Personal Blog

SAMPAI DI MANAKAH LEVEL BERAGAMAMU? (“Ramah” atau “Galak”)

Apakah keputusan memeluk sebuah agama itu sepatutnya menghantar seseorang untuk membenci agama-agama lain, yang dipeluk orang-orang lain di sekitarnya?

Apakah itu konsekuensi beragama? Berislam, misalnya?

Kalau itu konsekuensi, berarti seluruh agama membawa sifat dasar keburukan, yakni permusuhan, tak terkecuali Islam yang kuanut ini. Lalu, untuk apa kita menganut sesuatu yang mendorong pada keburukan, permusuhan, dan kedzaliman?

Mari kita lihat dengan cara pandang ini.

Belief (keyakinan). Pada mulanya, setiap kita membutuhkan belief ini untuk eksis. Kita takkan diterima oleh keluarga kita sendiri, apalagi lingkungan sosial, jika kita menyatakan diri tidak mengakui keyakinan apa pun. Kita takkan bisa punya KTP, sekolah, mencari kerja, menikah, dll., tanpa mencantumkan sebuah keyakinan pda diri kita.

Seiring dengan pemelukan belief ini, jadilah ia kemudian sebagai habit of mind (ranah pikiran). Sebagai pemeluk Islam, misalnya, saya tumbuh dalam habit of mind Islam itu. Ya mulai urusan shalat, puasa, haji, dan termasuk berbuat baik pada orang lain dengan kegiatan menolong dan sedekah. Level ini menghantar kita untuk menjadi sosok yang menjalankan agama yang kita anut.

Cukupkah sampai di sini?

Jika kita berhenti sampai di sini, maka tak ayal kita akan menjelma sosok-sosok beragama yang gampangan menyalahkan penganut agama lain. Mengapa gampangan? Satu penyebabnya: karena kita tidak pernah menghadirkan pertanyaan-pertanyaan mendasar pada diri kita sendiri tentang seluruh mind (pikiran, paham, warisan) yang tahu-tahu masuk ke dalam pikiran kita sebagai “ajaran agama”.

Misal, kita kenal ajaran “kebersihan itu sebagian dari iman” (an-nadafatu minal iman), tapi faktanya sungai-sungai kita penuh sampah, jalanan kotor, buang sampah tidak pada tempatnya, dll. Kita hanya setuju bahwa itu ajaran untuk menjaga kebersihan, tetapi kita gagal merasukkan ajaran itu agar melampaui mind kita (beyond mind). Apa itu? Hati. Ya, hati.

Begitu pula mengapa sangat banyak umat Islam yang koruptor ya? Sama saja analisanya.

Lantaran kita tidak pernah memunculkan kritisi terhadap paham, ajaran, atau mazhab tertentu, yang tahu-tahu hadir dalam keberagamaan kita, sontak kita terbekap dalam fanatisme mind itu dan menyebabkan kita tercerabut dari substansinya.

Apakah cara beragama yang sami’na wa atha’na begini salah?

Tidak salah, tetapi tidak mencerahkan bagi dirinya dan orang lain. Agama di tangan kita yang begini akan berhenti hanya semata “warisan pemikiran lama”, yang tidak hadir dari pikiran dan hati kita sendiri atas dasar pemikiran dan permenungan yang holistic, sehingga wajarlah kalau kemudian kita menjadi sosok-sosok beragama yang fanatikan. Yang berbeda dengan ajaran mazhab kita adalah salah, sesat, kafir, apalagi mereka yang berbeda keyakinan dengan kita.

Apakah mungkin kita akan bisa khusyuk dalam shalat bila pikiran kita hanya tahu bahwa shalat itu adalah a-b-c-d sebagaimana dituturkan fiqh salaf tanpa pernah kita lakukan pendalaman pemikiran dan permenungan tentang substansinya? Apakah shalat akan menghantar kita menjadi sosok yang mampu tanha ‘anil fahsya’i wal munkar, tanpa kita tahu apa itu esensi rukuk, sujud, bacaan Fatihah, dll, dalam serangkaian kaifiyat shalat?

So, jika kita berhenti pada cara beragama di level habit of mind ini, kita takkan mendapatkan pencerahan-pencerahan baru untuk diri kita dan apalagi orang lain.

Karena itulah, penting buat kita untuk kemudian memberanjakkan diri kita ke level berikutnya, yakni dourt (perubahan), baik itu yang sifatnya artificial (sepele, kecil) atau pun yang genuine (mendasar, besar).

Dan tentu saja untuk menghasilkan dourt ini, perubahan, penyegaran, kita harus melampaui fanatisme. Munculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang segala macam qaulus salaf, mazhab, paham, warisan, dll., berdasarkan latar konteks di mana kita hidup kita. Memunculkan pertanyaan kritis tentu bukanlah menegasikan, menafikan, karena sikap a priori begitu hanya akan mencerabut kebajikan-kebajikan salafi secara total sebagaimana dilakukan kaum modernis, tetapi mengkritisi apakah ini atau itu kontekstual dengan zaman kita atau tidak, ataukah ini perlu digali ulang atau tidak, ataukah ini perlu direkonstruksi lagi atau tidak, dan seterusnya. Proses, ya, segala sesuatu semestinya memang diletakkan dalam posisi, kata Whitehead, “proses untuk menjadi”, bukan “sudah jadi”.

Sikap dourt ini niscaya akan menghantar kita untuk bersikap open minded, terbuka, yang memang hanya dengan cara demikianlah kita akan memperolah dinamika berkelanjutan dalam dalam hidup ini, termasuk dalam beragama.

Tapi, ingat segera satu hal lain yang harus disertakan dalam level dourt ini, yakni inquiry (meneliti). Dalam level inquiry ini, jelas kita membutuhkan “proses” dan “prosedur”, yang kedua elemen ini harus memiliki landasan niat baik dan argumentasi yang kuat.

Dan, akhirnya, dari cara inquriry ini, yang sangat pas dipahami sebagai “meneliti cara memperoleh keyakinan”, kita akan mampu mendapatkan meaning (makna) dari apa yang kita yakini (belief), hadir dalam pikiran (habit of mind), dan menjadikan kita (dalam bahasa filsafat sosial John Dewey) terus dinamis dalam perubahan-perubahan rekonstruksi yang lebih baik (dourt).

Ingat, tanpa memegang meaning dalam hal apa pun, termasuk keyakinan dan ritual, kita hanya menjelma sosok-sosok yang meaningless. Kita takkan pernah bisa mendapatkan “ruh” dari apa pun yang kita yakini dan kerjakan bila tidak didasarkan pada meaning itu. Karena sejatinya, meaning inilah yang menjadi pengisi dari setiap pikir dan laku kita di dunia ini.

Demikian puyla dalam berislam. Jika kita tidak paham meaning mengapa kita harus bersyahadat, shalat, sujud, puasa, haji, umrah, sedekah, dll., apa gerangan yang kita dapatkan dari keislaman kita?

Nothing, dan tentu saja, menjadi nothing bukanlah konsep kaffah yang diajarkan kitab suci kita. Menjadi kaffah adalah menjadi full-meaning, karena hanya dengan full-meaning itulah kita akan mampu menampilkan wajah agama (Islam) yang ramah, manusiawi, dan rahmatan lil-alamin.

Owww,
kok marah dengan tulisan ini?

Ya berarti segitu deh levelmu…ukur sendiri aja, gue kagak punya meteran!

Jogja, 15 Desember 2011
1 Komentar untuk "SAMPAI DI MANAKAH LEVEL BERAGAMAMU? (“Ramah” atau “Galak”)"

Tulisan yang menarik..menurut saya islam itu komprehensif sejatinya yang ditampilkan Rasulullah SAW..Rasulullah meneduhkan jiwa orang-orang beriman dan orang-orang kafir yang mau hidup damai dengan kaum muslimin tapi Rasulullah keras'tegas kepada orang-orang kafir yg mengusik islam. Saya setuju mengekspresikan sikap keras'tegas kepada non-muslim yg mengusik islam tidak harus menghina dan mencaci maki tapi bukan berarti pula harus diam menerima dan malah kita anggap itu sebagai bentuk 'kebinekaan,.

Back To Top