Personal Blog

TAK TUNGGU BALIMU Cerpen @edi_akhiles


“Oke, aku suka Tak Tunggu Balimu, ada masalah?!” sergahku. Ah, nih anak, dari kemarin resek banget komen desolah, kamsupaylah, kampanyelah, kamsialah, hanya gara-gara aku muterin lagu dangdut koplo yang gigir menghunjam hati sampai lumer kayak coklat ditaruh di wajan yang diletakkan di atas magma Merapi ini.
Ia tampak kaget melihat sikapku, lalu bergeser seinci demi seinci hingga bablas di balik pintu kamarku.

Vivi…apa…my honey…apa, my honey? Emoh ah…
Maafkanlah wahai sayangku…oohhh…oohhh….
Terpaksa meninggalkanmu
Aku tak membenci dirimu dan melepaskan cintamu
Kau tau diriku ku tau dirimu (tak tahu…)
kita sudah tak sendiri lagi (itu kan dulu…)
Kuharap dirimu mengerti diriku tak mungkin kita terus begini
Anggap saja semua itu sebagai mimpi tidurmu (emoh ah…)
Lupakanlah masa lalu dari semua kenanganmu
Yang lalu biarlah berlalu…
Taktakdungcesss….

“Udah kubilang, apa masalahmu aku muterin lagu ini sih?!”
Kurang ajar benar nih anak! Tadi, benar sih dia mlipir kabur saat kubentak, tapi masih aja reseknya nggak berhenti. Kirim SMS segala, dengan nada yang masih sama: mengejek lagu tercintaku itu.
“Kasian aja, masak zaman tweeter gini masih koploan gitu, heee…”
Kulempar BB-ku ke kasur, lalu ngacir keluar. Kubanting kepalaku kesana-kemari, kosong. Nggak ada sepenggal kepala pun. Hanya deretan kamar kos yang terasa lengang.
Kemana si buntelan kentut itu?
Gemeletak benar rahang dan gigiku melihat ejekannya yang sangat tubi itu. Sekali dua kali sih kudiemin, tapi kok malah jadi terus-terusan gini? Laptop yang kupake muterin lagu asolole itu ya punyaku, nggak pake utang ke bank plecit lagi, lha kok dia begitu sibuk mempermasalahkan hobi baruku?
Nggak ada seupil pun dari semua kegiatanku itu yang berkaitan dengannya, tapi kok bisa-bisanya dia nggak ada bosannya untuk terus menghinaku sih?
Siallll!!!
****
Menelan Paul Ricoeur memang tidak semudah mengunyah Muhammad Syahrur. Memang. Rumit, itu kata teman sekelasku. Ya, rumit memang sih, tapi harus kuakui bahwa darinyalah aku jadi kian kesemsem sama filsafat hermeneutika.
Nggak sia-sia aku banting tulang selama 2 minggu ini untuk menelan Ricoeur dalam sebuah makalah setebal 20 halaman 1 spasi ini.
“Kata kuncinya apa itu Ricoeur menurut Mas Edi?”
Jleb! Suara berat Profesor Amin Abdullah yang mengampu mata kuliah filsafat bahasa ini membuatku diam beberapa jenak. Kubuka beberapa halaman makalahku, lalu mulai berdehem.
Seutas suara yang tidak menyenangkan merobek sepi kelas bahkan sebelum tiga suara dehemku lenyap. “Kayak vokalis koplo aja pake deheman segala…”
Sialll!!
Dia lagi, lagi, dan lagi! Kulemparkan mata tajamku ke arahnya. Nih anak benar-benar bedebah!
Awas kamu ya ntar di luar, sumpahku dalam dada yang gemuruh. Benar-benar perusuh dia!
“Ayo Mas Edi…” Suara Profesor Amin mencekik pompa darahku yang meledak-ledak.
“Baik, kawan-kawan semua….” suaraku mulai mengalir, meski rada bergetar bukan karena grogi, tapi karena kulihat kedua jempol tangan bocah tengik itu digerak-gerakkan membentuk jogetan koplo.
“Pemikiran terbaik Ricoeur, menurut saya, terletak pada dua kata kunci hermeneutisnya tentang teks, yakni what is said atau apa yang dikatakan teks dan the act of saying atau cara atau proses teks mengungkapkan maknanya. Kata kunci pertama, what is said, adalah event yang dikandung sebuah teks. Makna teks begitu sudah dituliskan seketika menjadi otonom, mandiri, lepas sepenuhnya dari konteks penulisnya. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, lantaran teks tidak menyediakan ruang komunikasi langsung antara penulis dan pembacanya, kan? Tidak adanya ruang ini otomatis menjadikan teks berbicara sendiri secara otonom kepada siapa pun yang membacanya, yang tentu sangat dipengaruhi intensi, kepentingan, dan kapasitas pembacanya. Karenanya, makna teks yang sama menjadi sangat beragam di tangan orang yang berbeda…”
Good, lanjut Mas…”
Yihaaaaaa….nggak usahlah profesor yang sangat kuhormati ini berkata banyak, cukup dengan satu kata “good” sudah membuatmu bak Vivi yang dielu-elukan remaja dan bapak pemuja lagu Tak Tunggu Balimu itu.
“Baik, Pak,” suaraku mulai diseraki rasa percaya diri yang membludak. “Pada posisi what is said ini, maksud penulis teks menjadi tidak tersekat pada standar makna apa pun, termasuk standar makna yang dimaksudkan si penulis. Bahkan Ricoeur menyebut penulis teks sebagai pembaca pertama, dengan makna yang diproduksikan pada teksnya, lalu diterima oleh pembaca kedua, ketiga, dan seterusnya, dengan produksi makna masing-masing, yang niscaya terus menghasilkan pergeseran makna dari pembaca pertama itu alias penulisnya sendiri…”
“Yang kedua, yang the act of saying, Kang?”
Sumpah, kuhajar beneran kamu ntar ya, koplak!
Dia lagi, dia lagi, nyeletuk nggak penting banget gitu, yang pastilah semata hanya untuk meledekku. Lihat itu, pakai kata “Kang” segala, sebutan yang lekat dengan lagu koplo itu!
Kembali, kupaksa menekan gemuruh dadaku. “The act of saying adalah cara teks mengungkapkan dirinya kepada pembaca manapun melalui sebuah event itu, yakni peristiwa hermeneutis, yang menjalinkan kesalingterbukaan antara teks di satu sisi dan pembaca di sisi lain. Dari sini teks selalu memproduksi makna yang sangat berlimpah, tak terbatas. Keberlimpahan makna atas pembacaan sebuah teks menunjukkan bahwa proses “teks membuka makna dirinya” kepada setiap pembacanya membutuhkan “pembaca yang membuka dirinya pula” kepada teks, agar dari event hermeneutis itu lahir produksi-produksi makna baru. Terus-menerus. Mohamed Arkoun menyebutnya korpus terbuka. Ya itulah the act of saying, situasi dinamis selamanya.”
“Mantap Mas Edi…” ujar Profesor Amin sambil mengangguk-angguk.
“Maaf, Prof, boleh saya tanya?”
Apa maunya nih anak? Semoga nggak lagi main-main dia ya pake acara ngacung sok mau nanya serius gitu?
Profesor Amin mengangguk.
“Ya, saya setuju dengan kesimpulan Mas Edi tadi. Saya hanya ingin meminta Mas Edi mencoba menerapkan teori hermeneutika Paul Ricoeur itu dalam teks. Misal….” Dia diam. Kedua jempol tangannya tampak digoyang-goyangkan.
Omaigat! Ya Tuhan, jangan sampai dia tanya, bagaimana filsafat Hermeneutika Ricoeur dijadikan pisau bedah menggali makna dari syair Tak Tunggu Balimu, batinku penuh harap.
“Ayat apa mungkin?” tukasku mendahului. Berharap dia hanya akan menyodorkan sebuah contoh ayat atau hadits apa pun.
“Bukan, bukan,” ia menggeleng. Tersenyum kecil, tapi sungguh terasa bak seringai serigala di mataku. Sial, awas kalau sampai kamu menyebut lagu pujaanku itu. “Eheemm, misal sebuah syair gini: Nangiso sedino ping pitu yen kui keputusanmu / Aku ora bakal ngganduli lungamu ninggalke aku / aku wis lilo yen sliramu lungo senajan dodo ngempet ing loro / aku ra kuoso menging sliramu sing tak jaluk jujur atimu / mugo sliramu ra cidro senajan adoh ing kono / sliramu tansah gumanti ono ing mripat lan dodo / budalo tak tunggu balimu…”
Udara seketika pecah oleh gemuruh kikikan teman-teman sekelas. Profesor Amin yang sepertinya tak mengenal syair itu hanya mendonggakkan kepala, tersenyum kecil. Lalu menyilahkanku untuk menanggapinya…
****
“Enak kan? Syairnya, juga trektekdungces-nya itu tuh?” Mulutku tertawa lebar.
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti suara ketrakan gendang yang menyeret hati begitu dalam.
“Hebat ya penciptanya…” sahutnya kemudian. Kecil.
“Ya, makanya, kenapa pula dulu kamu menghina lagu ini terus coba? Hanya semata karena ini lagu dangdut koplo yang kadung diidentikkan ndeso itu?” Aku mendengus di depannya. “Stigmatisasi memang merusak obyektivitas kan?”
“Ricoeur benar sekali ya tentang peristiwa hermeneutis teks dan pembacanya dalam melahirkan makna baru….”
“Lha kok jadi lari ke Ricoeur lagi?” Alisku terangkat menaut.
“Tahu nggak kenapa aku jadi suka lagu ini?”
Aku menatapnya, menyelidik. Menggeleng kecil.
“Srintil. Ya, Srintil dan aku udah nggak bisa bersama lagi. Ada faktor x yang nggak memungkinkan kita bersatu lagi,” suaranya lirih. Bergetar.
Ahaaaa…dia terluka, berrrooooo!!! Anak S-3 pun bisa galau! Ternyata galau benar-banar lintas apa pun ya…
Tanpa perlu mendengarkan curcolnya lebih lanjut, aku langsung berani mengambil kesimpulan bahwa horizon-nya yang patah hati itu telah bertautkelindan dalam sebuah peristiwa hermeneutis dengan syair Tak Tunggu Balimu ini, lalu memproduksi “makna baru” baginya: suka lagu koplo ini!
Makanya lo, jangan songong jadi orang! rutukku dalam hati.
Jogja, 11 April 2013

3 Komentar untuk "TAK TUNGGU BALIMU Cerpen @edi_akhiles"

kayaknya ane kudu belajar pilsapat ke ente pak bose.

Saya harus bilang wow....wajib, fardu ghin, artinya setingkat lebih tinggi dari ain

Salman

Back To Top