Personal Blog

EH, ADA YANG JUALAN PAYUNG DI SEPANG (Oleh-oleh dari MotoGP Sepang Malaysia 26-10-2014)



Pagi-pagi, pukul 08.30, saya sudah siap di teras Metro Hotel, Bukit Bintang, menunggu jemputan Pakcik Nizaam. Dalam hati, saya ingin bertanya padanya, “Siapa sih sebenarnya ayah Upin dan Ipin?”
Beberapa orang yang berbahasa Indonesia, sebagian pakai bahasa Jawa dan Sunda, juga tampak bergerombol menunggu jemputan masing-masing. Kawasan Bukti Bintang ini selalu menjadi lebih ramai dibanding biasanya saat ada perhelatan MotoGP begini. Magnet MotoGP benar-benar tak terkalahkan sebagai aset pariwisata Malaysia. Dan, mayoritas tamu berdatangan dari Indonesia.
Pukul 09.15, Pakcik Nizaam datang membawa Bas Persiaran-nya. Tak ada Pintu Kecemasan di mobil ini. Kalau di kita, disebut mobil ELF. Everlasting Friend *dikeplak para aktivis Elf macam Farrah, Putri, Cuncun, Mufi, dan (n)Eon-(n)Eon lainnya. Di dalam mobil, tampak tujuh orang telah duduk manis. Mereka rombongan dari Bandung. Satu keluarga besar begitu. Dari kakek sampai cucu kompakan. Keren!


Sekitar satu jam berpusing-pusing dan berhentak-hentak di dalam Bas Persiaran Pakcik Nizaam, sampailah kami di Sirkuit Sepang. Kerumunan orang yang berlalu-lalang begitu tebal di sini. Mayoritas berwajah Melayu, lalu orang-orang Chinese, terakhir (jumlahnya tak banyak) berwajah bule.



Sirkuit ini tak lagi asing buat saya, memang. Beberapa waktu lalu saya juga pernah ke sini. Jadi, lekuk-lekuknya cukup saya hapal sebagian besarnya. Lalu, saya masuk membawa 3 anggota lainnya. Jepret sana-sini. 


“Aku mau beli kaosnya Marq, Yah,” kata Dik Gara.
Oke, masuklah kami ke sebuah counter kaos, meski dalam hati saya nggak ngerti kenapa anak kecil begitu udah punya pilihan rider, dan jatuhnya ke Marq lagi. Kenapa nggak milih Rossi coba, setidaknya meniru ayahnya? Saya menghela napas dalam-dalam.
Begitu kaos didapat, ia langsung minta mengenakannya. Lagi-lagi, saya menarik napas dalam-dalam sambil memasangkan kaos itu ke tubuh kecilnya. Parah lagi, begitu kaos itu sudah dipakai, ia mengepalkan tangan sambil teriak-teriak, “Marq! Marq!”


Maaf ya, Rossi, saya gagal mengkader anak saya sendiri untuk memilihmu, gumam saya dengan mata berkabut *oke, ini lebay!
Cuaca benar-benar panas. Sangat terik! Saya lalu berpikir bahwa inilah momen terbaik untuk jualan air mineral. Pasti laris! Saya agak menyesalkan, kenapa saya nggak bawa kotak asongan kayak para pengasong Malioboro ya dan jualan air mineral di sini? Harganya di beberapa counter mencapai 3-4 RM. Ya, setara Rp. 11.000 – 12.000. Kalau kulakan di Pasar Keppo dengan harga Rp. 1.500/botol, lalu saya bisa jualan 1.000 botol, wah berapa duit itu untungnya? *otak bisnis kumat.
Di antara lalu-lalang penonton yang luar biasa riuhnya, di bawah tikaman panah-panah matahari yang menusuki ubun-ubun *diksi, ini diksi*, mata saya terseret dan kemudian terpaku pada dua orang gadis yang jualan payung. Iya, payung. Aduh, nggak sengaja lagi, kamera yang saya gantung di leher kok kepencet juga. Mungkin, ya mungkin aja sih, tadi pas papasan sama pengunjung yang ramai, tombol take-nya terpencet gitu. Tahu-tahu telah banyak aja foto-foto gadis berpayung itu. XD




Saya berpikir untuk membeli payungnya. Pasti enak payungan di bawah terik begini. Saya pun mendekatinya yang mengajaknya bicara. Eladalah, ramahnya luar biasa!
“Enak ya payungan di sini, nggak panas,” kata saya.
“Iya,” sahutnya.
“Ehhm, berapa harganya?” kata saya.
“Apanya?” sahutnya.
“Itu…” kata saya.
“Apa ya?” sahutnya.
“Payung,” kata saya.
“Oh, payung,” sahutnya.
“Iya,” kata saya.
“Mau?” sahutnya.
“Iya,” kata saya.
“Ehmmm….” sahutnya.
“Berapa?” kata saya.
“Seriusan?” sahutnya.
“Iyalah,” kata saya.
“Yang mana?” sahutnya.
“Iya ini, kamu,” kata saya.
“Kamu bercanda,” sahutnya.
“Beneran,” kata saya.
“Mahal,” sahutnya.
“Mahalnya berapa?” kata saya.
“150 RM,” sahutnya.
“Kok murah?” kata saya.
“Lho, masak murah?” sahutnya.
“Iya, masak kamu harganya segitu,” kata saya.
Plis, abaikan contoh dialog nggak penting begitu saat membaca sebuah cerpen atau novel. Buru-buru saya meninggalkannya sebab saya tahu bahwa saya telah salah fokus. Ini tentang harga payung, bukan tentang “harga kamu”. Saya khawatir dia keburu menyebutkan harga beneran, lalu saya nggak punya nyali ternyata. Duh, saya pun lari segera dari kenyataan.... XD

 
Kami pun langsung naik ke tribun yang berada di lintasan start. Tak lama, race hiburan dimulai. Race lokal, para pembalap muda Malaysia. Kuping mulai pekak dihajar lengkingan knalpot.
Lanjut dengan race Moto3. Wah, itu dia adiknya Marquez yang juga juara dunia musim ini. Lalu dilanjutkan dengan race Moto2. Di depan mataku, di seberang lintasan, dari arah paddock yang berderet, muncullah nama-nama macam Redding, Roboo, Luthi (bukan Luthfi), dll. Setiap lap, jika diukur dari race hiburan tadi hingga Moto2, durasinya terasa cepat saja selesainya. Pertanda memang motor-motor itu memiliki speed yang semakin menanjak.




 Sebelum race pamungkas digelar, penonton dihibur terlebih dahulu oleh penampilan seorang free styler. Keren banget!



Then!
Lorenzo….
Marquez….
Pedrosa….
Dan Rossiiiiiiii…..






Mereka keluar dari paddock masing-masing dan melintas di depan mata hanya dalam jarak sepelemparan tombak. Saya memang tak membawa tombak, untuk memastikan jarak itu dengan cara melemparkannya ke arah Marquez *lalu dikeplak*, tapi terkaan saya takkan meleset jauh kok tentang jarak dari posisi saya ke posisi Rossi melintas dan melambaikan tangannya yang penuh berkah itu. XD
Start pun dimulai!
Telinga mampat! Jeritan berledakan. Suara muffler yang memekik-mekik benar-benar mengalahkan teriakan saya sekeras apa pun. Yes, Rossi menyodok! Beberapa lap tertempuh dengan sangat cepat. Tahu-tahu, mereka sudah tiba lagi di depan saya, hingga tak ada waktu untuk duduk saat mereka usai melintas.
Semua penonton yang sesak pada berdiri. Di atas kakinya masing-masing tentunya. Saya sempatkan kepala menoleh ke sana-sini, alhamdulillah tak ada satu pun dari ribuan penonton ini yang “pura-pura” tabrakan untuk saling kenalan, bertukar nomer HP, lalu jatuh cinta gitu. Alhamdulillah ya.
Yeesssss!
Teriakan saya kian menggila saat Rossi melakukan over take pada Lorenzo dan memimpin race. Dik Gara diam saja melihat saya memekik. Tapi itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba pekikan Dik Gara meledak di dekat telinga saya saat Marq menyalip Rossi.
“Horeeee!!! Marq! Ayah kalaaaahhhh!!!”
Huh, saya diam, membiarkannya mengepalkan tangan sambil memekik begitu. Ntar ya, ntar, dibalas deh, gumam saya. Ayo Rossi, hajar Marq, hajar aja, jatuhin deh kalau terpakasa….  Saya lirik wajah kecilnya yang bener-bener deh....



Tapi itu tak pernah terjadi. Di antara pekikan Dik Gara yang berkali-kali meledek Rossi yang menguntit Marq, saya teringat sebuah fatwa yang amat menenteramkan hati, bahwa niscaya selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa.
Saya percaya bahwa Rossi sengaja mengalah pada Marq sebagai racer yang usianya jauh di bawahnya. Iya, Rossi itu bijak sekali lho, dengan mengajarkan pada saya untuk mengalah pada yang lebih muda.
Saya juga percaya bahwa Rossi bukanlah orang yang serakah. Buktinya, ia mempersilakan Marq mendahuluinya, juga menjadi juara dunia.
Saya pun percaya bahwa Rossi telah meraih the power of giving. Fadhilah berbagi sudah menghiasi hatinya. Ia berbagi lho, berbagi dengan Marq untuk mendahuluinya.
Hikmah terakhir, Rossi tahu benar berdasar pengalamannya yang jauh lebih matang dari siapa pun di MotoGP, termasuk Marq, bahwa bagaimana pun Marq mendahuluinya, tetap saja mereka akan berjumpa setelah finish. Bukankah garis finish itu takkan pernah pindah ya? Jadi, prinsip “alon-alon waton kelakon” dan “biar lambat asal selamat” pasti telah menjadi buah pengalamannya yang luar biasa. Benar-benar keren kan si Rossi itu?
Begitulah hikmah-hikmah kebijaksanaan hidup yang diajarkan Rossi buat kita semua. Ah, saya makin jatuh cinta deh sama kamu, Rossi….
Jika Rossi saja bisa berbijaksana demikian, sungguh tak ada alasan buat saya untuk tidak lebih berbijaksana pada anak saya sendiri, Dik Gara. Menjadi kewajiban mutlak bagi saya untuk mengalah padanya, kan.
Jelang senja, saya meninggalkan Sepang. Tahun depan, saya akan datang lagi ke sini kok, Rossi. See you gadis penjual payung… *keplak!
(Next, saya akan post tentang cara mudah masuk kota Malaysia, nonton MotoGP, dan keganjilan saya tentang kebiasaan orang sana yang ternyata suka “menandaskan wanita”).


Jogja, 29 Oktober 2014
Tag : Traveling
1 Komentar untuk "EH, ADA YANG JUALAN PAYUNG DI SEPANG (Oleh-oleh dari MotoGP Sepang Malaysia 26-10-2014)"

Mbak, payungnya berapaan? Tuker sama cinta saya mau ya? *gagal gombal* XD

Back To Top