraih kekhusyukan, yang
hal itu tidak menjadi bagian dari rukun shalat secara fiqh.
Jika pandangan fiqh ini dipaksakan
ke pandangan tasawuf, maka akan terjadi klaim salah-menyalahkan. Demikian
sebaliknya. Tanpa ujung. Sebab semua pihak memiliki sudut pandang tersendiri
sebagai landasan filosofisnya.
Imam Ghazali, misal, menyatakan
bahwa fiqh tak mampu membawa kita kepada Wajah Allah. Satu-satunya jalan untuk
meraihNya ialah melalui tasawuf. Jika Anda memandang pendapat Imam Ghazali ini
secara fiqh, maka Anda akan shock, lantaran mengesankan bahwa semua
pelaku shalat, puasa, zakat, hingga haji, sebagaimana dituturkan fiqh, adalah
sia-sia. Pertanyaan Anda mungkin akan mengerucut begini: kalau begitu, untuk
apa kitab-kitab fiqh disusun?
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang
dikenal luas dengan ajaran tasawufnya yang lembut mengatakan tasawuf memang
merupakan jalan makrifat menuju Allah, tetapi tiadalah tasawuf tanpa ditegakkan
di atas kaki syari’at. Artinya, kita perlu meningkatkan derajat keislaman kita
dengan memasuki ranah tasawuf yang mengajarkan “ilmu hakikat”, tetapi jangan
sekali-kali meninggalkan tuntunan syari’at (fiqh). Sebuah pandangan bijaksana
nan komprehensif yang menjembatani kubu muslim yang mematuhi fiqh murni dan
kubu tasawuf yang diingatkan untuk tidak meninggalkan fiqh.
Jika fiqh menuntun kita pada ilmu kaifiyat,
maka tasawuf menuntun kita pada ilmu hakikat. Bagaimana cara sujud, bacaannya, gerakan
tangan, dll., merupakan wilayah fiqh; sementara apa tujuan shalat, apa makna
sujud, apa hakikat takbir, dll., merupakan wilayah tasawuf.
Sejatinya, saya sepaham, berislam
yang jempolan ialah mengakomodir dua ranah itu sekaligus: fiqh dan tasawuf. Ini
akan menghantar kita patuh syariat di satu sisi dan sekaligus penyelam makna
atas segala laku ritual syariat yang kita tegakkan di sisi lainnya.
Saya pun percaya karenanya bahwa
jika kita berislam dalam ortodoksi demikian, sesuai dengan wilayah hidup kita
sendiri, niscaya kita akan lebih sibuk untuk membenahi diri, secara kaifiyat
dan hakikat, ketimbang membenturkan satu paham dengan paham lainnya
antarortodoksi, dan bahkan antarwilayah dalam satu ortodoksi. Silakan Anda teliti,
takkan pernah ada habisnya friksi antarortodoksi dan antarwilayah itu sebab secara
genetik semuanya memang berbeda-beda. Jika terus dipaksakan, buahnya hanyalah
konflik, salah-menyalahkan, ujungnya kafir-mengkafirkan. Sampai kiamat.
Saya kira inilah risiko terbesar jika
kita semata menuhankan fiqh dalam jenjang-jenjang keislaman kita. Kita akan
terus-menerus terbelenggu jeruji ikhtilaf sampai alpa pada hakikat. Benar
secara fiqh di atas kakinya sendiri, tetapi gagap untuk merefleksikan hakikat-hakikat
semua ritual syariat itu.
Saya tabik pada Imam Ghazali bahwa dengan
tasawuflah kita akan meraih Wajah Allah, tetapi saya pun tabik pada Al-Jailani
bahwa bertasawuf harus ditegakkan di atas kaki syariat. Soal fiqh yang mana
yang kita ikuti, kembalikan ia kepada ortodoksi yang melingkupi kehidupan sehari-hari;
soal yang mana fiqh yang benar, di tasawuflah masalah-masalah demikian akan
menemukan titik-temunya.
Wallahu’alam bis shawab.
Sumenep,
29 Juni 2015
3 Komentar untuk "RISIKO SEMATA MENUHANKAN FIQH"
bacaan pagi yang mantap, Om. anyway, selamat menjalankan ibadah puasa, Om. Mhn maaf kalo saya banya salah karena sering merusuh di sini *kedip mata* :D
islam nusantara,
sekarang jadi mengenal islam amerika, islam afrika, islam malaysia, islam jawa.
mungkin saya salah.
saya jadi berkhayal, bagaimana jika Rosul dilahirkan di Jawa...
artikel yang sangat bermanfaat...