Dalam buku
baru yang saya posting gratis di blog
ini, SILABUS NULIS NON FIKSI, di
bagian akhir, saya tuliskan begini:
JIKA KAU SANGGUP BERTAHUN LAMANYA HIDUP MENYENDIRI, LANTAS MENGAPA KAU
BEGITU RAPUH UNTUK BERTAHAN DALAM PROSES KREATIF MENULISMU?
Sebagian kecil
pembaca keplok-keplok ngakak sampai
jungkir-balik, sebagian besar lainnya mengerutkan kening, kemudian mengelus
dada, baru insaf bahwa sungguh telah bertahun banget lamanya ia hidup dalam
kesendirian, tanpa malmingan, tanpa pernah ada pundak hangat yang sedia untuk dijadikan
sandaran kepalanya saat hati didera lelah….
Iya sih,
menulis itu adalah proses. Memang sangat panjang. Di antara rutinitas harian,
tentu saja kegiatan menulis hanya menyita secuil waktumu. Tetapi, anehnya, hal
yang secuil itu justru begitu mudah dibiarkan, dihilangkan bahkan, padahal ia tak
banyak menuntut waktumu dan ia pula yang kelak akan mendorongmu untuk menjadi
orang yang luar biasa.
Saya pernah
berkisah di Kampus Fiksi, umpama kalian kopiin
semua twet dan status kalian dalam sebulan, lalu di-set up dalam standar pengiriman naskah novel, kemungkinan besar
kalian hanya butuh waktu dua sampai tiga bulan untuk menghasilkan tulisan
setebal 200 halaman.
Waktumu lebih
banyak habis untuk ngetwet dan febukan dibanding untuk menulis yang baik itu
sendiri. Waktumu yang sekelumit untuk menulis benaran lebih mudah dibuang
daripada waktumu yang banyak habis terbuang untuk sosmed. Padahal, ya ya, kau
sangat mengerti bahwa segala cuapanmu di sosmed tidaklah memberikan manfaat
besar apa pun pada kualitas dirimu, selain sekadar ajang pencitraan atau butuh
sandaran dari orang-orang semu.
Sosmed hanya
satu hal yang menyita banyak waktumu, selain hal-hal kacangan lainnya yang kau
lanturin begitu saja dalam keseharianmu.
Kau pasti tahu
bahwa jelas akan lebih bermanfaat jikalau waktumu lebih dibesarkan untuk
menempa dirimu menulis yang benaran itu. Kalaupun ini tak bisa diwujudkan sebab kesibukan
sekolah, kuliah, atau kerja, jelas pula kau mafhum bahwa sekelumit waktumu itu
haruslah dipertahankan sekuatnya.
Lalu,
ujungnya, kau hanya bisa menggigit lidah penuh galau saat menyaksikan orang
lain, mungkin kawanmu, berhasil menerbitkan sebuah karyanya, di-like atau retwet sana-sini. Kawanmu kian popular, dan apa kabar denganmu? Iya,
kau sendiri?
Ternyata kau
menyaksikan dirimu masih tetaplah kau yang galau, sepi kawan, sepi fans, berkawan
remot, dan tak kunjung punya bahu untuk dijadikan sandaran.
Jika kau
membuang sekelumit waktumu untuk menulis beneran di tahun pertama, maka kau
hanya akan menjadi sebagaimana tempuhan tahun pertama itu.
Jika kau
sanggup bertahan lima tahun, maka kau akan
menjadi sebagaimana tempuhan lima
tahun itu.
Jika kau mampu
menjadikan proses kreatif menulis sebagai habit, passion, dan bagian dari ekspresi hidupmu, maka kau akan menjadi
sepenuhnya keren sebab kau pembelajar sejati.
Di dunia ini,
selalu saja, hanya kaum cerdik pandai yang berada di kursi emas. Di dunia ini,
selalu saja, hanya kaum cerdik pandai yang memiliki etos pembelajar sejati.
Dan, di dunia ini, selalu saja, hanya kaum cerdik pandailah yang banyak kawan, sahabat,
fans, dan pundak yang selalu ada untuk disandarinya.
Jadi, nggak
ada cara lain kan
selain bertahanlah dalam menempuh prosesnya, apa pun itu.
Jogja, 11 Juni 2014
Tag :
KampusFiksi
4 Komentar untuk "BERTAHANLAH DALAM MENEMPUH PROSES"
Makasih ya Om, pagi-pagi udah menampar saya begitu hebat. :D
JLEB sekali, Pak...
Setiap orang mendapat jatah waktu yang sama: 24 jam. Tapi anehnya kok hasil karyanya berbeda, ya? Heemm..
makasih pak, nice bgt... liat teman skelas udh lambungin nama bikin gerah hati, pngen ngikutin sih, tp jauh bd tulisannya :D ... y sudah, prosesnya diseriusn lg z, meskipun lmot smoga smpai juga :D