Kabut-kabut mulai memudar saat kakiku mulai
menapaki perkampungan kecil yang berlatar gunung Fujiyama yang amat kurindukan
ini. Tenang. Dekat ke sunyi. Kampung ini tak berubah sama sekali. Jalanannya.
Pepohonannya. Aliran sungai kecilnya. Semua begitu kukenal dengan kuat, kendati
telah hampir 70 purnama kutinggalkan.
Ah, seperti apa gerangan kini rumahku ya?
Bagaimana kabar istri dan putriku itu? Lalu, bagaimana pula besarnya anak
lelakiku yang kala kutinggalkan masih mengkeret erat di gendongan ibunya itu?
Tak sabar kupercepat laju kakiku, membelah
jalanan bersih ini. Eiitt, buru-buru kumelompat ke belukar. Sepasang kaki
tampak menapak di depanku. Kaki siapa itu? Kaki yang tak beraurat?
Dengan mengambil arah memutar, kuhindari kaki
itu. Sudahlah, itu bukan pokokku untuk pertama kali ditemui. Aku rindu rumah,
keluargaku, dan beragam baju kebanggaanku.
Akhirnya kusaksikan juga rumahku. Rumah yang
amat menyita sebagian besar hatiku. Masih seperti dulu, tak ada secuil pun yang
berubah.
Pelan, aku menyelinap masuk. Kuusap wajahku
berkali-kali, menabur mata berkeliling, menyimak setiap jengkal isi rumah ini.
Senyap. Tak ada suara, kecuali detak jantungku sendiri yang bertalu-talu di
telingaku.
Ada baju perangku. Samurai-samuraiku. Terlintas
pula wajah musuh-musuhku yang telah kukirim ke neraka berkat kekuatan 4.000
gajah yang 1.000 di antaranya kupasang di tangan kanan, 1.000 lagi kutaruh di
tangan kiri, 1.000 lagi kusimpan di kaki kiri, dan 1.000 lainnya kukandangin di
kaki kanan! Ya, akulah Samurai dengan kekuatan 4.000 ekor gajah!
Kupanggil nama istriku. Sekali lagi. Juga
anakku. Tak ada sahutan sedikit pun.
Ke mana gerangan mereka, haik? Pagi-pagi
begini sudah keluyuran, haik? Nge-mal kali ya, haik?
Amplaz ya, haik?
Jantungku kian berdebar setelah berkali-kali
tak kujumpai sahutan apa pun. Demi apa pun, plis God, jangan sampai hal
buruk terjadi di sini selama aku pergi jauh mencari sesuap sushi dan semangkuk
berlian….
Kudongakkan kepalaku ke luar, ke halaman. Sepi.
Lalu kuayunkan kakiku ke jembatan di depan rumah.
“Siapa kau?!” Sebuah bentakan membuatku mencelat.
Sesosok samurai kecil berdiri sambil
menggenggam erat samurainya. Anak kecil! Siapa dia?
“Siapa kau?” teriaknya lagi.
“Aku Bang Toyib! Kau siapa?” balasku.
“Oh, kau ini rupanya orang yang tak pulang-pulang ya,
sampai anakmu panggil-panggil namamu?!” Kepalanya manggut-manggut.
“Kau siapa?!”
Lelaki kecil yang tak begitu meyakinkan di
balik baju perangnya ini mulai bergerak menghunus samurainya. Kurang ajar!
Tanpa ampun, aku bergerak cepat menghunus samurai, lalu berlari ke arahnya.
Kukira, sekali tebas sudah lebih dari cukup untuk menjatuhkannya. Dia harus
kuberi pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan agar bisa sopan sedikit sama
samurai sejati sepertiku!
Belum pula samuraiku mendekat ke tubuh
kecilnya, gerakanku tercekat. Sialan! Topi perangku menutupi pandanganku.
Kudongakkan kepalaku, sial! Masih sama saja! Sepertinya aku terlalu tipis
memangkas rambut sampai topi perang ini begitu longgar saat kubergerak begini.
Baiklah, nanti setelah urusan ini selesai, aku sangat perlu untuk segera mencari
konter permak untuk mengecilkan topi perang ini!
Kami sudah begitu dekat, siap saling tebas, di
atas jembatan kayu tua ini, saat sebuah pekikan menghentikan laju kami. Sebuah
suara yang amat kukenal, sangat. Sebuah suara yang menyelamatkan pagi di kaki
Fujiyama ini dari pertumpahan darah.
“Bang Toyib San, itu anakmu!”
Seorang perempuan berbaju kimono lengkap dengan
payungnya mendekatiku. Diikuti seorang putri yang amat kukenal, juga dengan
baju kimononya lengkap.
Anak?
Kutatap wajah kecil di depanku yang masih mempelihatkan
tampang angkuh dengan baju perangnya ini. Dia anakku?
“Aku
merindukanmu, haik,” kataku sambil mendekati istri dan putriku itu.
“Bang Toyib San, kapan datang, tak kudengar
ringkik kudamu?” tanya istriku.
“Baru saja, dan anak kecil ini nyaris terbunuh
di tanganku,” sahutku sambil terus menatap lelaki kecil itu.
“Itu anakmu, Bang Toyib San, namanya kuganti
jadi Gara, bukan Toto chan….”
“Anak yang dulu kau gendong itu saat aku pergi?”
“Iya…”
“Ohhh…” Kudekati lelaki kecil itu,
kutepuk-tepuk pundaknya, lalu memeluknya. Kau sudah besar, Samurai kecilku….
“Lama sekali kau tak pulang?”
“Iya, maafkan aku, beberapa pertempuran besar
harus kutempuh. Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Kau harus tahu
betapa aku tanpamu butiran debu….” ceritaku, lalu mengajak mereka jalan-jalan
sejenak.
Di atas jembatan, istriku mengeluarkan sebuah
benda kecil.
Aku tersentak. “Apa itu, haik?!”
“Kamera, selfie dulu yuk….”
“Apa itu kamera, haik?! Haram!” Suaraku meninggi.
“Ah, Bang Toyib San sibuk melulu sih, sampai
jadul gitu. Makanya bikin akun tweter haik, facebook haik, biar
gaul haik….”
“Iya, haik, pethakilan perang melulu
sih, ayah haik ini….” timpal putriku sambil mengeluarkan tongkat tipis
yang berkilauan diterpa matahari. “Ini tongsis, Ayah San…”
Kamera? Selfie? Tweter? Facebook? Tongsis?
Apa itu semua sih, haik? gumamku. Benda-benda bid’ah apa lagi
itu, haik? Haramkah itu, haik?
Aku memilih tak bersuara lagi, dan mengikuti
saja semua perintah istriku. Kutahu, kadangkala, diam akan lebih menyelamatkanku
di saat aku berhadapan dengan situasi-situasi yang tak begitu terang kumengerti
hukumnya.
Haik….
Fujiyama, 25 Juni 2014
Tag :
Traveling
12 Komentar untuk "Jepang Part I: PAGI NYARIS BERDARAH DI LEMBAH FUJIYAMA"
Wiii enaknya yang lagi liburan di Jepun
Wah, rusak ceritanya, pake Bang Toyib dan selfie segala, hahahaha. Itu perkampungan khusus Samurai atau bagaimana? Asri dan sejuk, ya.
astagaa toyyoong~ samurai macam itu mikirin bid'ah? XD ((ngakak gulung-gulung))
Ceritanya bikin ngakaaakkk... gemes sama dek Gara yg tenggelem pake kostumnya sendirii... hahahhaahaik.
Baca cerita begini, bid'ah jg gak ya..
Hehee
Katanya wahyu san ditantang duel samurai pak!soalnya wahyu skarang namanya dah dirubah jadi "Wahyu Ohara San"!!hehehehehee
Alhamdullilah shat smuanya mas!amiin
Hahaha...seru banget baca potingan Pa' Edi
Asyiknyooo..yg melalang buana ke Japan :)
Iya masih ada dijadikan cagar
Lucu, sir. tdnya aku fikir ini cerita apa. amuse me banget. keren, baru baca cerita kayak gini ^_^
gokiil bang ., terharu mbacanya ., seneng banget yak bisa liburan bareng keluarga, naaah aku ..??? #bisa juga kok :D
ini gaya cerita baru ya pak Edi? :D :D hehe, bruntung tuh kamera, twitter, facebook, sama selfie ada di zaman sekarang. nggak bayangin deh kalau pas zaman samurai lagi asyik-asyik perang, tiba-tiba ada yang ngeluarin tongsis.. :D :D
Thanks info nya, ternyata ini dia destinasi di Jepang yg bener2 sunyi dan nyaman.
Watch movie free