Personal Blog

KUE TART YANG SETIA DIJAGANYA Cerpen Edi AH Iyubenu



Cerita rekaan ini sengaja kutulis di hari ultahku ini, 13 November 2014, sengaja kupost, tidak dikirim ke koran Minggu, sebagai tanda cintaku pada kalian semua. Jika kalian minat membacanya, kusarankan untuk membaca pelan-pelan, sampai tuntas. Membaca separuhnya niscaya akan membuatmu tidak mendapatkan “sesuatu” di dalamnya. Maka bertahanlah untuk membacanya. Setelah tuntas, mungkin, ada pelajaran teknik menulis cerpen yang bisa kalian dapatkan. Mungkin pula, ada pelajaran kehidupan di dalamnya. Jika kalian suka cerpen ini, silakan dishare. Terima kasih untuk semua doa dan persahabatan yang telah kalian jalinkan selama ini. God bless us. Amin.


KUE TART YANG SETIA DIJAGANYA
Cerpen Edi AH Iyubenu

Aysila penggemar salad. Aku penggemar nasi pecel. Aysila pecandu spaghetti. Aku pecandu bakmie Jawa. Aysila penyuka pop corn. Aku penyuka jagung rebus. Aysila hobi mengunyah permen karet. Aku hobi menghisap rokok. Aysila gemar terbahak. Aku gemar merenung. Kami sungguh berbeda, sangat berbeda, kendati kami saling mengetahui betapa kami telah saling jatuh cinta sejak setahun silam, persis saat Stefany mengajakku menikmati malam di sebuah kafe yang tak banyak diketahui orang.
Tepat pada hari ulang tahunku yang tak pernah kucatat sebagai hari yang istimewa, sebuah SMS darinya hinggap ke handphone-ku berbarengan dengan lengking adzan Maghrib di kejauhan.
“Aku buat surprise untukmu, kamu harus datang dan melihatnya ya.”
Surprise? gumamku. Harus?
Kutekan tombol off handphone tanpa membalasnya sama sekali, sekalipun dalam hati aku berjanji akan datang nanti jika urusanku sudah tuntas. Pukul 19.00, aku membelah jalanan yang disaput gerimis, melintasi beberapa titik keramaian kota yang kian menyebalkan ini, lalu berhenti di sebuah kafe yang setahun lalu kuketahui dari Stefany. Saat aku sedang berulang tahun.
Kuhempaskan tubuh di sofa yang empuk, tepat di sebuah sudut ruangan yang jika kudatang sejam lagi niscaya telah diduduki orang lain. Kunyalakan handphone sambil meletakkan laptop di atas meja, juga sebungkus rokok dan kontak mobil. Aku tahu, Stefany akan datang terlambat beberapa menit, seperti biasanya.
Sebuah message masuk ke handphone-ku. “Kamu akan datang, kan?”
Aysila, Aysila, gumamku. Kuketik cepat sebuah reply, “Ya, tunggu saja.” Kudiamkan saja handphone-ku saat kemudian berbunyi lagi. Emoticon smile dan big hug muncul di LCD handphone yang sengaja kubuka.
“Pesanan biasanya atau mau menunggu gadismu dulu?”
Kutolehkan kepala ke arah suara serak yang telah karib dengan telingaku. Aku tersenyum pada waitress beraroma Bvlgari yang kutahu begitu sangat mendambakan kubalas SMS-SMS-nya.
“Sebentar lagi Stefany akan datang,” sahutku.
“Kamu begitu menarik buat banyak wanita,” kikiknya sambil meletakkan buku menu di atas meja.
“Nanti kubalas SMS-mu setelah urusanku tuntas.”
“Sudah kuhapal kata-kata itu.”
Tepat saat waitress beraroma Bvulgari ini menuntaskan kalimatnya, Stefany muncul dengan wajahnya yang datar dan bibirnya yang tak bergincu.
“Hei, sorry, telat,” ujarnya sambil meletakkan tas Converse merah di kursi kosong di sisi kiri meja. Keningnya basah dihinggapi beberapa tetes air hujan yang tak terseka.
Kujamah tissue, lalu kuusapkan ke keningnya yang menyimpan tetes-tetes air itu. Matanya menatapku sejenak, lalu beralih ke buku menu. Tak ada senyuman sedikit pun untukku atau pun tissue-ku yang kini tergeletak di atas meja. Tak ada sehelai basa-basi apa pun darinya, seperti yang pernah dikatakannya di awal kami kenal, bahwa baginya basa-basi adalah pekerjaan yang sungguh tak sanggup dinalar akal sehat sehingga sungguh tak penting untuk dilakukan sama sekali.
“Jadi jika kamu berharap mendapatkan basa-basi dariku, seperti yang suka dilakukan orang-orang di sekitarmu, lupakanlah aku sekarang juga,” tukasnya kala itu.
Aku diam saat itu dan memilih mengerti bahwa ia berpikir demikian lantaran semata ia belum mengerti betapa kadangkala manisnya tebu basa-basi begitu kuasa membuat pematang bibir yang pucat didera luka memahat senyum yang sejenak sanggup membuatnya lupa pada lukanya.
Stefany melambaikan tangan ke arah waitress. Memesan dua ice coffe latte kesukaan kami, sepiring french fries, dan dua botol air mineral yang tidak dingin.
Malam kian sepi. Begitu jelaga. Jalanan kecil di depan kafe kian kulai ditubruk udara gerimis yang menggigil. Kunyalakan sebatang rokok, kuhisap dua kali dalam-dalam, lalu kujulurkan ke tangan Stefany yang menatapku dengan mata birunya.
Ia menerima juluran rokok yang mengepulkan asap putih ini dengan tangan kirinya. Dihisapnya beberapa kali.
“Aku sangat merindukanmu, Stefany,” kataku membelah sepi. Di sisi kanan mejaku, dalam jarak sekitar 5 meter, bartender yang tak pernah kudengar berkata-kata itu beberapa kali memperdengarkan bunyi blender dan gelas berdenting.
Stefany tertawa, tetapi di telingaku tetap saja tawa itu terdengar begitu sinis.
“Kamu juga mengatakan hal yang sama pada wanita-wanita lain, bukan?”
Aku diam, tanpa menunjukkan ekspresi apa pun, sebab aku tahu Stefany akan bisa begitu saja melepaskan kata-katanya tanpa beban.
“Berhentilah merayuku, Akhiles,” katanya lagi.
“Aku tidak sedang merayu, Stefany, aku sedang mengutarakan perasaanku,” sahutku.
“Aku tidak percaya segala jenis perasaan yang diutarakan akan mampu menampung perasaan sesungguhnya yang ada di dalam hati. Kata-kata, kau tahu, Akhiles, hanyalah alat yang tak pernah sanggup menampung isinya.”
Aku mengangguk. Kamu tak salah, Stefany. “Lalu, dengan apa seseorang bisa membuat seseorang lainnya tahu sebuah perasaan yang sedang dirasakannya?”
“Diam.”
“Diam?”
“Iya, diam.” Stefany melirik telepon genggamnya dan mengatakan bahwa ia akan pergi jika gerimis sudah hengkang. “Diam akan menyelamatkan perasaan tetap tumbuh subur di ladangnya. Bukankah teramat banyak hal dalam hidup ini yang akan kehilangan chemistry-nya jika dipaksa untuk dikatakan?”
“Ya, aku tahu, perasaan termasuk di dalamnya. Tapi kamu juga harus sudi sedikit bertoleransi bahwa kita hanya akan saling mengerti perasaan kita jika diverbalkan dengan kata-kata, bukan?”
Stefany tidak menimpali kata-kataku lagi. Kutahu, ia cukup cerdas untuk mengerti makna kalimatku, dan kuyakin sesungguhnya kini ia sedang gagal membunuh perasaanya sendiri yang berbunga mendengar ucapanku bahwa aku sangat merindukannya.
Gerimis mulai hengkang, mungkin dalam hitungan dua atau tiga menit lagi akan sempurna digagahi terang. Hingga lima menit kemudian, Stefany tak beranjak dari sofanya, untuk meninggalkanku sendiri di kafe yang amat sendu ini. Ah, wanita, di mana-mana sama saja, begitu piawai menjungkalkan perasaannya, gumamku sambil tersenyum kecil.
Sepiring french fries nyaris tandas di atas meja kami. Gelas-gelas ice coffee latte juga nyaris kosong. Jam dinding di sebelah meja bartender telah menunjukkan angka 11.50. malam. Sebentar lagi, pergantian hari akan melindap, dan hari ulang tahunku pun akan lenyap.
Kubaca sebuah message dari Aysila. Ya, hanya kubaca. Tidak kubalas. “Kamu akan datang untuk melihat surprise yang sudah kusiapkan sejak tadi pagi, kan?”
Stefany menatapku lekat tanpa mengerjapkan mata, sebelum kemudian membuang matanya ke arah waitress dan memanggilnya. Ia memesan segelas ice coffee latte lagi. Dan ini pertanda bahwa malam ini akan lebih panjang lagi di kafe ini.
“Jika kamu ingin pergi untuk menemui Aysilamu, silakan saja, Akhiles,” katanya tanpa menatapku.
“Aysilaku?” Aku terbahak. “Kata itu memperlihatkan kamu ingin kusebut Stefanyku.”
Issshhh….” Ia mendengus. Dengusan yang membuatku semakin betah untuk duduk lama-lama di hadapannya. Stefany, ada satu hal pada dirimu yang memang takkan pernah kukatakan dan akan kubiarkan tetap jadi rahasiaku agar tidak kehilangan chemistry-nya. Aku suka dengusanmu!
“Stefany, kamu selalu menolak ucapan rinduku, tetapi kamu selalu datang menemuiku. Bukankah ini ambivalensi?” kataku kemudian.
“Hei, kenapa kamu masih memaksaku untuk mengatakan apa yang kurasakan?” Matanya yang biru tampak agak berkilat ditimpa cahaya lampu kekuningan yang  tergantung di atas kepala kami.
“Sesekali, perasaan harus dilepaskan dari kekangnya, Stefany. Come on, lepaskan saja, sesekali saja. Toh itu takkan membuatmu kehilangan apa pun. Aku akan mendengarkannya dengan senang hati.”
Isshhh…isshhh…!”
Spontan, tanpa kuasa kubendung, lidahku menukas, “Aku suka gayamu yang diam tetapi dalam. Dan itulah alasanku untuk selalu merindukanmu.”
“Seperti kematian?”
Aku tercekat, sejenak. Apa hubungannya rindu dengan kematian? Kamu sungguh sulit diterka, Stefany.
“Bukankah kematian selalu diam, dalam, dan tak pernah berbasa-basi? Bukankah kamu sendiri yang pernah mengatakan ucapan itu beberapa bulan lalu di sini, di kafe ini? Bukankah katamu itu adalah kata-kata Akhiles dalam mitologi Yunani Kuno yang membuatmu sangat bangga menyematkan namanya di belakang namamu?”
Ya, ya, ya, aku tahu, aku ingat. Aku menggangguk. Lagi dan lagi.
“Hei, terbukti, kan, terlalu banyak berkata-kata akan membuatmu lupa pada apa yang sudah kamu lakukan?” Ia terkekeh, kali ini. Kekehan yang berhasil menarik mata waitress dan bartender yang tak pernah kudengar berkata-kata itu mengarah padanya.
Aku tersenyum, kecut. Harus kuakui, kadangkala sergapan kata-katanya yang sulit diterka berhasil membuat hatiku mengkeret. Tidak seperti Aysila yang suka terbahak dan selalu berkata dengan penuh perhitungan.
Oh my God, Aysila!
Kujamah handphone yang teronggok di atas meja. Sekarang pukul 00.55. Dua message mengendap di inbox-ku.

Pukul 23.58: “Kamu akan datang, kan?”
Pukul 00.10: “Aku akan selalu menunggumu.”

Kutekuk kepala ke belakang, menyandar kuat ke leher sofa, dengan mata memejam. Maafkan aku, Aysila, maafkan aku. Aku rindu mendengar bahakanmu yang ceria, aku akan datang menemuinya, setelah urusanku tuntas. Aku janji, aku akan datang.
Stefany mendehem, membuatku membuka mata.
“Kamu sedang memikirkan kematian atau Aysilamu?” Suaranya merangsak begitu saja ke cuping telingaku. Tetapi sudah lebih dari cukup untuk mengusir wajah Aysila dari otakku.
“Kematian. Ya, aku pernah mengatakannya padamu, betapa sesungguhnya kematian adalah anugerah terbesar bagi manusia seperti kita. Tanpa kematian, kita akan kehilangan gairah, harapan, dan tujuan hidup. Aku takkan memiliki gairah lagi untuk berkata rindu padamu, berjumpa denganmu, bila aku takkan pernah mati, toh aku bisa melakukannya kapan saja. Sebab aku akan mati kapan saja, maka aku menyimpan gairah besar untuk merindukanmu, harapan besar untuk berjumpa denganmu, dan tujuan besar untuk menyayangimu.”
“Bukan aku, Akhiles, tapi Aysila.” Nadanya datar, tetapi sangat lancip dan giris di hatiku bagai pecahan beling yang diiriskan ke urat lengan.
“Aku sedang berbicara denganmu, Stefany, bukan Aysila Dilara,” sahutku.
“Ah, itu hanya nama, Akhiles, kata-katamu akan selalu sama saja, bukan?”
Kafe ini kian dalam dibekap kesenyapan. Tak ada orang lagi selain kami di sini: aku, Stefany, waitress yang mengantuk, dan bartender yang menonton UFC Unleash di televisi.
“Kamu cemburu?” Kali ini aku sengaja menyimpan kuat-kuat kekehan besar di dalam mulut, dan hanya memperlihatkan segaris senyum kecil di bibir.
Issshh….!” Ia mendegus. Dengusan yang amat kusuka, tentunya.
“Katakan saja, Stefany, lepaskan sesekali kekangan perasaanmu melalui kata-kata, sekerdil apa pun kata-kata mewakili perasaanmu yang sesungguhnya.” Aku tak sanggup lagi menahan banjir bahakan di mulutku, dan kubiarkan ruah menggerai begitu derainya di wajah Stefany.
“Aku pulang!” sergahnya sambil bangkit.
“Serius?”
“Iya, kapan aku berbasa-basi?” Matanya tajam. Serupa mata elang, meski sungguh di balik kilatannya kutemukan kilau-kilau mutiara yang begitu sendu.
“Baiklah,” kataku sambil menjamah handphone dan melirik jam digital yang telah menunjukkan angka 01.30. “Hati-hati di jalan ya. Hei, kamu bisa menghubungiku kapan pun kamu merindukanku untuk berjumpa lagi, ya.”
Isshhh…!” Ia melangkah panjang-panjang, melintasi bartender yang tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Lalu lindap ditelan remang parkiran yang lengang.
Ah, Stefany, Stefany, aku akan sangat merindukan malam-malam bersamamu, desahku sambil memutar kontak ke arah kanan. Denting piano Utopia yang mengalun di kabin Camry ini begitu sempurna menyeret ingatanku pada wajah sendu Aysila.

Kutak bisa menggapaimu takkan pernah bisa
Walau sudah letih aku tak mungkin lepas lagi
Kau hanya mimpi bagiku tak untuk jadi nyata
Dan segala rasa buatmu harus padam dan berakhir
Kan selalu kurasa hadirmu antara ada dan tiada….

Aysila, maafkan aku, batinku dengan kelopak berkaca-kaca.
****
Pukul 01.55, aku tiba di gerbang kost Aysila. Suasana begitu lengang. Senyap. Di seberang jalan, di teras sebuah ruko, sepasang gelandangan terlihat lelap di atas kardus dengan berselimutkan sarung kumal. Keduanya tidur dalam posisi saling memeluk.
Kudorong gerbang kost yang tak pernah dikunci ini. Lalu naik ke lantai dua. Deretan kamar yang berbanjar rapi di kanan-kiri selasar, dengan pintu-pintu yang mengatup rapat, kulintasi tanpa suara.
Tepat di kamar yang paling pojok, yang di daun pintunya yang kutempeli stiker Manchester United, aku berhenti. Tak terdengar suara apa pun dari dalamnya. Kuputar perlahan knop pintu, kudorong. Pintu ini tak dikunci, seolah memang disiapkan untuk kumasuki jika aku telah datang.
Lampu tidur yang remang menyambutku dengan pemandangan yang membuat hatiku seketika berdarah.
Di atas keramik yang tak beralas apa pun, kulihat sebuah kue tart yang dikelilingi lilin yang sudah mati. Lilin-lilin yang sudah dibakar itu kini hanya menyisakan cuilan-cuilan kecil yang ujungnya kehitaman. Di sekitar kue tart yang di bagian tengahnya ada tulisan berwarna merah “Met Ultah, Akhiles” itu, berjejer beberapa jenis makanan yang amat kukenal: salad, nasi pecel, spaghetti, bakmie Jawa, pop corn, jagung rebus, dan permen karet. Di sebelah kiri nasi pecel, tergeletak sebungkus rokok yang satu batangnya terjulur keluar seolah disiapkan untuk kutarik.
Di dekat jejeran makanan yang ditata mengelilingi kue tart ini, kulihat Aysila tergeletak dengan mata pejam dan napas naik-turun teratur. Ia tertidur di bawah dipan yang bersprei putih bersih itu, bersebelahan dengan surprise yang telah disiapkannya sejak pagi untuk merayakan ulang tahunku. Di tangan kanannya, sebuah handphone tergenggam erat.
Aku terduduk kulai dengan dada ditumbuki lengkisau di sebelah tubuh Aysila yang tenang. Kusentuh tangannya. Kuusap rambutnya yang tergerai. Kukecup keningnya yang seputih pualam. Aroma Jasmine begitu tebar dari sekujur baju casualnya, juga tubuhnya.
“Asyila Dilara, aku datang….” bisikku lirih di dekat telinganya.
Tak ada sehelai suara pun yang menyahuti bisikanku kecuali dengkur lembutnya yang mengiringi setiap tarikan napasnya.
“Asyila Dilara, aku datang….” bisikku lagi, dengan suara kian serak. Kurogoh korek dari kantong celana, lalu kunyalakan sisa-sisa lilin di tubuh kue tart ini. Cahayanya tak lagi benderang sempurna. Hanya menelangkaikan tempias-tempias remang yang bila bergoyang disaput angin yang melindap dari pintu yang setengah terkuak menciptakan bayang-bayang serupa tari-tarian yang menyentuh wajah Aysila.
Perlahan, dengan suara isak ditekan, kunyanyikan lagu happy birthday. Seorang diri, untuk diriku sendiri, di sebelah tubuh lelap Aysila yang setia menjaga kue tart ini. Perlahan, dengan mata kian merabun disaput kaca-kaca bening yang tak kuasa ditahan perigi mataku, kupanjatkan sebuah make wish di hari ulang tahunku yang telah lewat beberapa jam lalu: “Tuhan, maafkan aku yang telah membuat Aysila Dilara tertidur dengan hati sedih. Bila aku terlalu buruk untuknya yang selalu setia, berikanlah kekuatan padanya untuk meninggalkanku. Amin.”
Jogja, 13 November 2014
15 Komentar untuk "KUE TART YANG SETIA DIJAGANYA Cerpen Edi AH Iyubenu "
This comment has been removed by the author. - Hapus

Sedih, penulis memang selalu dikelilingi wanita-wanita yang memendam perasaan ya. #eh

Selamat ulang tahun. ^_^

kalo baca bagian awal..kayak lagu anak singkong
aku suka singkong..kau suka keju o o o

Aku belajar sesuatu. Sungguh ^_^
Selamat ulang tahun, Pak ...

Pertanyaannya: apa merk permen karet Aysila?

Bila aku terlalu buruk untuknya, berikan padanya kekuatan untuk meninggalkanku.

Indah sekali kalimat ini!
Met Milad Pak Edy :)

Aiih dalem banget maknanya pak :'D Saya suka cerpen ini, saya sama seperti bapak juga menyukai kedua wanita itu, Stefani maupun Aysila, pantas bapak bimbang memilih, mereka berdua memiliki keunikan masing-masing, yang membuat kita tidak mampu lagi memungkiri keunikannya, selamat tambah umur pak Edi, semoga selalu menyempatkan untuk tersenyum dikala duka menikam, barakallahu fii umrik pak Edi :)

Selamat Ulang Tahun, Pak Edi. Whising you all the best.
Cerpen ini sangat menyentuh. Banyak hal bisa saya pelajari.

nangis baca cerpen ini, nyata banget. saya mengerti bagaimana perasaan Aysila. oh...Aysila.
Sukses selalu pak edi, berkah, dan banyak rezeki...Aamiin

Oh, iya, makasih udah berbagi ilmu. ini jadi referensi saya juga belajar nulis cerpen. salam kenal.

Terlalu muram untuk seorang yang berulang-tahun. Tapi memang ini saat istimewa seseorang untuk merenung. Sulit dipercaya ini karya yang tidak mengail dari kisah pribadi sang penulis.
Selamat ulang tahun mas Edi. Terimakasih atas semua pelajaran dan motivasi selama ini. Sukses selalu yah!

Selamat Ulang Tahun, Pak Edi. Cerpen yang begitu Istimewa. ah, bikin nangis

Selalu mempunyai banyak makna cerpen bapak :-)

Manis, seManis jagung rebus ;)

Salamet Molang Areh Pak Edy.

Aku menyimpan halaman ini pada hari yg sama cerpen ini dipost. Tapi karena satu dan lain hal aku baru membacanya sekarang. Barusan, tepatnya.
Dan, satu hal yang aku sesali. Kenapa aku tidak membaca cerpen ini sejak dulu? Sebuah masterpiece yang terlalu indah untuk dilewati. Keren, pak edi! :')

Tega sekali, kau, Akhiles :(
Hati Aysila pasti hancur :( :( :(

Back To Top