Nihilisme,
ehhh, itu terdengar berat sekali ya? Ya sih, kalau dibikin berat. Lalu muncullah
nama Nietzsche, sang filsuf Jerman yang berteriak, “Tuhan telah mati!” Lihat fotonya ini, murung, kan?
Heleh, heleh, mau ke mana to, Cah? Mbok sana, tandur padi, angon sapi, lalu wudhu, dan ngaji.
Kata dia, agar
kita bisa menjadi sosok hebat (manusia super, ubermansch), maka kita harus memulainya dengan melakukan “nihilisasi”,
yakni melepaskan diri dari segala tata nilai yang melekat pada diri kita:
sebutlah ia latar kultur, etika, sosial, hingga agama. Nihilisme memfatwa kita
untuk “mengosongkan diri”.
Mungkinkah itu
bisa dilakukan?
Nggak!
Saya bilang, “Nggak
mungkin!”
Lha kok ngeyel aja?
Coba cerna.
Semua kita
pasti terikat dengan tata nilai, bagaimana pun dalam perjalanan hidup kita ia
bergeser. Sebab setiap kita akan selalu merindukan pulang, kembali ke rumah
asal. Ini konsekuensi dari fitrah
kita.
Bolehlah kamu yang
ndeso suatu hari tinggal di tepian
Selat Bosphorus. Tapi kamu akan tetap rindu pulang, rindu rumah asalmu; mungkin
mengaji, gotong royong, nyanyi-nyanyi kecil, bersiul, memandang pohon mangga,
menatap sawah, lotesan, hingga
sarungan.
Lho, bukankah
kita akan bergeser sesuai dengan konteks di mana kita hidup dan bagaimana kita
mengkonsepkan hidup kita kini?
Iya sih, tapi
itu nggak bakal benar-benar bermakna nihilisme. Ia lebih tepatnya disebut “transformasi”,
pergerakan diri, dan tata nilai asal takkan pernah lenyap.
Seliar-liarnya
seorang pemabuk asal Tegal, missal, yang pernah hidup di pesantren, pasti suatu
hari tergetar hatinya mendengar suara adzan. Pasti. “Inyong kangen shalat bareng rika, Mamake,” gumamnya sambil
menitikkan air mata.
Saya lebih
demen meracik ke-ndeso-an kita dengan
ke-kota-an kita bukan dengan cara nihilisme,
tapi “kompromi”. Kompromi bahwa kita yang ndeso
memiliki akar budaya yang ya ndeso,
namun di sisi lain kita yang kota, perlu
bertransformasi sesuai dengan konteks di mana kita berada. Ya, sebutlah kadang
kita ndeso, kadang kita kota. Kadang kita demen sarungan biar isis, kadang lain kita cinta Converse.
Sarungan
sambil pakai Converse, gimana? Ya, boleh to.
Boleh. Asal kamu siap digeguyu bila
tidak pantas tempatnya.
Bukankah
dengan cara demikian kita pun bisa menjadi manusia hebat to? Tanpa perlu nggaya kemethak biiaanget ngelokke Tuhan
yang sudah memberi kita kehidupan yang indah ini wes modar?
Jogja, 2 Desember 2014
1 Komentar untuk "SARUNG DAN CONVERSE (NIHILISME ITU APA TO, CAH?)"
Kalo orang jawa memegang erat budaya eropa gimana, Bang, macam Dodit itu?