Ini contoh buku non fiksi "Putusin Nggak, Ya?"
Pengantar
OMG halloo….!
Upps, sorry, keceplosan, kena virus Ganteng
Ganteng Srikaya itu, seharusnya bagian ini dibuka dulu dengan syukur alhamdulillah.
Iyes! Thx for God yang telah baeeekkkk banget pada saya
sekalipun saya sering jadi orang nggak baik.
Thx berat juga buat my prophet, Muhammad
Saw., ingkang sampun paring teladan kagem kito sami.
Kawan, saya termasuk orang yang:
Pertama, tidak percaya bahwa menjadi penulis itu
berkat gen, bakat, keturunan. Menulis itu skill, dan namanya skill
hanya akan dicapai dengan baik bila didasari dengan ketekunan dan kegigihan.
Tiada tara. Tiada lelah.
Kedua, namun bedanya skill nulis dengan skill
teknik lainnya ialah menulis juga menuntut kekuatan state of mind. Opo
kui? Gampangnya, kemampuan berpikir sistematis, logis, argumentatif, yang
ini jelas harus based on knowledge.
Ketiga, nggak ada penulis tsakep yang nggak tsakep
pengetahuannya. Bergaul dan ngobrol dengan orang yang isi kepalanya tsakep
tentu menyenangkan. Makanya, nggak usah heran, banyak sekali penulis yang sangat
bid’ah tampangnya, tapi berhasil menaklukkan cewek kueeren sekali
sebab isi kepalanya.
Keempat, penulis fiksi harusnya juga piawai menulis
non fiksi. Ini tidak sebaliknya otomatis sama. Penulis non fiksi belum tentu
jago nulis fiksi lho. Huaahh, betapa kerennya kan penulis fiksi itu.
So, so, setelah saya menulis #SilabusMenulisFiksi,
bikin Kampus Fiksi, kini saatnya saya bantuin kalian yang minat menulis non
fiksi dengan buku #SilabusMenulisNonFiksi ini.
Silakan tulisan ini dikopi, di-share,
seluas-luasnya. Jika bernilai kebaikan, jadi jariyah buat kita semua, saya
niatkan untuk almarhumah ibu saya yang lelap sejak tahun 2010 di Ma’la, Mekkah
.
Kelak, insya Allah, saya akan bikin
kelas khusus untuk Kampus Fiksi edisi Non Fiksi. Aneh ya istilahnya?
EGP…..
Jogja, 5 Juni 2014
Kenalan
Sama Si Non Fiksi Dulu, Yuk….
Apa itu tulisan non fiksi?
Gampangnya, ia adalah jenis tulisan yang berkarakter
ilmiah, berbasis data, dan dianalisa dengan sistematis. Kita mengenal selama
ini ada tulisan berupa disertasi, tesis, skripsi, makalah, artikel, esai,
resensi, hingga feature. Nah, itulah ragam rupa tulisan non fiksi. Ia
dicirikan oleh hanya satu hal: ilmiah.
Berbanding terbalik dengan fiksi kan (cerpen
atau novel), yang bersifat cerita dan rekaan.
Itulah ciri paling sederhananya.
Namun, buru-buru saya harus jelaskan di sini
bahwa tidak berarti tulisan fiksi itu lebih rendah kelasnya dibanding non
fiksi. Penulis fiksi tidak boleh disebut kurang pintar dan cerdas dibanding
penulis non fiksi.
Kenapa?
Sebab dalam menulis fiksi yang baik, ya yang
baik sih ya, kau sangat membutuhkan kekuatan logika pula, sistematika berpikir
pula, penguasaan data pula. Pendeknya, penulis fiksi dan non fiksi sama-sama
harus memiliki kualitas state of mind yang baik. Tanpa topangan itu,
penulis apa pun hanya akan muter-muter kayak odong-odong kedinginan.
Justru, maaf aja nih, saya ingin menyatakan di
sini bahwa penulis fiksi mestinya lebih tsakep daripada penulis non
fiksi. Mengapa? Sebab penulis fiksi yang ber-state of mind baik, pastilah
juga piawai menulis segala jenis tulisan non fiksi, dari makalah, artikel,
sampai resensi, dan feature. Ini tidak berlaku otomatis lho, penulis non
fiksi lalu ahli menulis fiksi. Tidak. Sebab untuk menulis fiksi yang baik, kau
harus memiliki kualitas logika cerita dan jelajah imajinasi yang baik pula,
yang hal ini tidak menjadi tuntutan bagi penulis non fiksi.
Masih kurang yakin?
Mari bandingkan petanya: menulis non fiksi
membutuhkan penguasaan data dan analisa yang logis-sistematis, sedangkan
menulis fiksi membutuhkan imajinasi, penguasaan data, penuturan cerita yang
logis.
Jika unsur “analisa data” dalam tulisan non
fiksi bersifat sistematika yang logis, maka unsur “analisa data” dalam tulisan
fiksi bersifat cerita yang logis. Keduanya (sistematis dan logis) memiliki
sifat dasar yang sama: sama-sama membutuhkan pondasi state of mind
yang baik.
Selain itu, penulis fiksi lebih diuntungkan
daripada penulis non fiksi dalam hal kemampuan berbahasa, berdiksi, dan
bertutur yang lebih kreatif dan imajinatif tentunya. Membaca tulisan non fiksi
karya seorang penulis fiksi pastinya akan lebih hidup, tidak monoton, dan
reflektif.
Wow, kan?
Unsur-unsur dalam Tulisan Non Fiksi
Pada dasarnya, ragam jenis
tulisan non fiksi itu memiliki unsur-unsur yang sama. Iya, tentu dengan hanya sedikit sekali
perbedaan antar variannya.
Kisi-kisi formalnya
yang berbeda.
Secara umum, passion orang
dalam menulis non fiksi ialah artikel. Dan segala unsur dalam tulisan artikel sebenarnya “mewakili” segala unsur dalam
tulisan berjenis makalah, esai, feature, dan resensi.
Sebab itu, di sini, saya akan berfokus pada tulisan non
fiksi berjenis artikel saja. Soal jenis-jenis lainnya macam makalah, esai, feature,
dan resensi, akan saya singgung sebagai tambahan di bagian belakang untuk
memperjelas kisi-kisi perbedaannya doang.
Apa itu artikel?
Tadi sudah disinggung di awal,
bahwa artikel merupakan jenis tulisan ilmiah. Sebuah tulisan disebut ilmiah
jika berbasis data dan analisa sistematis.
Maka, kesimpulannya, artikel
ialah sebuah tulisan yang berbasis data dan dianalisis secara sistematis
(runtut, logis).
Paham, ya? Iya aja deh….
Oke, lanjutkan. Sekarang kita
bicara tentang struktur atau unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah tulisan
artikel.
1. Ide/Topik/Tema
Apa yang ingin kau tuliskan? Itulah idenya.
Ide adalah “pokok hal” atau “pokok permasalahan” yang akan kau
teliti dan tuliskan. Semakin tsakep
idemu, semakin kerenlah tulisanmu. Karena itu, tulislah hanya ide-ide yang tsakep.
Ciri ketsakepan sebuah ide ialah “aktual, bergreget, penting, memantik rasa ingin tahu
pembaca”.
Misal. Sekarang lagi ramai
tentang sosok Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden. Apa yang ingin kau
tuliskan tentang mereka?
Lalu kau munculkan ide berdasar
“pokok permasalahan”.
Jokowi atau Prabowokah Sang Pembasmi Koruptor?
Modal Militer Prabowo untuk Libas Korupsi
Watak Kesederhanaan Jokowi Ditakuti Para
Koruptor
Ya, itu hanya beberapa contoh. Di
dalamnya, ada pokok permasalahan yang akan kau teliti dan tuliskan, yakni
“presiden dan pemberantasan korupsi”.
Lain lagi dengan ide yang
berbasis “pokok hal”. Ide sejenis
ini tidak berbasis “masalah”, tapi bersifat pengetahuan atau motivasi.
Misalnya:
Pentingnya Tahajjud untuk Mengundang Jodohmu
Bahagia Itu Sederhana, Santai Sajalah….
Agresi Israel
ke Tanah Palestina
Korupsi dalam Kacamata Islam
Saat Kodifikasi Agama Jadi Kiblat
Pacaran itu Haram atau Tidak, Ya?
Mungkin, kalian yang tsakep
akan bertanya di sini, lalu apa bedanya ide dengan judul?
Sering pula ide itu disebut topik
atau tema lho. Pada intinya, ia adalah hal yang ingin kau teliti dan tuliskan.
Otomatis, judul pun akan sesuai dengan ide itu, bukan? *Iya aja deh….*
Tentu nggak asyik jika topikmu,
temamu, idemu tentang “korupsi adalah bagian dari kekufuran”, tapi
judulmu ternyata nggak mencerminkan itu sama sekali. Maka, gampangnya, judul
yang kau pilih kemudian boleh sama atau berbeda dengan idemu, asalkan tetap
mewakili, mencerminkan idemu.
2. Data
Setelah dapat ide, kau harus
kumpulin data. Bagus lagi, ide yang akan kau tuliskan sudah kau kuasai data dan
keilmuannya. Sudah mendalami dan menguasainya.
Data yang kau pilih haruslah data
yang akurat. Jangan data abal-abal tidak jelas juntrungnya.
Ciri data yang akurat itu ialah
ilmiah, yang bisa dibuktikan dengan memiliki sumber rujukan yang jelas. Haram hukumnya menggunakan rujukan
semaca “menurut sebuah penelitian” atau “katanya” atau “konon”
atau…. Harus jelas menurut siapanya.
Bukankah mendapatkan kepastian itu sangat
penting? Haaaa….
Misal kau dapat data dari sebuah buku atau
artikel atau situs yang terpercaya (tentang situs-situs ini bertelitilah ya,
sebab banyak sekali situs yang hanya bersifat propaganda, sama sekali tidak
ilmiah). Ciri lainnya ialah ia banyak dikutip atau dipakai orang.
Ciri sebuah data patut diragukan keilmiahannya
ialah “sensitif konflik” (ini jangan disamain dengan istilah polemik atau ikhtilaf
ya). Hari gini, jangan mudah terprovokasi oleh “ke-wah-an” sebuah tulisan yang
kesannya menggelegar. Lebih baik cari saja sumber-sumber data yang kredibel, lazim, popular, dan terpercaya.
Oh ya, saya tandaskan satu hal
lagi di sini, bahwa ilmiah bukan berarti lalu tidak ditentang orang lho ya (sedunia setuju gitu). Yang
terpenting ialah data yang kau kutip ialah data yang jelas sumbernya dan sumber
itu sendiri (usahakan) tidak diragukan kapasitasnya.
Lantas, data yang kau ambil tidak
perlulah sekarung gitu. Ambil data yang kau butuhkan saja sebagai penopang
keilmiahan tulisanmu.
Ada data yang disebut data primer dan
sekunder. Nah, data primer inilah yang harus kau pegang. Soal data sekunder
sifatnya pelengkap dan penambahan belaka.
Data primer ialah data yang berkaitan
langsung dengan ide yang akan kau tuliskan dan bersifat teori atau data besar. Jika tentang korupsi di Indonesia,
sebutlah itu data berdasar KPK. Data sekundernya misal tentang ketidakadilan
pembangunan di Indonesia Timur.
Dalam dunia akademik, data primer yang paling
dihormati ialah buku, lalu jurnal, lalu media massa, lalu sumber online.
Tapi dalam tulisan artikel, peta ini lebih longgar sih.
3. Pembukaan
Setiap artikel tentu harus
memiliki bagian pembukaan dulu. Ia menjadi semacam pengantar terhadap ide yang
akan kau ulas. Mau sekadar satu atau dua paragraf, ia harus ada.
Bentuk pembukaan yang keren ialah
merangsang pembaca untuk melanjutkan membacanya. Ya, setelah judul yang
bergreget, pastikan kalimat-kalimat pembukamu juga bertaji ya. Ia bisa dikemas dalam bentuk kutipan atau
pertanyaan atau “provokasi”
bahkan, dll.
Misal yang berbentuk kutipan:
Nyaris separuh penghuni bumi Indonesia ini masih didera kemiskinan, dan
itu merupakan buah haram korupsi. Begitulah data riset
terbaru yang dikeluarkan oleh LSM Belum Sempat Korupsi Juga (2014).
*contoohhhhhh….
Bentuk pertanyaan:
Mau tahu berapa juta di tahun 2014 ini anak-anak Indonesia yang tidak tersingkir
dari bangku sekolah hanya karena kemiskinan? Ya, kemiskinan yang ditebar oleh
tangan-tangan kejam koruptor.
Apa benar pacaran itu haram sepenuhnya, tanpa pengecualiaan sedikit
pun? Apa lantas juga berarti benar bahwa semua
pelaku pacaran itu adalah para muslim sesat, sebagaimana dipekikkan oleh para pengusung fiqh serba subhanallah dan anti dialog itu? *ngoaahhaa…
Bentuk “provokasi”:
Inginkah Anda menjadi satu dari jutaan orang yang berdiam diri
menyaksikan pemerkosaan-pemerkosaan terus menayang di depan mata? Masihkah Anda
bertahan hati untuk duduk manis menyaksikan kenyataan kian maraknya kekejaman
seksual, yang sebagiannya mulai mendera anak-anak tak berdosa itu?
Ya, ya, banyak lagi contoh model
lainnya. Intinya, pembukaan haruslah menarik, memikat, dan “memaksa” pembacamu
untuk melanjutkan membaca tulisanmu, bukan malah melipat, angop ngantuk,
lalu lelap berbantal tulisanmu. Kalau sampai terjadi yang kedua ini, pertanda tulisanmu sukses menjadi
pengantar tidur.
4. Analisa sistematis
Data yang sudah kau kumpulin
selanjutnya harus kau kuasai sekaitan dengan idemu tadi. Inilah proses analisa.
Analisamu haruslah berjalan
secara sistematis. Runut. Jangan
lompat-lompat ke sana-sini tidak runtut.
Sistematika adalah cerminan cara berpikirmu. State of mind-mu.
Dari bagian pembukaan, analisa,
sampai penutup, harus kau jalinkan secara runtut, saling menunjang dan
mendukung. Kagak lucu bingiiittt jika
analisamu nggak sesuai dengan kesimpulanmu.
Itu sama persis dengan kau
berkata, “Aku sayang kamu,” padahal kau tak pernah bertemu dengannya kecuali di
sosmed dan BBM sehingga kau tidak pernah bisa menyediakan bahumu secara nyata untuk
jadi sandarannya. Sayang macam apa coba yang begitu? Jawab….!!! Eaaakkkk…..haaaa….
Ya, sistematiskanlah cara
berpikirmu, runtutkanlah, mengalir teratur, runut, agar analisamu tersaji
dengan jernih dan enak.
Saran tambahan, buatlah kerangka
tulisan untuk membantumu meruntutkan analisasmu. Misal, di bagian pembukaan,
poin-poin apa yang ingin kau sajikan. Lalu di bagian pembahasan, kau kutip
sebuah teori, dilanjutkan dengan data-data lapangan, dan dilanjutkan lagi
dengan pendapatmu
pribadi. Di bagian kesimpulan, kau tegaskan inti dari semua analisamu itu.
Ya, buat corat-coret saja seputar plot tulisanmu
itu mau kayak apa. Ini pasti sangat membantu membuatmu fokus dan sistematis.
5. Kesimpulan
Tentu, artikel harus ada
kesimpulannya. Kesimpulan di sini tidak melulu harus berupa solusi lho ya. Ia
bisa bersifat penegasan teori, atau data lapangan, atau motivasi tertentu
terkait ide tulisanmu.
Misal, idemu tentang “korupsi itu adalah salah satu bentuk
kekufuran”. Maka kau bisa memungkasi tulisanmu dengan kesimpulan begini:
Sudah jelas sekali berdasar tuturan Sayyid Sabiq di atas, bahwa kafir
bukan semata tentang ingkar tauhid. Berbuat kerusakan di muka bumi juga
merupakan bentuk praktik kekafiran. Dan tentu saja, korupsi adalah salah satu
bagiannya.
Jadi, masihkan Anda mau korupsi?
Begitu juga bisa, kan?
Bisa pula kau akhiri kesimpulan
artikelmu dengan sebuah quote atau
puisi bahkan. Yang terpenting, apa pun itu, kudulah selaras dengan bagian
analisamu tadi.
Misal:
Rasanya, cukup telak untuk menandaskan ucapan bijak Einstein di sini
bahwa “Ilmu tanpa agama hanya akan menjadi kebutaan dan agama tanpa ilmu hanya
akan menjadi kelumpuhan.”
Banyak caranya, kan? Prinsipnya, kesimpulanmu harus selaras
dengan analisamu.
Tips-tips Praktis
Lainnya
Berikut beberapa poin tambahan
dalam menulis artikel dan sekaligus kaitannya dengan peluang publikasinya di
media massa.
1. Ide aktual atau
ide penting bagi publik luas
Jika kau ingin artikelmu dimuat
di media massa,
salah satu hal yang kudu kamu sadari benar ialah tentang aktualitas ide
artikelmu atau ide penting dari artikelmu.
Ingat, media massa itu harian atau mingguan ya. Waktunya
berkelebat cepat. Semudah kau cinlok di acara Kampus Fiksi, lalu putus seminggu
kemudian sebab hanya berdasar emosi sesaat aja. Haaaa….
Wajar saja jika sifat media massa
yang demikian menghasratkan mereka
selalu “berburu aktualitas”. Semakin aktual ide artikelmu, hot
news begitu, maka semakin besar peluang tulisanmu dimuat.
Khusus untuk momen-momen rutin
tahunan, misal lebaran, hari kemerdekaan, hari ibu, Sumpah Pemuda, Hari Galau, dll., sebaiknya kau juga memiliki
jadwal yang akurat. Sehingga kau bisa mempersiapkan tulisanmu jauh-jauh hari
dan dibidikkan secara tepat pada waktunya.
Nah, ini tips amat penting lho.
Jangan sampai kau menulis artikel yang nggak aktual, apalagi nggak penting pula
bagi publik luas.
Jika tulisanmu tidak memiliki
aktualitas momen, pastikan ia mengandung ide yang amat penting untuk publik
luas. Semakin menarik segmen pembaca seluasnya, maka akan semakin berpeluang
pulalah artikelmu dimuat.
Misal, tentang pacaran Islami,
adakah?
Ide ini jelas tak kenal momen, kan. Mau ditulis kapan
saja juga bisa. Namun, pastikan, bahwa idemu itu memiliki muatan yang menarik
untuk diketahui atau dibaca masyarakat luas.
2. Kekuatan dan
aktualitas data
Pastikan untuk riset data ya sebelum menuliskan
idemu. Jangan menulis dari ruang kosong, agar tulisanmu bertaji. Data-data yang
kau kumpulkan haruslah data yang akurat pula, baik secara legitimasi sumbernya
maupun aktualitasnya. Jangan sampai kau pakai data yang sudah direvisi atau
diperbaharui ya, sebab itu justru hanya akan menunjukkan bahwa kau tidak punya tradisi
membaca dan menguasai data yang baik.
Malu-maluin atuh….
Mengutip dari tokoh-tokoh besar yang terkait dengan
ide yang kau tuliskan bisa dijadikan salah satu tipsnya. Misal kau akan menulis
tentang ide khilafah islamiyah (Negara Islam), maka mengutip
pemikiran Abul A’la al-Maududi, Abdur Razzak, Ibnu Taimiyyah, atau Yasser Auda
bisa menjadi kekuatan datamu.
Misal lain kau akan menulis
tentang masalah cinta, kau bisa kutip pemikiran Kahlil Gibran, Erich Fromm atau
pun Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Misal kau ingin menulis tentang
feminisme, maka kau bisa kutip pemikiran Lia Nurida, Pia Devina, atau Farrah Nanda, dll. *abaikan*
Tapi, ingat pula, bahwa kekuatan
data bukanlah berarti tulisanmu berisi kutipannnnnn
mulu. Tidak. Sekali lagi, data ilmiah yang kau kutip dalam artikelmu adalah
penunjang kualitas keilmiahan tulisanmu saja yaMaka ambil seperlunya. Kau
sebagai penulis sendiri jelas harus bereinversi, berkonsep, bak peneliti dan penemu atau
pencetus pula, sehingga kau pun
harus menyodorkan pula analisamu dan pendapatmu.
Baiklah, itu disebut sebagai
intersubyektif. Kita kunjungi yuk….
3. Analisa
Intersubyektif
Tidak ada seorang penulis bagus
yang hanya mengamini data. Ia haruslah memunculkan pendapatnya terhadap ide
yang dituliskannya. Karena itulah ia harus mampu membuat analisa.
Soal kau berpendapat akhir setuju
atau tidak terhadap data
tulisanmu di hadapan publik, itu bukanlah masalah. Yang terpenting, kau harus
menyajikan analisa terhadap ide dan data, lalu munculkan pendapatmu
terhadapnya.
Semakin kuat datamu, semakin
detail analisamu, maka akan semakin kuatlah argumenmu, kan? Itu tanda kau mampu melakukan analisa
yang tajam terhadap ide yang kau tuliskan.
Otomatis, ketika kau menyimpulkan
tulisanmu nantinya, kau sudah melahirkan sebuah pandangan, pendapat, bahkan
teori tentang ide itu. Semakin tajam dan fresh pendapatmu, berarti
semakin kerenlah intersubyektifmu.
Apa itu intersubyektif?
Gampangnya ia adalah “kegelisahan
intetelektualmu”, “kritisimu”
terhadap ide yang kau tulis. Ia adalah pemahamanmu terhadap sebuah
masalah, yang telah kau kuasai dengan penelitian dan pemikiran, lalu kau
munculkan sebagai pendapatmu.
Itulah intersubyektif.
Apa pendapatmu tentang relasi korupsi dan kekafiran?
Apa pendapatmu tentang isu bahwa wanita itu nyebelin?
Apa pendapatmu tentang paham bahwa pacaran itu haram mutlak?
Nah, jawabanmu terhadap semua
contoh pertanyaan itu adalah buah intersubyektifmu.
Tentu dong, bukan asal jawaban,
tapi berbasis data yang dianalisis secara argumentatif dan ilmiah.
Eh, ngomongin tentang ilmiah,
simaklah poin tentang state of mind.
4. State of mind
Artikel itu haruslah ilmiah. Nah,
pondasi tulisanmu kian ilmiah bukanlah sebab bertaburnya kata-kata yang gawaaattt itu, tetapi seberapa kuat
sistematika berpikirmu, logika analisa tulisanmu, atau state of mind-mu.
Sekali lagi, kau takkan bisa
menulis artikel yang sistematis enak dibaca jika kau tidak memiliki dasar state of mind yang baik.
State of mind adalah kerangka berpikir yang logis dan sistematis. Ia harus dicirikan argumentasi yang
kuat berdasar data dan analisa. Ia juga berlandaskan kerangka teori.
Pusing?
Ya sudah deh, nggak usah diperluas, cukup kau
pahami saja bahwa state of mind itu adalah kemampuan berpikir logis dan
sistematis. L
Iya, poin ini memang tidak bisa
disulap dong, butuh proses pembelajaran tiada henti. Yakinlah, semakin kau
banyak membaca, berpikir, dan menulis, pastilah state of mind-mu akan kian kuat kok.
Otomatis, tulisanmu akan kian
ilmiah, kian argumentatif, kian sistematis.
Ya, baca, baca, diskusi,
diskusi….
5. Fair pada
Data
Penulis itu cendekiawan lho. Dan
cendekiawan yang baik pastilah semangatlah ialah gerakan dinamika keilmuan. Bukan propaganda
partisan dalam bentuk apa pun,
kayak nganu itu.
So, kuncinya ialah kau
harus fair pada data yang kau kutip.
Jangan sekali-kali memperlintiri
data apa pun demi sekadar mendukung kepentingan tulisanmu. Sekali lagi, “Jangan pernah MEMPELINTIR data!” Itu namanya
pengkhianatan intetelektual lho. Efek negatifnya sangat besar ke publik, yakni
penyesatan opini. Dan ini mengerikan sekali dampaknya.
Jika sebuah data berkata A, maka
kau harus bilang itu A. Jangan diakal-akali supaya menjadi B, sesuai maumu.
Tidak boleh. Harammmmm…!!! Dosaaa……!!!
*cari aja sendiri dalilnya
gih* J
6. Catatan Kaki dan
Catatan Perut
Dalam artikel media massa, tidak dipakai
catatan kaki, tetapi catatan perut. Kecuali kau menulis untuk sebuah jurnal
ilmiah, memang dipakai catatan kaki. Ya sih, mudah dimaklumi, sebab adanya
catatan kaki dalam atikel koran pastinya bakal bikin ribet membacanya.
Catatan perut itu lazimnya hanya
ditulis begini (misal).
Pandangan saklek tersebut cukup berbeda dengan analisa Edi Akhiles
dalam bukunya, Putusin Nggak, Ya? (2014), bahwa pacaran….
Pendapat yang menyatakan bahwa korupsi adalah bagian dari kekufuran itu
muncul dalam tulisan Sayyid Sabiq (1995), ….
Dalam bukunya, Truth and Method (1992), Hans-Georg Gadamer menegaskan….
Apa yang dituturkan Amir Pilliang (2000) tentang galaksi
simularka itu….
Begitulah contoh catatan perut.
Tidak perlu pakai halaman berapa juga. Sekali lagi, jangan manipulasi sumber
data ya. Harammmm…..!!! OMG
hallowww…. J
Kalau catatan kaki penulisannya
begini:
1. Edi Akhiles, Putusin Nggak, Ya? (Yogyakarta: Safirah, 2014),
hlm. 36.
Dengan ukuran font lebih kecil,
10 pts.
Jika catatan kaki berikutnya, nomer 2, juga masih dari buku
yang sama dengan halaman yang berbeda, maka cukup tulis begini:
2. Ibid.,
hlm. 39.
Jika catatan kaki selanjutnya (misal
nomer 3) diselingi oleh buku lain, lalu kau akan mengutip dari buku yang sudah
pernah dikutip sebelumnya (artinya sudah dipakai sebelumnya dalam catatan
kakimu), maka dituliskan begini:
5.
Edi Akhiles, Putusin…, hlm. 55.
Sekarang jenis catatan kaki ala op.cit. dan lok.cit. atau pun kuc.rit.
dan mak.tit sudah tidak dipakai lagi
ya. Jika kau masih pakai itu, oke fix, kau tua!
Ngoaahhaaa….. J
7. Daftar Pustaka
Selain tentang catatan kaki, ciri
keilmiahan sebuah tulisan ialah adanya daftar pustaka. Dalam artikel memang
tidak pakai daftar pustaka sih. Ia biasanya dipakai di makalah atau buku atau
skripsi dan sejenisnya. Jika
ada sebuah buku tidak memiliki catatan kaki atau daftar pustaka, hemmm….patut
diragukan kehalalannya lho. Atau, mungkin saja dia menulisnya dari wahyu langit
ya?
Baiklah, sekadar tambahan pengetahuan, begini
cara menulis daftar pustaka yang benar.
Abdullah,
Amin, Studi Islam: Normativitas dan Historisitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
-----------, Kalam
di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Al-Asqanali,
Ibnu Hajar, Fathul Baari Jilid 10, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002.
Al-Muhasibi, Menuju Hadirat Ilahi, Panduan bagi Kafilah Ruhani, Bayan, Bandung, 2003.
Baqi’, M. Fu’ad
Abdul, Al-Lu’lu Wal Marjan, Al-Ridha, Semarang, 1993.
Faiz, Ahmad, Dustur
al-Usrah fi Dzilal al-Qur’an,
Muassasah ar-Risalah, Beirut,
1983.
Hidayat,
Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Paramadina, Jakarta, 1996.
Khallaf, Abdul
Wahhab, Al-‘Ilmu fi Ushulil Fiqh, Markazul Maktabah wad Da’wah, Beirut, 1990.
8. Kesinambungan Antar Paragraf
Pastikan, antar paragrafmu saling menopang,
berkaitan, dan sistematis. Tidak boleh lompat-lompat. Harus runtut.
Ini menjadi
cermin dari konsistensi state of mind-mu.
Biasanya, kata paling simple untuk menjadikan antar paragrafmu nyambung selalu ialah pakai kata “oleh karena itu”, “karenanya”,
“atas dasar hal itu”, “berdasarkan”, “maka”, “seharusnya”, “otomatis”, “namun demikian”, “tentu saja”, “wajar sekali”, dll.
Tapi jangan lupa, kata-kata itu hanya alat
sambung antar paragraf ya, yang lebih penting tetaplah isinya harus nyambung
dan runut. Selain itu, kau perlu mengembangkan dengan ragam banyak lainnya pula
agar tak monoton jadinya.
9. Pemakaian *** atau sub judul
Ada dua pola yang lazim dipakai dalam
fungsi ini. Yakni pakai bintang-bintang (***) begitu (plis nggak usah
ditambahi pagar ya) atau pakai sub judul. Tujuannya sama, untuk memisah
analisa atau menekankan sebuah analisa, yang ujungnya akan bersambung di
kesimpulan.
Saya pribadi lebih suka pakai sub judul.
Kenapa? Sebab ia akan menjadikanmu bisa lebih fokus dan terarah tentang apa
yang akan kau tulisakan di bawah sub judul itu.
Misal, temanya tentang pacaran ya.
Setelah kau bikin pembukaan misal setengah
halaman gitu, berilah sub judul:
Sumber
Primer Hukumnya
Otomatis, di bawahnya kau akan menuliskan
tentang dalil-dalilnya kan,
plus analisa tentangnya.
Lalu, kasih lagi sub berikutnya, misal:
Syahwat,
Apa Batasannya?
Lalu kau di situ bahas tentang hal
tersebut. Dan demikian seterusnya. Otomatis, tulisanmu akan lebih runtut,
fokus, dan gamblang.
Hemm, jangan sekali-kali pakai sub judul
dengan style lugu ya:
Pembukaan
Pembahasan
Penutup
OMG
Halloooowwww……ojo atuh, itu pamali….
10. Bahasa Karya Ilmiah
Sebagai sebuah karya ilmiah, artikel
haruslah disajikan secara ilmiah. Keilmiahan sebuah tulisan, secara materi,
haruslah mencerminkan adanya data akurat, analisa yang baik, dan kesimpulan
yang selaras. Itu ya ciri karya ilmiah. Lalu, secara kemasan alias bahasa,
karya ilmiah haruslah menggunakan bahasa yang formal dan baku. Namun ini tidak
berarti bahwa artikel harus dijejali oleh “bahasa ilmiah” kelas tinggi, pure
akademis, yang sulit dimengerti oleh mayoritas orang lho.
Ingat selalu, bahasa adalah “alat
komunikasi”. Tujuan pokok penggunaan bahasa ialah untuk menyampaikan sesuatu
kepada pembaca. Maka agar pembaca paham dengan mudah, bahasa yang digunakan
haruslah bahasa yang mudah dipahami dengan luas pula.
Jangan terkecoh dengan istilah “karya
ilmiah”, lalu begitu terobsesi untuk bermegah-megah dengan “bahasa kelas
tinggi”. Bukan itu poinnya. Buat apa bergagah-gagah dengan bahasa yang “alat
komunikasi” itu jika justru pembacamu malah nggak mengerti “inti komunikasimu”,
kan?
So, fair-lah dalam berbahasa,
berendah-hatilah dalam berbahasa. Ingat kata Plato, “Orang pintar bukanlah
orang yang merumitkan sebuah hal, tetapi orang yang mampu menyederhanakan hal
rumit.” Orang yang pintar, menguasai ide yang ditulisnya, adalah orang yang
mampu menyampaikannya dengan mudah, sederhana, dan bernas.
Ya, ini memang juga tidak berarti bahwa
penggunaan bahasa ilmiah kelas tinggi haram dipakai ya. Ia jelas boleh sekali
dipakai, tetapi pakailah ia dengan: “bijaksana, proporsional, tepat, dan memang
penting penggunaannya”.
Memahami dengan akurat segmen pembaca atau
pendengar pemikiranmu adalah bagian dari bukti kebijaksanaanmu dalamn berilmiah
lho. Percumalah kau ngomong apa pun sepenting apa pun sekalipun, jika penyajian
bahasamu tidak sesuai segmennya.
Misal:
Inferioritas kompleksitas problematika
korupsi merupakan tendensi-tendensi paling elementer non-available-nya. Tanpa
inversi yang rigid dan presisi terhadap tiap kompleksitas problematika
tersebut, mustahil menghadirkan the invisible hand yang dirujuk sebagai vox
populi vox dei.
Mooodaaarrr kowe!!!
Aduuhhhh, mau kemana sih segitu Vicky Prasetyo-nya gitu? J
Orang jadi pusing, jeleh, dan malas
meneruskan membaca tulisanmu. Padahal, poin tulisan tadi sangat bisa disajikan
dengan lebih gamblang, tanpa berkurang sifat keilmiahnnya lho.
Menyepelekan ragam masalah korupsi
merupakan penyebab paling pokok dari kegagalan pemberantasannya. Tanpa
pemahaman yang detail terhadap tiap elemen masalah tersebut, mustahil untuk
menghadirkan “tangan sakti” yang bisa memberantasnya.
OMG halloooooo….!!!
Ingat selalu deh, kecerdasanmu mengulas
sebuah masalah, kekuatan state of mind-mu, bukan sebab kau gagah nangkring di atas tower
seluler dalam berbahasa. Bukan! Justru hanya akan sia-sia belaka jika pembacamu
nggak suka, apalagi pusing, dengan gaya bahasamu. Pembaca justru lebih simpatik
pada orang yang membumi lho, tapi keren isinya, dibanding mereka yang melangit
itu.
Ehmmm, biasanya sih, orang yang congkak dalam berbahasa, ambisius
berlangit-langit begitu, sampai lupa pada segmen dan isinya, adalah ciri orang
yang nggak berisi beneran!
11. Bahasa yang Etik
Mungkin saja, dalam sebuah artikel atau
bukumu, kau berbeda pendapat dengan seseorang atau sumber tulisanmu. Itu bukan
hal yang luar biasa kok bagi kaum cendekiawan yang mengabdi pada ilmu. Ya beda
lagi kalau mengabdi pada ideologi sih. Pretttt….
Dalam tulisan artikel, itu lazim disebut
polemik. Beberapa bahkan bisa berlanjut sahut-menyahuti sampai berbulan-bulan
gitu sih. Dulu, saya pernah beberapa kali berpolemik di media massa. Asyiklah
pokoknya… Dapat honor terusss…haaaa
Pintarnya nambah (ya jelas dong, kan malu kalau kita merespons kritiknya dengan lugu aja
atau apalagi sekadar subhanallah, masya Allah….), dan eeehhemmm honornya
datang terus.
Poinnya di sini ialah hindarilah
menggunakan kata-kata yang kasar, apalagi menjatuhkan dengan tidak etik. Jangan
dong. Sesebel apa pun kau bahkan sama lawan itu, jangan jadiin dirimu terlihat so stupid deh di hadapan public dengan
bahasa yang norak tidak intelek.
Cukup misal dengan ungkapan-ungkapan
begini:
Saya
berbeda pendapat dengan Felix dalam poin ini….
Dalam
amatan saya, statemen Felix itu terlalu menyederhanakan realitas. Fiqh-nya
tidaklah membumi. Sungguh sangat penting untuk memahami bahwa realitas itu
sangat beragam dan tidak bisa dibidik dari satu kacamata.
Apa
yang saya paparkan di atas menunjukkan dengan benderang bahwa pernyataan Felix
tidak cukup kuat untuk dipertahankan akibat kelemahan metodenya.
Buku Halaqah Cinta, saya kira, terlalu
gegabah untuk menyimpulkan bahwa orang-orang yang secara umur sudah matang
tetapi belum menikah juga diklaim sebagai bermental kekanakan. Sebab, semua
kita mafhum, ukuran kesiapan antar orang tidaklah sama, dan tentu sama sekali
tidak bisa dibenarkan untuk menjadikan umur sebagai patokannya bahkan.
Ya, ya, sejenis itulah.
Tidak berarti kau tak boleh berkata jelas,
tegas begitu. Bukan. Kau hanya tak pantas untuk merendahkan dengan kata-kata
yang tidak based on state of mind.
Selain soal polemik itu, pakailah pula
kata-kata yang tidak mengandung konotasi negatif ya. Maksud saya, tidak
perlulah kau mengumbar amarahmu dalam tulisanmu dengan kata-kata yang bagi
sebagian orang berkonotasi barbar.
Misal:
Sungguh
hanya para jancuk bedebahlah yang tega melakukan korupsi.
Hanya
para ahli neraka sajalah yang akan bermulut mendua: pagi kedelai dan sore tempe. Mereka benar-benar
bangsa setan!
Ohhh, jangan dehh….
Tambahan-tambahan
Di bagian akhir ini, saya akan menyinggung
tentang ragam jenis tulisan non fiksi selain artikel itu. Ehhmm, pada
prinsipnya, semua tulisan non fiksi itu berkarakter sama, yakni ilmiah. Tidak
banyak perbedaan dalam hal strukturnya. Kisi-kisinya formalnya doang yang
sebagian berbeda.
1. Makalah/Skripsi/Tesis/Disertasi
Jenis tulisan ini memiliki struktur dan
watak yang sama. Full ilmiah! Full formalitasnya!
Jenis tulisan ini sangat ketat dan baku
menerapkan prinsip keilmiahannya. Seperti kewajiban penggunaan judul yang
formal, catatan kaki, daftar pustaka, kerangka teori, metodologi, rumusan
masalah, dll. Demikian pula dalam pilihan bahasanya, haruslah sepenuhnya formal
dan baku secara akademik.
Sepanjang amatan saya, masalah umum yang
dialami karya sejenis skripsi atau tesis atau disertasi ini bahkan ialah banyaknya
penulis yang mengalami “kegagalan menerapkan kerangka teori”.
Sesungguhnya, penggunaan kerangka teori di
sini adalah sebagai “landasan teori untuk membedah rumusan masalah yang
diangkat”, bukan gagah-gagahan formal belaka. Perbedaan penggunaan sebuah
teori sebagai landasan pisau bedahnya, jelas akan menghasilkan kesimpulan yang
berbeda sekalipun tentang tema yang sama.
Misal, menulis skripsi tentang Negara
Islam.
Jika menggunakan kerangka teori Abul A’la
al-Maududi niscaya akan beda kesimpulannya dengan jika kau menggunakan kerangka
teori Nurcholis Madjid. Sayangnya, sebagian besar karya skripsi, tesis, dan
bahkan disertasi banyak yang menjadikan kerangka teori semata pemenuhan
formalitas belaka, bukan landasan pisau analisanya.
Misal lain, menulis skripsi tentang Public
Sphere berdasar teori Anthony Giddens dan Wilfred Whitehead atau pun Bryan
S. Turney seharusnya menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Sebab setiap
teori pastilah memiliki poin-poin yang berbeda.
2. Esai
Esai secara struktur dan watak sepenuhnya
sama dengan artikel. Jika pun diminta untuk menunjukkan perbedaannya, ia hanya terletak
pada sifat esai yang lebih berpola “tuturan saya” (penulis). Artinya, esai itu
lebih santai dibanding artikel. Namun ya tentu saja ia tetaplah harus ilmiah.
Misal, kau ingin mengulas lukisan karya
Djoko Pekik.
Jika kau menuliskannya dengan sepenuhnya
ilmiah, maka itu jadinya artikel. Tapi jika kau menuliskannya dengan lebih
ringan dan santai, maka ia jatuhnya ke esai.
Jadi, esai itu bolehlah disebut sebagai
“adik artikel” secara formalitas keilmiahannya.
3. Feature
Tulisan jenis ini semacam “reportase”
terhadap sesuatu obyek yang kau alami dan tuliskan kemudian. Ia menyingkap
semua sisi sebuah obyek yang dituliskan itu dengan bahasa yang sederhana dan
memang cenderung didominasi oleh pemikiran subyektif penulisnya.
Jika kau tahu buku Trinity yang The
Naked Traveler atau postingan-postingan saya di blog tentang event
Kampus Fiksi atau perjalanan ke Turki, itulah contoh-contoh feature.
Sebagian orang mengetahuinya dengan sebutan
“tulisan catatan”. Ia tidak harus tentang traveling sih, perjalanan gitu. Ia
bisa berupa apa pun. Misal pengalaman menjalankan puasa Ramadhan tahun 2013.
Pengalaman patah hati karena terlalu percaya pada PHP. Pengalaman ngejomblo
bukan sebab alasan ideologis, tapi semata ketiadaan pilihan akibat desakan
keadaan. Misalllllll lho ya. Misaalllllllll aja kok. J
Ya, bebas, boleh apa saja.
4.
Resensi
Jenis tulisan ini khusus untuk bedah buku
atau film. Bedah perasaan tidak termasuk di sini. Sebagai sebuah karya bedahan,
maka ia harus mampu meringkas, memaparkan, dan memberikan penilaian pada
kandungan buku atau film tersebut.
Membaca bukunya jelas harus dilakukan dulu.
Mendeteksi plus minusnya jelas harus dipetakan dulu.
Resensi bisa dilakukan dengan cara murni
mengulas buku itu atau membandingkannya dengan buku setema yang sudah pernah
ada sebelumnya. Tujuan dari jenis tulisan ini ialah memberikan informasi kepada
masyarakat tentang kandungan sebuah buku, plus-minusnya, kualitasnya, hingga
rekomendasinya.
Akan lebih baik, kau kutip beberapa bagian penting
dari buku itu, lalu sertakan halamannya. Ini akan kian meyakinkan pembaca
tentang mutu resensimu. Dan jangan lupa pula, sertakan spek buku
tersebut dengan detail di awal tulisanmu: judul, penulis, penerbit, tahun cetakannya,
jumlah halaman, kover buku, dan jika bisa sekaligus harganya.
Ideal, menulis resensi harus membacanya
dulu sampai tuntas. Tapi juga bisa, teruatama jika kau sudah punya jam terbang
tinggi, kau “hanya membaca” secara skimming, quick reading. Baca
kata pengantarnya, daftar isinya, kesimpulannya, dan halaman pokok topiknya. Dapat
poin besarnya, pegang plus-minusnya, sudah.
Enaknya jadi peresensi ialah dapat fee
dari media massa yang memuat tulisanmu, plus dapat bonus buku gratis dari
penerbitnya, dan sebagian penerbit masih menambahkan uang juga.
Sekadar gambaran, kalau di Penerbit DIVA
Press Group, setiap resensi media massa itu dapat buku gratis dua eksemplar
(bebas milih judul), plus uang Rp. 100.000. untuk resensi yang dimuat di media
massa lokal dan Rp. 200.000. untuk resensi yang dimuat di media massa nasional.
Enak, kan?
Bisa bikin perpustakaan pribadi, atau yang
bakat dagang, dijual lagi itu buku-buku hadiahnya via online. Haaaa….
5. Personal Literature (Pelit)
Publik cenderung kenal jenis tulisan ini
sebagai bagian dari fiksi. Tapi, tulisan jenis ini ada lho yang tidak fiktif,
alias masuk tulisan ilmiah pula.
Ia adalah jenis tulisan yang dekat dengan feature
tadi, hanya saja bisa bertama apa saja, seperti buku motivasi, baik umum atau
religi.
Misal, saya pernah nulis tentang Jangan
Memasak di Ruang Tamu. Isinya adalah pendapat saya tentang tidak baiknya
mengumbar masalah pribadi apa pun di sosmed. Di dalamnya terdapat ulasan
intersubyektif, sekalipun sebagiannya berkemas cerita. Tapi ia tetaplah sebuah
karya yang berkategori ilmiah sebenarnya, sebab tidak fiktif.
6. Ngeblog
Membuat blog dan memposting
tulisan-tulisanmu di sana merupakan aktivitas wajib bagi setiap penulis. Ia
bisa jadi wadahmu untuk berlatih, berkreasi, dan membangun jaringan. Bergabung
dengan komunitas-komunitas pun menjadi langkah yang buat saya sangat penting.
Ingat, Kawan, menjadi penulis itu butuh
pembaca, dan meraih jumlah pembaca yang besar tidaklah mudah. Ia harus ditempuh
dengan cara merintis jaringan. Dan di era sosmed gini, kau sangat diuntungkan
dengan adanya blog, tweter, facebook, dll. Maka, rangkullah sosmed itu.
Jangan haramin dia deh, sekalipun memang blog, tweter, facebok, dll., itu jelas
bid’ah, sebagaimana diriwayatkan Ucup yang mukanya juga bid’ah
itu. Ngoaahhaaa….
Hanya saja, saya juga ingin mengingatkan di
sini bahwa jika kau berniat menerbitkan tulisan-tulisanmu dalam sebuah buku,
seharusnya tulisan-tulisan tersebut jangan diposting di sosmed. Ya, tulisan
yang sama. Penerbit enggan untuk menerbitkan buku yang materinya sudah tersebar
luas begitu. Sebab, itu tentu sudah mengurangi jumlah peluang pembeli yang
mungkin akan membeli bukumu kelak.
7. Attitude
Ya, sama saja dengan menulis fiksi, penulis
non fiksi juga akan bekerjasama dengan banyak pihak dalam perjalanan proses
kreatifnya. Mulai penerbit, redaktur, hingga pembaca.
Kerjasama apa pun akan langgeng jika
berjalan dengan saling menguntuingkan, etik, dan elok. So, memastikan attitude-mu
keren, jelas adalah kewajiban buatmu.
Begitu, Kawan, semoga
#SilabusMenulisNonFiksi ini bisa membantu kalian ya untuk belajar dan berlatih
menjadi penulis non fiksi yang tsakep.
Last, ingat selalu, bahwa menulis itu adalah menulis itu
sendiri, berlatih itu sendiri, berdarah-darah itu sendiri. Tanpa menjadikan
dirimu tahan banting dalam proses panjang itu, sangatlah mustahil kau bakal beneran
menjadi penulis yang tsakep!
Jika kau sanggup tahan banting dalam
kesendirian begitu, kenapa kau begitu rapuh dalam menempuh proses kreatif
menulis?
Jogja, 7 Juni 2014
*) Boleh dishare. Jika mau
bertanya, diskusi, menambahkan poin pelengkap, atau sekadar emot smile
dan keplok-keplok, silakan dipost di kolom komen ya… J
Tag :
KampusFiksi,
Pasar Makalah
19 Komentar untuk "#SILABUSMENULISNONFIKSI By Edi Akhiles"
Bookmark! Ini panduan selanjutnya! :) Makasih, Pak
dan lagi-lagi kau baik pak eddy.. :-D matur suwun.
keren... biasanya baca tulisan begini malas di awal/pembukaan tapi ini selesai sampai titik akhir :D *sangat bermanfaat* (vote)
silakan mampir juga pak edy apakah ini termasuk artikel yg baik?!
http://quadraterz.blogspot.com/2014/04/tingkatkan-kesadaran-masyarakat-dalam.html
makasih bos..
kereeeeeen izin share ya
Subhanallah....
Keren banget, izin share pak Edy....
lengkap banget ini. Makasih ya mas..
sembah nuwun kang edi. gedhe manpangat e sanget
Good article
MAKASIH KAK ATAS INFONYA, *SEMANGAT
Oke, Fix. berarti saya masih muda..
wah memberi gambaran gimana dunia menulis
trims infonya, "LANJUTKAN"
Haaa...saya curiga mlh...
Saya berharap ini di-ebook-in juga kaya #SilabusMenulisFiksi :)
Terima kasih atas share ilmunya pak. Semoga berkah. Aamiin.. Untuk temen-temen bisa simak juga kisah-kisah nyata perjuangan dalam menulis naskah buku di http://www.pesantrenpenulis.com/ Semoga bermanfaat ya..
Keren! ini nih yang dicari :)
Terima kasih Pak. Semoga berkah
Inspiring., makasih pak :)
jazakumullah khairan, Pak.. izin share ya :)
emot smile aja :)
kenapa ya.. agak kesulitan kalau bikin tulisan ilmiah.