Suatu hari,
saya berhadapan dengan seseorang yang saya tahu dengan nyata telah memfitnah
saya ke sana-sini. Saya jengkel. Marah. Kecewa. Dada saya panas. Bahkan, saat saya
terjebak sikon berjumpa dengannya, rasa sesak itu jelas terasa bergeletar.
Tapi, saya
memilih menyalaminya, tersenyum sekilas, sambil say hello, “Hei, gimana kabarmu?”
“Baik,”
sahutnya sambil tersenyum kecil.
Lalu kami
berpisah dengan kawan masing-masing di ruangan besar itu. Saya pura-pura
menikmati suguhan, berbincang dengan kawan-kawan, sesekali terbahak lepas,
seolah semuanya baik-baik saja di ruangan ini.
Saya bukannya
tidak ingin membalas perbuatan buruknya pada saya, setidaknya dengan cara
mengabaikannya saja. Biar dia tahu bahwa saya marah pada dia sebab dia telah
berbuat sangat buruk pada saya dengan fitnah-fitnahnya.
Tapi, saya
memilih berpura-pura saja.
Ya, pura-pura
tidak marah, tidak kecewa, tidak benci.
Kepura-puraan
saya ini semata didasarkan pada pemahaman bahwa dengan berpura-pura, maka situasinya
akan lebih harmonis daripada saya menunjukkan kemuakan saya padanya.
Ya,
kadangkala, dalam hidup ini, kita perlu berpura-pura demi sebuah harmoni.
Sering saya sampaikan ini pada kawan-kawan Darlingan
dengan istilah “bahasa tahi”. Ya,
tahi! Bahasa dan sikap yang sebenarnya tiada menariknya sebab tidak berpangkal
dari ketulusan hati, tetapi sedikit memberikan manfaat sebagai polesan suasana harmoni
permukaannya.
Di muka bumi
ini, tak pernah lagi ada orang yang sudi dipermalukan, dihinakan, atau ditelanjangi
di keramaian meski buktinya sangat tak terbantahkan oleh akal sehat manusia.
Sesalah apa pun dirimu, kau akan tetap berontak dengan sejuta alasan, sampai
jika terpaksa dilakukan dengan cara menggadaikan nama suci Tuhan, semata demi
menjaga nama baikmu di keramaian, bukan?
Apalah gunanya
kau hajarkan benci dan dendammu pada seseorang yang telah menyakitimu, atau
malah sekadar tak penting buat hidupmu, jika buahnya hanyalah pertikaian baru, disharmoni
baru, yang justru akan kian membelurkan wajahmu?
Sia-sia.
Maka,
berpura-pura bisa menjadi pilihan caramu untuk menghindari pertikaian baru itu,
kan?
Berpura-pura
yang memang barangkali akan menyilet perasaanmu, hatimu, tetapi itu lebih
sedikit darahnya dibanding kau umbar amarah dan dendammu.
Kadangkala,
saya menundukkan kepala dan punggung sedemikian rendahnya pada seseorang yang
saya tahu tidaklah penting sama sekali buat hidup saya, selain semata saya
anggap itu pilihan sikap terbaik untuk harmoni yang lebih besar.
Ya, saya
berpura-pura.
Adakalnya, saya
sengaja berbasa-basi tentang betapa hebat dan pentingnya ia sekalipun sejatinya
saya mengerti bahwa itu sangat tidak masuk akal untuk saya tujukan padanya,
selain semata saya anggap itu pilihan sikap terbaik untuk harmoni yang lebih
besar.
Ya, saya berpura-pura
lagi.
Sesekali, saya
melambaikan tangan pada seseorang yang tidak saya kenal yang telah memberi
jalan pada mobil saya, yang tentu saja tidak penting untuk hidup saya kemudian,
selain semata saya anggap itu pilihan sikap terbaik untuk harmoni yang lebih
besar.
Ya, saya
berpura-pura lagi.
Ya, ya,
sesekali dan kadangkala, saya merasa perlu menyikapi hidup ini dengan
kepura-puraan, semata demi sebuah harmoni. Meski itu seringkali tak penting
buat hidup saya kemudian, atau bahkan menyisakan sedikit nyeri di ulu hati
saya….
Jogja, 11 Juni 2014
5 Komentar untuk "ADAKALANYA, HIDUP HARUS PURA-PURA"
hihihi
bener banget itu om,, kadang hidup memang harus pura-pura.
Pura2 demi sebuah harmoni itu baik. lebih baik lagi memaafkan dan berpikir panjang bahwa menyimpan sakit hati terlalu lama hanya akan menyiksa diri sendiri.
kalo saya, kadang susaaaah banget buang perasaan sebal sama seseorang. cara terbaiknya ya emang pura2 baik demi harmoni. tapi, klo dipikir2, pura2 atau tidak, nggak ada bedanya. toh intinya demi harmoni harus bersikap baik. jadi ya, harus memaksa diriku untuk memaafkan. sama ketika kita dengan mudahnya memaafkan pasangan demi kehidupan langgeng. Dibaik2in aja kalo gitu. biar nanti orang yg jahat tengsin sendiri.
#AjaranSesatModeOn
Aduh, Mas/Kang/Bpk/Kakak/Abang/Ust/Rektor #KampusFiksi, saya terus belajar menulis fiksi pada dua orang. Seorang, teman/guru saya sering menulis fiksi di Aceh. Seorang lagi pada si Mas/Kang/Bpk/Kakak/Abang/Ust/Rektor #KampusFiksi/Edi Akhiles. Saya masih malu. Merasa masih belum bisa. :D
kalo dibelakang sih pngennya ngamuk-ngamuk sama dia, tp didepan gak tegaaa... dipikir2 kyak anak kcil, kyak msih labil pdahal usia udh tua, ya sudah... berpura2 menjdi jln prtma dn trakhr untk tetp mnenangkn hti klo ktemu si dia, yg kyak gtu biasanya cpet nyembhn hti ktimbng ngedongkol sndri cm bkin hdp sengsra sendri, toh msh bnyak hal lain yang lbh menarik :D