Personal Blog

HOW DAMN WE ARE!


Kebiasaan umum kita yang kini sudah nggak kerasa lagi sebagai sebuah keburukan (nggak perlu deh ditarik ke masalah dosa dulu) ialah merasa bangga jika berhasil melemahkan orang lain!
Menari di atas luka, begitu deh bunyi sebuah lagu dangdut lama yang nggak pake joget-joget koplo koplak kayak adegan-adegan ngeseks itu. Fuiiihh…
Dalam bidang apa pin, urusan apa pun, betapa kita bisa dengan sumringah tersenyum puas merayakan kekalahan atau kelemahan orang lain.
Mau diskusi, misalnya, jika kita berhasil menjatuhkan orang lain, bukan dalam soal materi diskusinya tapi mempermalukannya di forum, sontak kita berasa hebat, pintar, cerdas, genius, pakar!
Di jalanan apalagi. Kalau kita nyertir, misalnya, betapa amat sering kita begitu bahagia bila menyalip orang lain dengan agak membahayakan posisinya. Seolah kita adalah pembalap hebat macam Vettel, Webber, Shumacher. Begitu pun dengan pengendara motor, yang begitu bahagia bila berhasil memepet orang lain, membahayakan orang lain, tanpa pernah berpikir bahwa apa yang kita lakukan itu amat buruk, berbahaya, dan tak layak dilakukan manusia berakal sehat.
Bahkan dalam urusan cinta, betapa kita begitu girang bila melakukan suatu hal yang menggalaukan orang lain. Bersaing mendapatkan kekasih dengan cara yang tidak fair, tidak manusiawi, yang lantas membuat kita merasa sebagai si tampan, si cantik, si gagah, si sexy, si smart, bila berhasil memenangkan persaingan itu, meski di sisi lain begitu dalam menyematkan nestapa tak manusiawi pada seseorang.
Apa pun, ya apa pun, betapa kita kini sungguh sering lupa bahwa menari di atas derita orang lain, entah dengan cara membahayakan, mempermalukan, melemahkan, dan menghinakan, sama sekali nggak patut kita lakukan, karena kita sendiri sama sekali nggak pernah ingin diperlakukan demikian.
Ukurannya menjadi sederhana: “segala yang tidak ingin terjadi pada kita, maka jangan timpakan pada orang lain.”
Segala yang tidak dikehendaki menyebabkan kita malu, lemah, dan terhina, plis jangan pernah kita lakukan pada orang lain.
Sudahkah kita berhasil menerapkan prinsip ini dalam hidup kita, sehari-hari?
Kebanyakan kita hanya menempatkannya sebagai “wacana” belaka. Pemikiran tok. Yang nggak nyambung dengan perilaku nyata keseharian.
Bahkan, lebih menggetirkan lagi, nyatanya kita lebih gemar merayakannya dengan rasa bahagia dan bangga telah berhasil menghinakan orang lain.
Apakah sikap demikian layak dilakukan manusia macam kita? Yang berpikir dan berperasaan?
Coba kita rasakan bersama adegan-adegan berikut:
“Sopir bodoh! Udah kubilang dari tadi agak cepat nyetirnya, masih lambat, jadinya telat aku meeting-nya nih! Dasar koplak! Tahu nggak kamu berapa kerugianku telat meeting gara-gara kebodohanmu itu…?!!!”
“Orang yang malas baca macam Anda ini memang hanya akan menganalisa sesuatu atas dasar ketidaktahuan, jadinya analisa Anda hanyalah igauan kosong, tak bermanfaat, dan hanya buang-buang waktu saja…”
“Keledai bego itu tidak terjatuh ke lubang yang sama sampai dua kali kan? Kamu tahu pepatah bijak itu kan? Nah kamu, yang bukan keledai, punya otak, dandan rapi wangi, kok mengulangi kesalahan yang sama lagi, lagi, dan lagi. Mending keledai aja diparfumin kalo gitu…”
“Aku terima permintaan maafmu. Baguslah kamu berani mengakui kesalahanmu. Tapi kesalahan tetaplah kesalahan, yang akan terus membekas di hatiku. Soal kumaafin itu hal berbeda dengan luka hatiku….”
“Jangan membantah kiai, ustadz, ulama, karena itu sama halnya membantah Nabi. Ikuti saja, buang kedzaliman hatimu itu, jika kamu ingin selamat di dunia dan akhirat, masuk ke surga Furdaus…”
Hemmm…camkan…camkan…
Rasakan dengan nurani, perasaanmu terdalam. Lepas dari konteks lahirnya adegan-adegan itu, plus tujuan-tujuan utamanya, semua ungkapan tersebut, bila diterima oleh siapa pun, dalam level status, ekonomi, dan pendidikan apa pun, pasti akan menorehkan luka terhina, terendahkan, memalukan. Suatu kondisi jiwa yang tak pernah diidamkan terjadi pada diriku, dirimu, dan dirinya.
Jika itu tak kita inginkan, mengapa kita tega menimpakannya pada orang lain? Mengapa bahkan kita merasa bangga telah berhasil melakukannya?
How damn we are!
Nous sommes les koplakes!
Jogja, 11April 2012
1 Komentar untuk "HOW DAMN WE ARE!"

yang menghina terhina

Salman

Back To Top