Personal Blog

MENGAPA GUE GILA MENDAMPINGIMU MENULIS? (Sebuah Curcol Personal, Mimpi Komunal, Semoga Memantik Spirit Kalian…)


Dalam buku #CEOKoplak dan #SilabusMenulisFiksi, gue udah nyeritain tentang betapa heroiknya gue menyediakan wadah dan fasilitas kepenulisan bagi anak-anak muda di saantero negeri ini. Tidak banyak mungkin yang tahu hikayatnya, mengapa gue sampai segila ini menciptakan semua program yang berbiaya tidak murah itu.
Kali ini gue pengen bercerita (mudah-mudahan menggelitik sense of giving teman-teman lain yang sebenarnya punya kekuatan melakukan hal yang sama) tentang riwayatnya yang sungguh tidak sederhana passion-nya bagi gue.

Gue Penulis yang Kini “Kapitalis”
Ingat betul gue di awal tahun 1995, habis mondok di Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, abah yang kini sudah sepuh itu membujuk ibu (almarhumah di Mekkah tahun 2010) agar mau menjual segelintir perhiasan andalannya untuk membiayai transport gue ke Jogja. Bukan untuk traveling. Tapi untuk melanjutkan kuliah. Kebayang kan gimana kondisi ekonomi ortu gue? Hiikss..
Beruntung kakak ipar gue yang saat itu masih luntang-lantung itu punya kawan lama dari GHOT Sumenep, yang kuliah di AMPTA Jogja (entah jadi apa nama kampus itu sekarang), timur Amplaz sekarang. Eed namanya. Eed inilah yang menyediakan kosnya selama sebulanan untuk nampung gue. Eed sih anak orang kaya. Makan aja katering dia. Sering kalau kateringnya nggak dimakan atau bahkan nyisa, ya gue ini pelahapnya.
Gue pun masuk IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tentu, gue kemudian harus tahu diri untuk tidak numpang mulu di kos Eed. Jadilah gue ngekos di daerah Gang Gading Timoho: sebuah kamar triplek yang pengap, sebelah dapur dan kamar mandi. Murah, itu poin utama gue. 3 tahun gue ngekos di situ.
Tiap bulan, abah ngirimin gue living cost 100rb-lah. Zaman semono sih cukup, tepatnya dicukup-cukupkan.
Suatu hari gue kenalan sama senior yang ternyata adalah kiai, penyair, dan basis Eska Band. Faizi L. Kaelan namanya. Saat kenalan, gue terpesona ma kerendahanhatinya. Sendalnya aja sebelahan. Kanan merah, kiri biru. Untung nggak kanan semua, sebab kalau jalan pastilah dia akan muter ke kanan terus kan? J
Kosnya jauh lebih “elit” dari kos gue dan cukup dekat. Losmen Hantu nama kosnya. Gue pun rajin main ke kosnya dan melihatnya berkali-kali ngetik puisi di sebuah mesin ketik besaarrrr banget (mungkin dia beli mesin ketik yang udah dewasa ya). Obrolan dan gurauan pun terletup setiap saat. Nyaris tiada hari tanpa main ke kosnya. Apalagi ternyata dia setipe ma gue: doyan makan nasi kucing angkringan bukan atas nama cinta Jogja sih, tapi ngirit!
Gue mulai belajar menulis darinya. 2 buku gue beli waktu itu: Yuk Nulis Cerpen Yuk… (Mohammad Diponegoro) dan Mengarang Itu Mudah (Arswendo Atmowiloto). Passion gue ke cerita, pilihannya cerpen. Apalagi kata Kak Faizi itu, honor cerpen di koran lebih besar dari honor puisi. Okesip!
Beruntung pula zaman mondok, gue ngabisin buku-buku novel se perpustakaan asrama gue. Buku-buku hibah Depag katanya, sejenis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Merahnya Merah, Sumur Tanpa Dasar, dan yang jadul-jadul itulah. Jadilah bekal membaca dulu itu ketemu sama ghirah menulis cerpen ini.
Gue pinjam mesin ketik kesana-kemari. Dengan pede, setiap cerpen yang jadi, gue kirim langsung ke koran-koran. Ratusan cerpen gue kirim dari Agustus 1995. Dan alhamdulillah, nggak ada yang dimuat!
Gue penasaran kenapa cerpen gue nggak dimuat ya? Padahal cerpen-cerpen yang dimuat koran itu menurut gue sih biasa aja, punya gue lebih bagus atuh. Sial!!! Gue sodorin beberapa cerpen gue ke Kak Faizi. Omaigat! Dia ngekek sambil komen, “Pantesan nggak dimuat, Ed, penulisanmu salah semua nih. Masak dari halaman satu sampai selesai nggak ada paragrafnya. Mestinya kan dipecah-pecah dalam narasi dan dialog, kayak gini nih…” Dia nunjukin kliping cerpen koran.
Aku terperangah.
“Cerpenmu salah teknis aja….”
“Lho, apa bukan redakturnya yang mecah-mecah paragrafnya gitu?”
“Haaaa…kayak nggak ada kerjaan aja redaktur ngelakuin gitu. Yang ngirim ratusan kan, bukan cuma kamu.”
Damn!
Ibaratnya, gue kalah perang karena maju ke medan perang sambil membawa pedang panjang yang begitu dihunus ternyata bilahnya adalah garpu.
Gue pun segera berbenah. Gue baca setiap cerpen koran di hari Minggu. Meski tidak dengan cara selalu beli korannya, tapi bisa baca di lapak koran atau pun di perpustakaan kampus. Gue terus menulis. Pantang menyerah.
Tanggal 10 Maret 1996, cerpen gue dimuat pertamakalinya di koran Kedaulatan Rakyat Jogja! Yeeehhh! Gue memekik girang. Judulnya Den Bagus. Now, gue resmi jadi cerpenis! Dan yang nggak kalah pentingnya, gue kini dapat honor! 35 ribu, gue jemput ke kantor KR, naik bus kota dong. Cair. Haus, gue beliin teh botol.
Wooyy, Jogjaaaaa, ini gue cerpenis lhooooo, nih gue baru ambil duit hasil jerih payah gue sendiri lhoooo….kira-kira pekikan semacam itulah yang berderum di hati gue saking bahagianya.
Sejak saat itulah, gue jadi gila nulis. Bukan lagi hobi atau suka, tapi GILA! Tiap hari gue pasti nulis antara 2-5 cerpen, dengan panjang 5-8 halaman 2 spasi. Cerpen-cerpen gue pun bertaburan di kolom-kolom sastra koran-koran kita, dari yang berlevel nasional macam Kompas, Republika, Media Indonesia, Horison, hingga media-media daerah macam Analisa, Banjarmasin Post, dll. Dari yang ada honornya sampai yang gratisan (sebagian besar udah lenyap entah kemana, hiikksss...).
Saking membludaknya gue ngirim cerpen, tukang pos di IAIN kenal baik ma gue. Sekali kirim (seminggu dua kali biasanya) bisa setas gitu. Untuk nyairin wesel karton coklat pun udah nggak perlu identitas apa pun. Udah kenal. Saat itu, tiap bulan gue bisa dapat honor 300rb-700rb. Betapa kayanya gue kan?!
Maka dengan congkak, gue bilang ke abah waktu pulang kampung (belum punya BB dan akun tweeter sih), “Bah, mulai bulan depan nggak usah kirim lagi.”
“Lho, makanmu gimana?” tanya Abah.
“Aku udah bisa dapat duit sendiri dari nulis cerpen. Ini buktinya…” gue sodorin beberapa struk wesel. Abah menarik napas dalam, speechless. Seputik air bening netes dari sudut matanya yang menua (ahhh, gue nangis beneran di bagian ini...)
Begitulah heroisme gue bergigih nulis. Tahun 2000, nama gue dimasukkan ke dalam Angkatan Sastra Indonesia 2000.
Lantas, sejak tahun 2001, jelang lulus kuliah, gue merintis sebuah bisnis publishing. Nama awalnya IRCiSoD. Setahun kemudian gue bikin branding jadi DIVA Press. Diva adalah nama anak pertama gue. Namanya rintisan, pasti penuh luka dan darahlah. Mulai dari menulis sendiri, ngedit sendiri, desain cover sendiri, hingga nenteng-nenteng sendiri ke lapak-lapak buku di Shopping Centre Jogja. Buku gue dibanting-banting sama bakul, dikatain jelek, nggak mutu, nggak bakal laku, dan sejenisnya, ya udah biasa. Naik turun bus kota juga biasa.
Sambil kuliah S-2 di UIN Jogja, ngambil Filsafat Agama, gue ke kampus bawa ransel gede yang isinya adalah buku terbitan gue. Dua tahun penuh gue bertarung sendiri. Modal dari mana? Nekat! Tapi nekat gue adalah nekat beriman lho J. Untung, banyak orang baik dalam kehidupan gue. Baik, ya, baik, sebab mereka mau ngutangin gue untuk nyetak buku. Dengan menjaga komitmen dan kepercayaan mereka, ya ini yang gue maksud beriman tadi, bisnis baru gue berjalan slow but sure. Gue mulai bisa beli motor Shogun, meski kredit. Kemana-mana nggak lagi naik-turun bus kota atau ngandalin waktu senggang kawan-kawan tuk pinjem motornya.
Waktu berlalu, angin berhembus, kadang panas kadang dingin, kadang hujan badai kadang pula sejuk sepoi.
Dari mulai punya karyawan 4 orang di tahun 2003, kini DIVA Press Group udah punya lebih dari 200 karyawan (sebagian gue udah kagak kenal lagi), memiliki gedung-gedung sendiri, mobil-mobil dan motor-motor operasional yang entah udah berapa biji. Gue kagak ingat lagi. Tiap bulan, gue produksi 65 judul buku baru plus buku-buku cetak ulang unlimited. Ya, silakan ambil kalkulator, lalu itung sendiri, berapa putaran dananya kini: jika perjudul dicetak 4.000 eks x 65 x (misal perjudul) 10.000 = …………. *catat ini buku baru. Belum termasuk buku-buku cetak ulangnya yang juga tak sedikit.
Ya, gue yang penulis, yang menulis cerpen mulanya demi mencari duit untuk living cost selama kuliah, kini (maaf) telah jadi “kapitalis”. Publishing bukanlah satu-satunya bisnis gue kini, ya ada sih beberapa lagi lainnya. Jika standar umum mimpi orang hidup adalah untuk memiliki rumah elit, mobil mewah, sandangan dan parfum branded, dan makan lezat, gue udah selesai! Khatam!
O ya, gue sengaja memberi tanda kutip di kata kapitalis, sebab gue alergi untuk dimasukkan ke dalam judge kapitalisme itu gurita penyedot darah, penghalal segala cara. Betul, bahwa publishing adalah industri, so ia adalah bagian dari kapitalisme. Oke. Tapi nggak fair kalau semua industri, bisnis, dihentikan sampai di situ saja tanpa melihat gerakan-gerakan pembeda yang dilakukan manajemen atau owner-nya.
Menjadi "kapitalis" dalam artian (istilah kawan gue) “saldo rekening nggak ada titiknya lagi, alias koma semua” ternyata juga membosankan. Sumpah, bosan! Segala macam mobil dibeli, selalu saja hanya puas sejenak. Oww, hidup ternyata memang benar-benar bukan melulu soal duit. Tidak! Ada passion yang harus dipenuhi dalam hidup ini, yang sering lebih berarti dari duit, yang itu nggak lagi berorientasi duit, meski memang membutuhkan duit.
Dan, passion gue adalah menulis (ya, ada beberapa lainnya kayak traveling dan berburu kopi).
So, saatnya kini gue memuaskan diri gue dengan passion tersebut. Menulis sendiri tentu sudah punya pengalaman. Gue lalu bermimpi memiliki wadah konkret buat anak-anak muda di bawah gue yang minat dan serius untuk menjadi penulis (apa pun motivasi dan orientasinya).
Sejak tahun 2012, gue bikin #JustWrite. Diadakan ruitn tiap tahun. Ada 30 anak muda dari seluruh pelosok nusantara, dari Aceh sampai Makassar, yang datang dan gue latih menulis. Gue haru liat mereka datang dari jauh-jauh untuk belajar menulis. Gue inepin mereka di villa di Kaliurang, gue kasih makan, lava tour, dll. Semua itu spend money yang nggak sedikit pasti. Tapi, passion gue terpenuhi, gue orgasme!
Tahun 2013 ini gue menemukan team mate. Bersama beberapa anak muda yang punya visi dan misi yang sama, passion yang sama, gue bikin geger seluruh publishing di republik maling ini dengan mendirikan #KampusFiksi. Selain itu, gue juga buat #LelangNulisNovel dan #TimTentor.
Gue menulis sendiri #SilabusMenulisFiksi dalam dua hari, yang dijadikan panduan dalam kegiatan #KampusFiksi. Tahap 1, gue cetak seribu dan dibagikan gratis bagi yang minat. Yang merasa dapat manfaat, silakan dikopi dan dibagiin ke temen-temennya. Semoga jadi jariyah buat kita semua deh.
Pertengahan 2013 ini, gue agendakan untuk membangun sendiri gedung #KampusFiksi. Dekat kantor. Semoga tahun 2014, sudah siap pakai. Plus mess yang layak buat semua peserta #KampusFiksi.
#KampusFiksi start tahun 2013 ini, Angkatan 1 itu tanggal 27-28 April 2013. Diadakan tiap bulan. Semua peserta tinggal datang aja ke kota Jogja, tim akan menjemput. Lalu free! Makan, nginep, sampai jalan-jalan dan kasih buku-buku gratis. Bersama #TimTentor, gue ngajarin mereka nulis dengan sebenar-benarnya praktis. Setelah pelatihan, mereka yang serius akan dibimbing secara online oleh gue dan tim sampai mereka benar-benar bisa menulis novel yang layak terbit. Jika mereka minat nerbitin di DIVA Press, tentu dengan MoU profesional, gue siap. Jika mau ke penerbit lain, silakan aja. Nggak ada masalah.
Gue wanti-wanti benar pada seluruh kru #KampusFiksi, "Jangan sekalipun membiarkan ada peserta yang pulang dengan membawa kecewa dalam bentuk apa pun! Ingat, mereka adalah anak-anak gue yang harus kalian layani layaknya kalian melayani gue! Gue pengen semua anak gue itu inget kita dengan senyum indah, bukan muka masam kecewa. Berapa pun biayanya, gue jabanin! Deal?! Oke!" 
Tahun 2013 ini, ##KampusFiksi udah punya gedung sendiri juga, tapi ngontrak sih. Setahun 35jt, kosongan. Gue bentuk tim belanja macam-macam, dari meja bundar untuk kegiatan pelatihan hingga tivi flat, kompor gas, dan kasur. Semua itu free untuk semua peserta #KampusFiksi. Berapa biayanya? Ah, itu sendirilah. Satu meja dan satu kasur harganya dekat ke 2jt.
Gue juga sedang mengkonsep #SoroganNulisNovel. Gambarannya: para alumnus #KampusFiksi yang serius berkarya, yang belum tuntas dibimbing secara online, akan gue undang ke Jogja untuk face to face ma gue, tentu membawa karyanya, didiskusiin bareng, direvisi yang perlu direvisi, hingga selesai. Pertemuan sorogan ini bisa berlangsung satu kali atau lebih tergantung progres masing-masing penulis. Semua biaya transport, makan, dan nginep gue tanggung. Bukankah kalian adalah anak-anak gue? Jika sudah jadi novel, layak terbit, kan gue terbitin dengan MoU profesional. Jika maunya ke penerbit lain, silakan aja, nggak masalah buat gue.
Ahhh, passion gue benar-benar menemukan wadahnya. Gue tinggal buktiin bahwa banyaknya duit yang gue spend untuk semua program kepenulisan ini, memberikan manfaat nyata buat siapa pun yang memiliki minat besar, komitmen, dan keseriusan hebat untuk menjadi penulis. Di satu sisi, passion gue tersalurkan dan membuat gue kian orgasme dengan hidup gue yang hanya sekali ini, di sisi lain semoga kelak lahir anak-anak muda sukses yang memiliki sense of giving pula.
Waaahh, indah benar hidup gue ya…J
Gue bakal sangat bahagia jika suatu hari gue main ke toko-toko buku, gue nyaksiin ada buku-buku novel karya anak-anak gue yang pernah hidup bareng gue. Soal logo penerbitnya apa, bukanlah passion gue. Bagaimana pun, umpama 75% alumnus program gue yang jadi penulis hebat itu kelak tidak memberikan naskahnya ke gue, DIVA Press kagak bakal kolaps kehabisan stok naskah.
So, ini murni tentang sejarah hidup, passion, dan mimpi. Gue bayangin suatu hari ketemu sama dua cewek muda di sebuah kereta tujuan Jogja, lalu gue menyapa, “Dik, mau kemana?”
“Jogja…”
“Kuliah di Jogja atau gimana?”
“Mau ikut pelatihan menulis di #KampusFiksi…”
Ya Tuhan, ya Allah, saat itu gue pingsan pun ikhlas kok. Mereka anak-anak gue, Gooddddddd...!!!
Yuk, menulis, semangat, bertahanlah dalam proses kreatifmu, sebab hanya mereka yang bertahan itulah yang akan menuai buahnya. Jika kelak kalian sukses, bangunlah sense of giving, dalam bentuk apa pun ya, Nak...
Jogja, 12 April 2013

#Maaf jika ada bagian yang tidak patut.
57 Komentar untuk "MENGAPA GUE GILA MENDAMPINGIMU MENULIS? (Sebuah Curcol Personal, Mimpi Komunal, Semoga Memantik Spirit Kalian…)"

wow dalem sekali, .....semoga terus bermanfaat buat semua, kak.

amiinnnnnnnnnnnn...mohon dukungannya bje

Keren Pak! Inspirational! Semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan pahala yg berlimpah. Dan terima kasih juga untuk kesempatannya Pak, saya salah satu calon murid #KampusFiksi angkatan ke-3. Ga sabar mau ke Jogja :)

Hu hu hu sosok yg tahu diri dalam mensyukuri nikmat Illahi. Semoga tak terputus pada orgasme saja, tapi sampai mati.

Saya turut mendukung dalam setiap hembusan doa pak boss...barokah selalu pak boss sekluarga dan Diva Press

Oh My God!
Nangiiisss!

Teka teki atas kedermawanan Mas Edi tejawab. Walau awalnya pukeweuh dan malu bertanya.

Semoga Allah mmbalas smua kebaikan mu Mas Edi....

#KampusFiksi
I miss U..

Saya terpilih ikut program #KampusFiksi untuk angkatan kedua. Sungguh, setelah membaca tulisan ini, saya kok tiba-tiba tidak sabar tuk bertemu langsung dengan Anda.

Saya salah satu penulis yang mewujudkan impian lewat DIVA. Terima Kasih, Pak CEO!!

Pengen meluk Papa #CEO deh!

Semoga saya dan teman peserta #KampusFiksi akan menghiasi toko buku nasional setelah pelatihan. Amin!

Mantap programnya Pak, Semoga selalu sukses dengan program-program positifnya. Cara berbagi yang indah, lebih baik memberi kail dari pada memberi ikan.

Huaaaah.. bikin terharu sekali curhatannya. Bapak harus menceritakan ini langsung di hadapan para peserta #KampusFiksi, pak. Biar mereka punya anutan. Semangat menulis mereka juga pasti naik!

Jadi pengen nangis. Semangat nulis saya bisa bertahan juga berkat Diva. Novel pertama saya yang masih amburadul itu, diterima dan jadi sebuah karya yang layak dibaca orang banyak.

Terima kasih untuk segala kebaikan yang diberikan selama ini. Saya senang mengenal Bapak dan Diva.

Ah, jadi pengen nangiiiissss...

hihi bapak, banyak yg komen.. aku merinding bacanya.. insyaallah kita ketemu di angkatan ke-3 ya pak :) semoga yg di kerjakan selalu bermangfaat bagi orang lain.. aminn :)

Saluuuuut.....menemukan satu figur lagi yang patut dicontoh :)

huahaaaaaaa ,, numpang nangis di sni yaw pak? moga ajh bapak, keluarga bapak, dan diva press makin sukseeeeees !!! amin

Izin share, Pak. Semoga bikin tergugah yang lain ...

Saluutt... :)
Keren banget perjuangannya, Pak. Semoga Diva Press semakin maju dan tambah keren. Dan semoga para penulis pemula bisa sukses di penerbit Diva Press ini, aamiin... :)

Ya Allah baca ini bergetar deh hatiku.. memotivasi banget pak.. saya akan berusaha semaksimal mungkin pak, mohon bimbingannya, #saya maba #kampusfiksi angkatan II pak :D salam kenal..

Wow, jadi pingin ngikut kampus fiksi. Tapi.... usia 32 ketuaan gak ya? hahaha...

Subhanallah...
Terharu baca tulisannya pak, Pak Edi is from zero to hero. Sebetulnya saya pengen banget ikut #kampusfiksi tapi nggak bisa ke Jogja, masih sekolah formal soalnya.

aku hanya ingin membuktikan menulis bukanlah dosa. Tapi menulis membuat kita bahagia.

Kakak2 aku,mbak2 aku mengagap kalau aku hanya pemimpi. Ibu aku tak bisa mendukung atau menentang. Begitu ada gadis masuk dalam hidupku aku sadar. Hidup itu surga bagi orang kaya dan neraka bagi orang miskin. Tapi bagi penulis hidup itu indah. Kisah pak edi membuktikan menulis itu indah. Salam buat pak edi.

Ide yang bagus yang awalnya saya kira main-main saja, soalnya saya sempat membaca soal itu di sebuah status Facebook-nya Pak Edi. Dan Terima kasih nama saya telah dibawa-bawa dalam catatan ini, meski sedikit malu kalau ingat soal sandal itu :))

dan ternyata ada lagi tulisan tentang hal yang sama, terbit hampir bersamaan pula. Ini dia...

http://www.rindupulang.blogspot.com/2013/04/penerbit-peduli-literasi.html

makin mantap, deh...

mantap mas, salam kenal, kereeeeeeeen :)

setelah ngebaca ini, jadi semakin yakin buat nulis, walaupun belum keterima #KampusFiksi tapi aku bakal selalu belajar samapai nanti ketemu sama Pak CEO di #KampusFiksi selanjutnya! aamiin

Saya salut dengan Mas Edi. Tidak banyak penerbit, bahkan boleh dibilang tidak ada penerbit satu pun sekarang yg memiliki visi dan misi mulia seperti ini. Semoga semua lancar dan dimudahkan jalannya. GBU.

Salut dengan DIVA Press dan CEO-nya. ngekek sambil berkaca-kaca bacanya je :D

Padahal saya cuma di Magelang, tetapi keadaan tidak memungkinkan mengikuti kampus fiksi. Saya ikut event fikfan DIVA saja Bang Edi.

hehe

huaaaaaa.... :3 sweet... keren" ceritanya pak...
>///< moga DIVA Press makin sukses

Stress gw bacanya, sumpah hal yg spt ini nieh yg penuh inspirasi.

satu yg gue tau, yg namanya org rajin bersedekah gak bakal jatuh miskin, yg ada tambah kaya. Subhanallah.

Barakallah buat Diva Press

Huuuwwaaaa jadi terharu saya pak...Sungguh mulia hati bapak..Semoga Tuhan selalu memberkati hidup pak Edi, mempermudahkan setiap langkah pak Edi...Meskipun sy belum sempat utk daftar di #KampusFiksi, tapi pasti suatu saat nanti qt akan bertemu di sana... Tetap semangat ya pak Edi..GBU..Tuhan Memberkati

mengispirasi sekali, jadi makin semangat buat belajar nulis, biar bisa lolos ikut #KampusFiksi selajutnya.

Sukses ya Pak, keluarga dan Diva Press semoga semakin berkah. :D

Terharu sampai mau menangis bacanya. :'(
Ternyata perjuangan Pak Edi sungguh luar biasa. Terima kasih untuk Bapak dan DIVA Press. Sejak mengenal DIVA Press inilah saya menjadi semangat dan rajin menulis. Sekali lagi terima kasih :)

nice story om.. ^^ termotivasi banget .. smga akunya yg ga bakat nulis ini, bisa jadi penulis handal kya om.. bukan handal, tapi jd penulis yg karyanya bsa d terbitin, walau cma 1 XD
Makasih om, keren bgt lah pokoknya ^^ jrang loh ada org yg mau bimbing org2 yg ga tau sma skali dunia nulis, jd mulai ngerti cara nulis yg bgus tu gmn.. ^^

Latarbelakang kehidupan kita sama pak,,,
Melalui artikel ini, menjadi semangat baru bagi saya walau sebenarnya sulit untuk bangkit berdiri ketika terjatuh dengan segala keterbatasan.
Tapi demi karya-karya saya yang terlanjur begitu saya cintai, saya janji tidak akan pernah berhenti...

*nangis termehek-mehek...

wow...saya terharu sama perjuangan pak Edi. Saya sungguh pingin jadi penulis kayak Pak Edi. Dan saya senang nanti bisa belajar di kampus Fiksi angkatan dua.

Terharuuu...salam kenal pak, Dakuw lulusan yogya juga, penulis serabutan, smoga bisa ikutan seru2an di kampus fiksi, didoain lancar ya pak!

Kelak mimpi besar untuk memiliki penulis indonesia yang karyanya akan menggetarkan dunia, akan lahir dari tangan kebaikan Mas Edi...

Semoga itu semua dapat terwujud semasa mata masih melihat dan nafas masih berhembus...

Sungguh sebuah bibit ini akan menjadi pohon yang besar, rindang dan menghasilkan buah pada akhirnya nanti...

Saya dukung dengan doa.
Dan Tuhan Yang Maha Melihat juga Mengetahui... pasti mengetahui yang terbaik

Salam

Subhanalloh ...
Semoga semakin banyak yang tergelitik untuk sense of giving setelah membaca blog ini. Menjura, pak CEO (Y)

Hiikkssss...... *tisu mana tisuuu

“Do something different, something crazy, take the risks, you will become different as you wish!!!...", always remember that you say
Suksma bli....
Grateful to God, can meet someone like you

This comment has been removed by the author. - Hapus

so inspire pak #CEOKOPLAK... :)

terimakasih pak bos, atas kesempatannya sy bisa ikut #Kampus Fiksi angkatan IV. jadi semakin optimis untuk meraih mimpi. Matur suwun sanget :-)

kerennnnnn. pengen deh jadi anak pak edi juga. pengen diajari ilmu cara merintis dunia penerbitan.

kapan-kapan pengen jadi anak pak edi juga :') saya suka nulis dan banyak kendala ketika nulis tapi suka bingung mau konsultasi ke siapa.

Terberkati,...! (aku karo mbrebes mili)

Salut, jarang sekali orang yg sdh berada di industri kapitalis berpikir profit, people & planet

Pantesaaaan...sekarang bapak sukses jadi panutan banyak orang. Perjuangannya sama kayak judulnya. Gila. Moga makin sukses dan menginspirasi lebih banyak orang lagi. Amiin...

Beneran deh, super inspiratif.
eh saya suka pas bagian haus, terus minum teh botol, hehe... pasti mereknya yang entu ya... My Lovely ... lah pokoknya, hehe...
Makasih ya Pak Ed sdh mau menjadi pembimbing kami, penulis unyu2 dalam pengalaman, dan nggak pelit2 berbagi ilmu, beneran deh, jadi mentor nggak mesti galak2, kayak Pak Edi aja, langsung para muridnya pada manut...
salut coklat ...

wah pak. pas bagian ini:

Maka dengan congkak, gue bilang ke abah waktu pulang kampung (belum punya BB dan akun tweeter sih), “Bah, mulai bulan depan nggak usah kirim lagi.”
“Lho, makanmu gimana?” tanya Abah.
“Aku udah bisa dapat duit sendiri dari nulis cerpen. Ini buktinya…” gue sodorin beberapa struk wesel. Abah menarik napas dalam, speechless. Seputik air bening netes dari sudut matanya yang menua...

Rasanya terenyuh banget, hampir nangis saya. hehe
Pak Edi yang baik, saya doakan mudah-mudahan upayanya bisa menjadi amal jariyah yang barokah... amin..

merinding bacanya Pak Edi. semoga passion itu juga menular untuk generasi yang mau berkarya di dunia literasi ini. Salam pena Pak Edi :)

wah, Pak Edi satu pondok sama adek saya ternyata.. :)

Sedappppp! Kece badai kisah hidupnya,bang! Saya jadi semakin terus bersemangat buat nulis. Dan sense of giving tentunya :)

semoga orang kayak pak edi gak cuma satu ya.pak ediii..tunggu aku di jogja :')

Back To Top