Personal Blog

BIARKAN BERBEDA, TAPI DIATUR YA…

Wah, nggak kerasa udah jam 12.10. Biarlah istri dan anak-anakku main atau belanja apa aja, kuingin menikmati kopi Luwakku, Marlboro, laptop, dan juga tentu HP-ku. Ntar juga pasti mereka pada balik ke sini sendiri kalo udah bosen keliling. Upps, satu hal lagi ding yang nggak kalah pentingnya, belanjanya jangan banyak-banyakkkkkki…kalau berlebihan, kepretiiii…haaaa…weeekkk!

Ah, emang dunia laki dan wanita itu beda banget ya. Mars dan Venus udah dari sono-Nya didesain berbeda. Meski, ehhmm, benar juga sih kata para ahli psikologi bahwa kecenderungan kaum wanita tuk belanja bisa diaturlah sehingga nggak berlebihan, tidak menjadi pemicu masalah kebersamaan, sama persisnya dengan kecenderungan kaum laki untuk kongkow dan menghabiskan waktu untuk bola, futsal, game, sepeda, balapan, dll., yang juga bisa diatur agar nggak merusak suasana.

“Diatur”: yah, inilah kata saktinya. Sama saktinya dengan kata “komunikasi” dalam menjalin hubungan apa pun yang begitu menentukan hasil dan suasana hubungan itu. “Diatur” ini meniscayakan pengendalian, agar tidak ada yang dirugikan oleh sebuah kecenderungan yang berbeda.

Persoalannya, siapa yang menjadi “pengatur” dan “yang diatur”?

Awww, ini nih yang paling pelik dan sensitif. Naluri sih, instingtif bangetlah sifatnya, semua orang maunya ngatuurrrr, emoh diatur. Nggak laki, nggak wanita. Sebab semua orang selalu punya kecenderungan yang sama untuk menguasai, bukan dikuasai. Dan kemampuan mengatur adalah bukti kemampuan menguasai itu. Si pengatur akan punya kuasa penuh untuk melakukan ini-itu, berbanding terbalik dengan yang diatur yang kudu melakukan ini-itu atas dasar kemauan si pengatur.

Nggak enak emang dalam posisi diatur. Tapi, ingat, masalahnya adalah bahwa setiap kita kudu diatur agar teratur kan. Termasuk pula dalam hubungan pernikahan atau pacaran itu.

Lalu, jika begitu, apa sih yang mestinya ideal dijadiin panduan pengaturan itu tanpa ada pihak yang merasa dikuasai oleh lainnya?

Pertama, komitmen. Komitmen untuk bersama meniscayakan hak dan kewajiban. Tentu nggak elok kan kalau kita membangun komitmen tapi nggak mau menjalankan konsekuensi komitmen itu. Komitmen selalu mensyaratkan pemenuhan hak dan kewajiban itu secara sadar dan sukarela.

Kedua, pengertian. Level selanjutnya dari penerapan komitmen ya pengertian itu. Bahwa laki dan wanita punya hak dan kewajiban yang berbeda dalam sebuah hubungan, itu jelas kita paham. Perbedaan hak dan kewajiban ini bisa memicu masalah bila tidak disikapi dengan jiwa yang penuh pengertian.

Demikian pula bahwa setiap manusia itu nggak ada yang sama level minat, pemikiran, impian, kepribadian, karakter, latar-belakangnya, jelas kita semua paham. Perbedaan ini akan sulit menyatu dalam sebuah passion dan chemistry bila tidak disandarkan pada jiwa mengerti yang tinggi dari masing-masing pihak.

Maka mengertilah bahwa aku ni suka kentut, doyan ngerokok, gemar kopi, suka bola, seneng balap, yang itu berbeda denganmu, Pasanganku, menjadi kata kunci keharmonisan hubungan itu. Tapi, eiitttts, kudu segera dicatat pula dong bahwa keinginan dimengerti itu harus dibarengi dengan kemampuan diri sendiri untuk mengerti pula.

Mengerti bahwa ada batas-batas prioritas dan kepatutan yang kudu kita berikan pada pasangan kita, menjadi kunci pula seberapa mampu kita menjadi sosok yang ingin dimengerti dan sekaligus mampu mengerti.

“Aku tuh demen banget belanja, plis dong jangan larang-larang aku kalau lagi belanja,” misal ini pekikan wanita yang demen belanja untuk dimengerti oleh pasangannya, tentu pada saat yang sama, dia pun harus mampu mengerti mana yang kudu diprioritas dan mana yang patut.

So, pengertian ini harus dilakukan dua arah, bersifat kesadaran, bukan paksaan, niscaya hasilnya akan melegakan kedua belah pihak.

Ketiga, komunikasi. Sukses sebuah komunikasi itu sangat ditentukan oleh relasinya yang sejajar, bukan atas-bawah. Komunikasi yang dilakukan dari atas, misal dengan kalimat menekan, bukanlah komunikasi, tapi intimidasi. “Awasss lho ya kalau aku nggak boleh belanja!!” wawww…kacau deh… Sebaliknya, komunikasi yang dari bawah bukanlah komunikasi, tapi mengemis. Hadeehhh, kasian…

Komunikasi ideal dalam hubungan apa pun harus atas dasar kesejajaran, saling mendengar dan memberikan waktu untuk berbicara, mendialogkan, sehingga hasil komunikasinya kemudian tumbuh sebagai komitmen bersama. Itu lho pentingnya komunikasi.

Finally, berbeda seperti apa pun kecenderungan dan kepribadian kita, sudahlah, jangan paksakan itu menjadi seragam, karena itu sia-sia, takkan pernah berhasil. Biarkanlah semua berbeda sesuai khittahnya, asal bisa diatur dengan sebaik-baiknya. Dan sebaik-baiknya pengaturan ialah pengaturan yang didasarkan pada komitmen, saling pengertian, dan komunikasi seimbang.

Udah itu aja, enjoy your life because life is too short!
Jangan berantem mulu, keburu mati loe, nyesel sendiri ntar di kuburmu!

MM, Luwak, Jogja, 10 Desember 2011
0 Komentar untuk "BIARKAN BERBEDA, TAPI DIATUR YA…"

Back To Top