Hidup ini,
Kawan, memang begitu suka mempermainkan para penghuninya berkelejar dalam bayang-bayang.
Kau berdiri di atas bayanganmu, dia bersembunyi di balik bayangannya, demikian
pula aku yang gemar memeluk bayanganku.
Bayanganmu, bayangannya,
dan bayanganku tentu adalah bayang-bayang kehidupan, kendati tak pernah sama,
dan memang takkan pernah sama, serta memang tidak perlu dipaksakan sama.
Kamu, dia, dan
aku, semuanya adalah denyar kehidupan; dan setiap detak kehidupan memiliki hak
yang sama untuk dibiarkan hidup, dibiarkan bermimpi, dan dibiarkan
mengarunginya.
Hidup ini,
Kawan, tak pernah memaksakan maunya pada setiap penghuninya untuk mendengarkannya,
apalagi mengikuti kehendaknya. Bila kau berpikir bahwa kehendak hidup melalui hujan
yang turun di balik kaca ruanganku ini untuk menghidupkan bumi, agar
tunas-tunas yang telah lama nyenyak segera bersembulan dari balik tanah, lalu
menghirup udara segar dengan girang, dan menengadahkan wajah ke arah matahari
yang nanti akan berpijar, boleh jadi di tempat lain, ada sekelompok pedagang
yang sedang meratapi hujan yang membuat perutnya agak keroncongan.
Bila kau
mengira hidup ini berkehendak untuk menyuruhmu tidur di kala malam kian jelaga,
boleh jadi di sudut kota ini, di sebuah kafe, seorang waitress berkali-kali mengusah wajahnya yang lelah untuk sekadar
membuatnya bisa menahan mata sejam lagi.
Bila kau
menyangka bahwa menunggu adalah kehendak hidup agar kamu bisa menyimak betapa
sabarnya seberkas cahaya melintasi jarak yang terbentang antara matahari dan
bumi yang memerlukan ribuan masa, boleh jadi kau sangat perlu kenal sosok ini;
Aysila Dilara.
Ya, namanya
Aysila Dilara. Seorang gadis Istanbul, rumahnya bersebelahan dengan talud yang
membentang sepanjang Selat Bosphorus, hanya butuh berjalan kaki setengah jam untuk
tiba di atas geladak Galata Bridge dan sepuluh menit untuk bisa duduk di sebuah
bangku taman di seberang Hagia Sophia.
Di taman ini,
ia telah berkali-kali menyaksikan wajah orang-orang yang menunggu. Menunggu
adalah harga yang selalu setimpal untuk sebuah perasaan, gumamnya.
Menunggu membuatnya
merasa lebih mengerti untuk apa ia hidup, memandangi hidup, dan merenungi hidup.
Menunggu membuatnya lebih sanggup untuk mengerti mengapa ia memiliki air mata,
cemas, sedih, kecewa, dan sekaligus bahakan yang selalu sanggup membetot setiap
mata di sekitarnya untuk menolehinya.
Matanya
cokelat. Rambutnya blode. Ia gemar
mengunyah balik ekmek dengan bibir
yang dibiarkan belepotan bagai bocah berusia 5 tahun. Dari Pamuk, ia lantas mengerti
mengapa ia harus bertahan hidup; kendati ia bukanlah siapa-siapa untuk dunia ini,
tetapi ia adalah dunia bagi Pamuk.
Bukankah
menjadi dunia bagi kehidupan seseorang merupakan amanat semesta yang tak pantas
untuk ditinggalkan dengan alasan apa pun?
Cerita ini
mungkin sebagiannya akan terdengar menyedihkan; tapi, hei, kau yang terbuai
FTV, drama Korea, atau film India, berhentilah sejenak untuk menatap wajahnya
yang sering murung; “Rasa sedih, seperti luka dan sakit, sebenarnya merupakan
cara kehidupan mengajari kita untuk berterima kasih pada-Nya, bukan?”
Jogja, 11 Desember 2014
Tag :
Utak Atik Manusia
0 Komentar untuk "AYSILA DILARA (Menunggu adalah Sebuah Harga yang Selalu Setimpal untuk Sebuah Perasaan)"