12 Desember
2014
Dear, Dek Diva….
Iihh, kamu udah masuk usia 13 tahun aja ya. Padahal, rasanya baru
kemarin lho kamu lahir, rambatan di meja, dengan rambut yang secuil, dan
suka berkata-kata cadel kayak cabok (bakso), kukak (kuda),
cabah (basah), ukik (topi), papuk (sepatu). Kini, kamu
tahu-tahu telah SMP.
Ayah tahu lho, kamu mulai punya rasa suka pada lawan jenismu.
Heee…nggak apa-apa kok, itu wajar belaka. Ayah juga tahu, kamu begitu kaget
saat mengalami mens pertama. Hai, anakku ternyata udah gadis beneran.
Dear, Dek Diva….
Seperti tahun lalu, Ayah menyadari betapa Ayah belum juga berbuat
banyak untukku. Baiklah, sebut saja Ayah belum juga menjadi sosok Ayah yang
kamu idamkan; selalu ada di rumah, selalu menyaksikan setiap hari kamu tumbuh,
selalu menyediakan telinga untuk mendengar ceritamu, atau selalu menjadi teman mengerti
kamu.
Ayah masih saja begitu, Dek, maafin ya. Tahun lalu juga Ayah bilang
begitu, tahun kini juga begitu, mungkin tahun depan, dan tahun depannya lagi
akan sama.
Buruk ya Ayah ini buatmu?
Ayah selalu terima apa pun sebutanmu untuk Ayah kok, asalkan kamu
selalu ingat bahwa akulah ini Ayahmu.
12 atau 17 tahun lagi, saat kamu berusia 25 atau 30 tahun (semoga
di masa itu Ayah masih ada ya untuk menyaksikanmu benar-benar matang sebagai
sosok gadis dan, hei, Ayah sungguh ingin mengetahui siapa gerangan lelaki yang
berhasil memikat hatimu dan kamu menganggapnya adalah duniamu, amiinnn…),
Ayah masih hanya menginginkan satu hal darimu; akulah ini ayahmu. Sekurang
membanggakan kayak apa pun Ayah di matamu.
Dek, kamu perlu mengerti selalu, tiada seorang lelaki yang berjiwa
ayah yang akan rela melihat anaknya bersedih. Tidak ada. Bila suatu kelak ada
orang yang membuatmu terluka, sebutlah umpama kala itu Ayah sudah begitu renta,
kamu tak usah meragukan Ayah untuk tidak membelamu mati-matian. Bila tubuh Ayah
tak lagi perkasa, Ayah akan kirim siapa pun untuk membelamu.
Haaa…Ayah lebay ya, Dek. Tapi itu serius lho. Ayah takkan
membiarkanmu sendiri kala kamu jatuh, sedih, luka, kecewa. Ayah akan selalu ada
untukmu. Setidaknya, bila Ayah tak ada lagi, surat ini bisa kamu baca dan
mengingatkanmu bahwa Ayah selalu ada untukmu.
Dear, Dek Diva….
Ayah telah berkeliling ke beberapa tempat, di dalam dan luar negeri.
Setiap Ayah berlabuh di sebuah tempat, Ayah selalu berharap suatu kelak kamu
juga bisa sampai ke tempat ini, dan bahkan lebih jauh lagi dan lagi daripada
capaian Ayah. Setiap kamu berada di sebuah tempat yang baru, kamu harus
memastikan bisa merekam keunikan budaya, adat, cara hidup, dan realitas hidup
manusia-manusia yang sangat beragam, agar kelak kamu tidak tumbuh menjadi sosok
yang tertutup, fanatikan, merasa paling pintar, paling hebat, paling iyes,
dll.
Itulah sebabnya, Ayah selalu berusaha sedini mungkin mengajakmu atau
menyediakan sarana untukmu bisa bepergiaan ke mana-mana. Ya, kemana pun yang
kamu suka, sepanjang Ayah mampu menyediakan biayanya, kamu harus berangkat.
Kamu masih ingat kan, saat Ayah mendorongmu untuk ikut study tour
ke Jerman, lalu ke Tiongkok? Juga saat Ayah membawamu ke Malaysia, Thailand,
lalu ke negeri-negeri lainnya? Itu upaya Ayah untuk membuatmu melihat dunia
seluas-luasnya.
Dear, Dek Diva….
Kelak, jika kamu membaca surat ini, anggap saja saat itu kamu sudah
bekerja, berbisnis, atau bersekolah di negeri jauh, ada satu hal yang Ayah ingin
selalu kamu kenang dari Ayah: “Jangan biarkan dirimu tak punya waktu untuk
orang-orang tercintamu.”
Uang, segunung apa pun kamu memilikinya, ia takkan pernah ada
habisnya. Kamu hanya memerlukan untuk meraihnya secukupnya.
Karir, setinggi apa pun kamu mendakinya, ia takkan pernah ada puncaknya.
Kamu hanya memerlukan untuk memilikinya secukupnya.
Yang pasti terjadi ialah kamu akan tumbuh besar, lalu tua, seperti
Ayah. Bila kamu tak sanggup menyadari bahwa kamu adalah manusia yang berjiwa,
bukan mesin, kamu bakal tiba-tiba menyesal bila saat berpisah itu benar-benar
tiba suatu kelak tanpa ampun.
Mungkin saja kan Ayah yang dipanggil duluan menghadap-Nya. Atau,
bisa pula Mama. Atau, Budhe. Atau Kakak. Atau Adik. Atau, ya siapa pun di
antara keluarga kita. Sebagaimana Ibu yang telah duluan menghadap-Nya di
tanggal 1 September 2010 lalu itu.
Seperti dulu Ayah meraung selama 17 hari saat Ibu pergi selamanya, kamu
pun akan menyesal bila gagal memberikan waktumu untuk mereka. “Ke mana aku
selama ini?!” Lengking sesalmu tak akan ada gunanya lagi.
Dear, Dek Diva….
Tentu, lazimnya semua orang, Ayah akan bangga jika kamu kelak jadi
orang sukses, apa pun bidang yang kamu geluti. Tapi, Ayah akan lebih bangga
bila kamu jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, sebesar-besarnya,
seluas-luasnya.
Alasannya sederhana kok, Dek. Buat Ayah yang beragama Islam,
sebagaimana kamu, puncak kualitas hidup muslim itu ialah “akhlak” alias etika.
Orang yang baik, tanda ia berakhlak tinggi, pastilah akan lembut hatinya, mudah
empati pada sesaknya hidup orang lain, kebutuhan orang lain, sehingga selalu
mendorongnya untuk membantu dan memberikan kemanfaatan. Soal iman dan ibadah,
itu urusan hati. Dan, dalamnya hati, siapa yang tahu, selain pemiliknya dan
Tuhan, kan?
Jadi, simple sekali, bila kamu berhasil memberikan banyak
kemanfaatan pada orang lain, itu tanda bahwa kamu sukses di sisi manusia dan
sekaligus di sisi-Nya. Cukup.
Dear, Dek Diva….
Ayah pun selalu bermimpi kamu menjadi wanita yang cerdas. Smart!
Tapi, Ayah ingin memberikan pendapat buatmu. Ya, namanya pendapat, boleh kamu
ambil semua atau sebagiannya.
Pertama, wanita pintar itu bukanlah
wanita yang bergagah melampaui garisnya sebagai makmum. Kamu tetaplah akan
menjadi makmum dari imammu kelak. Makmum yang baik sealu tahu benar di mana ia
harus berdiri.
Tidak berarti label makmum ini lalu harus membuatmu bersikap “surga
nunut neraka katut”. Tidak. Kamu hanya perlu membangun dialog dengan imammu
kelak. Diskusi. Obrolan. Sharing. Soal keputusannya, tentu imammu
finalnya. Maka, agar itu terjalin, pastikan imammu itu dialogis.
Wanita yang ngeyelan, egois, sebab merasa lebih pintar dari
imamnya, bukanlah wanita yang berwatak keibuan. Tiadanya watak keibuan ini akan
berdampat negatif pada rumah-tangganya, juga anak-anaknya kelak. Watak keibuan
selalu mengerti bagaimana sepatutnya ia bersikap di hadapan suami dan
anak-anaknya, serupa tanah yang selalu mengerti bahwa ia adalah ibu bagi
kehidupan ini.
Kedua, kelak jika kamu hendak menikah,
dasar pertama yang harus kamu jadikan landasan adalah cinta. Ya, itu pasti.
Tapi, jangan lupakan landasan kedua, materi. Cinta dan meteri sama pentingnya
untuk menopang rumah-tanggamu. Tentu, materi yang dimaksud Ayah adalah “secukupnya”.
Bagaimana pun, rumah-tangga baru memang harus berjuang. Tapi, sebelum berjuang,
kamu harus mengerti kesiapan amunisi yang dimiliki imammu untuk maju ke medan
perang.
Kedua hal itu (cinta dan materi) adalah naturally kita yang
manusia, yang terdiri dari jiwa dan fisik. Cinta melulu, fisikmu akan nestapa,
ujungnya berimbas buruk pada jiwamu. Materi melulu, jiwamu akan hambar, jadinya
buruk buat kebahagiaanmu.
Ketiga, jika sudah berumah-tangga, punya
anak, janganlah kamu berpikir, “Ah, sudah punya anak ini, ngapaian
dandan-dandan juga.” Lalu kamu kucel di rumah, rambut bau pecel. Ah, janganlah
begitu.
Kebanyakan istri lalai pada hal ini, sampai pada posisi terbalik. Di
rumah kucel bau pecel, begitu keluar rumah, dandan luar biasa. Harusnya, kamu
berdandan untuk suamimu, bukan untuk orang lain di jalanan demi sebuah image
semu. Senangkan hati suamimu dengan berdandan semanis sewangi mungkin untuknya,
baik di rumah atau di luar, selamanya.
Keempat, bila kamu sudah memiliki anak,
biarkan anakmu tumbuh dalam passion-nya sendiri. Jangan paksa mereka
untuk menjadi kopianmu. Kamu yang suka piano, tidak perlu memaksa anakmu untuk jago
piano pula. Jika ia suka IT, biarkan ia melakukannya. Tugasmu adalah
mendukungnya selalu. “Anakmu bukanlah anakmu, anakmu adalah anak zamannya,”
begitu kata Kahlil Gibran yang Ayah setujui.
Kelima, jangan pernah mendidik anak
dengan amarah. Jangan! Tentu, orang tua ingin semua anaknya nurut. Tapi,
kesalahan terbesar orang tua ialah menggunakan metode amarah untuk menjadikan
anak nurut. Padahal itu kesalahan serius; ibarat anak diasupi
antiobiotik, kian lama ia akan kian kebal pada dosis yang sama, lalu butuh
dosis lebih lagi dan lagi. Begitu juga jika kamu mendidiknya dengan amarah; ia
akan kebal, lalu kian nakal, kamu marah lebih keras lagi, kebal lagi, dan
seterusnya.
Anak harusnya diberi cinta, dimanja, dikawal, dengan pendekatan
kasih. Sehingga kelak kamu akan didengar, dihargai, disayangi, sebagaimana kamu
menyayangi mereka.
Keenam, sekaya apa pun kamu kelak (amiin,
ya), kamu harus mempedulikan adikmu dan saudara-saudaramu. Kamu akan selalu
membutuhkan mereka. Kalau bukan mereka yang akan mendengar keluh-kesahmu kelak,
menjadi sandaranmu saat kamu down, lalu siapa? Maka baik-baiklah selalu
sama mereka. Soal ada perbedaan paham, itu wajar saja. Mengalahlah selalu,
bahkan sekalipun kamu merasa tidak salah. “Menang jadi arang, kalah jadi abu,”
ingat selalu pepatah ini ya.
Ketujuh, jangan pernah berebut harta
warisan. Akan lebih keren bila kamu berdiri di atas kakimu sendiri. Soal kelak
kamu kebagian warisan A atau B dari Ayah, anggap saja itu amanat. Sebagai
amanat, kamu seharusnya tak boleh menghabiskannya, tetapi memeliharanya. Kelak,
akan lebih membanggakan bagi Ayah bila kamu menghibahkan warisan itu kepada
orang atau lembaga yang kamu percayai. Wah, itu pasti keren sekali. Dari dalam
kubur, Ayah akan tersenyum bahagia melihatmu.
Kedelapan, tolong hormati orang-orang
yang pernah menjadi bagian dari sejarah hidup Ayah. Cara menghormati mereka
bisa kamu lakukan dengan silaturrahmi atau memberikan hadiah atau mendoakannya.
Boleh jadi di antara mereka ada yang kamu lihat mapan secara ekonomis. Tapi
kamu tetap akan lebih keren bila sesekali, misal setahun sekali, memberikan
sekadar parcel atau sehelai sarung dan mukenah kepada mereka, sebagai pangestu,
tanda kamu menghormati mereka.
Dear, Dek Diva….
Bila hari ini kamu membaca surat Ayah ini dan merasa kurang berguna
buatmu, kamu tetap harus berjanji pada Ayah suatu kelak kamu akan membacanya
lagi. Janji ya, lakukan itu untuk Ayah. Terutama bila kamu sedang sedih.
Seringkali, rasa sedih membuat kita sanggup berjernih hati. Bila kamu
membacanya lagi, Ayah berharap dua hal darimu: sebutlah selalu bahwa akulah ini
Ayahmu dan kirimkan doa untuk Ayah.
Selamat ulang tahun, Anakku. Ayah sayang kamu pake banget!
Dari Ayahmu
Edi Akhiles
6 Komentar untuk "SURAT UNTUK ANAKKU DI ULTAHNYA YANG KE-13"
Waaa!!! So sweet... :')
jadi nangis baca ini T.T
Bagian endingnya bikin mewek.. :(
anda orang islam... ngomong dalil-dalil tapi prakteknya
gagal nerapin islam di keluarga = tidak ada yang berjilbab
ulang tahun : emang nabimu mensunahkan ulang tahun bos..
dasar islam pro setan
pak bos co cweettt,, hiks
ini contoh komen orang yang akan menghancurkan islam. pikirannya sempit....