Personal Blog

KATANYA BEGITU SIH….

Seorang kawan kuliah asal Aceh, Teuku Misbah Lembong, pernah berkata, “Dua hal paling enak di muka bumi ini, yakni makan gratis dan menyalahkan orang lain.”
Hemm, kupikir-pikir, iya ya. Benar banget!
Beberapa waktu kemudian ini menemukan pembuktiannya saat seorang kawan lain dengan muka berkobar layaknya seekor naga yang menyembur-nyemburkan api bercerita tentang pertengkarannya sama kekasihnya, yang kemudian diakhirinya dengan “keputusan” (heee, maksudku, putus!).
“Nggak ada toleransi lagi untuknya…” sungutnya, meski ia sama sekali tak bersungut kayak lele. “Untung belum kunikahi, bayangkan kalau sudah kadung nikah ternyata kelakuannya begitu…”
Ya, ya, masih untung sih ketahuan sekarang, belum terlambat, meski selalu saja ada luka hati yang harus dibayar untuk setiap perpisahan.
Tapi, tapi, ini kemudian menjadi obrolan panjangku dengannya lantaran satu hal: ketahuannya belang sang kekasih itu diperoleh dari info seseorang.
“Ya, katanya begitu…” sahutnya.
Katanya, katanya…
Ah, saya kok jadi langsung teringat fatwa Teuku Misbah Lembong itu. Wah, iya kalau benar begitu faktanya? Tapi gimana kalau cuma sebuah provokasi dengan maksud buruk tertentu? Atau ternyata hanya sebuah kasak-kusuk yang penginfo itu pun nggak pernah tahu akurasinya? Bukankah “menyalahkan orang lain” (termasuk mengacaukan orang lain) merupakan satu hal dari dua hal yang paling doyan dilakukan manusia ya?
Maka kataku kemudian, “Apa kamu sudah konfirmasi pada kekasihmu itu?”
“Yaelahhh, mana ada maling ngaku…”
Maling?
Wah, benar kan, urusannya jadi kemana-mana, sekarang jadi maling, ntar entah jadi apa lagi, padahal pasal aslinya adalah tentang ketahuan jalan bareng seseorang lain, itu pun kata seseorang lain lagi, bukan penglihatannya sendiri. Dan kalaupun hasil menyaksikan sendiri, apakah itu sontak bisa dijadikan pembuktian atas kedustaan cinta, maling itu?
“Ya emang belum tentu sih, bisa saja itu kawan lama atau kawan baru yang ketemu untuk suatu hal…” sahutnya lirih.
“Nah, tuh tahu kalau itu tidak layak dijadikan dasar vonis kan? Mestinya kan kamu komunikasi terbuka dulu ma kekasihmu, sebelum ambil keputusan…”
“Ya dia sih ngeles, menyangkal berkhianat, malah kemana-mana nyerocosnya, ngatain aku nuduhanlah, egoislah, nggak rasionallah, bla-bla-bla…tapii…ah, maling dan munafik kan bakal begitu, ngeleessss terus sampe bener-bener jelek…” sergahnya lagi.
Wah, kini sudah bergeser jadi munafik yang juara ngeles sampe jelek. Padahal, sekali lagi, pasal aslinya adalah tentang informasi kekasihnya jalan dengan orang lain.
Aslinya kan nggak ada yang pernah benar-benar tahu dalam kasus seperti ini (hanya misal kasus lho) yang benar itu siapa: apakah si informan atau si kekasih?
Kita sungguh takkan pernah benar-benar mampu mengukur hati seseorang, sedekat apa pun, termasuk pasangan kita, pacar atau istri/suami. Keterbatasan kemampuan mengukur isi hati seseorang tersebut hanya akan bisa dijembatani melalui “KEPERCAYAAN”. Nggak ada lainnya lagi.
Saat kekasihmu bilang, “Aku nggak apa-apa kok…”, coba camkan, apakah benar kalimatnya itu  sungguh benar-benar “nggak ada apa-apa”. Belum tentu. Bisa saja dia berkata demikian hanya untuk tidak memperuncing masalah, atau mengalah, atau mencoba diam berpikir dulu, atau berusaha menjadi sosok yang tidak grusa-grusu. Karena itu, kita sangat butuh mempercayai orang lain dalam hidup kita. Sungguh, hanya kepercayaanlah “jembatan emas” penyatu dua hati yang tak pernah bisa terukur itu.
Karena kepercayaan tidak bersifat material yang bisa dilihat secara indrawi, tentu saja kedua belah pihak harus bisa berkomitmen tinggi untuk saling menjaga kepercayaan itu. Kepercayaan akan tetap berfungsi menjadi “jembatan emas” jika tidak dicederai oleh bukti fisik pengingkaran. Sekali saja muncul bukti fisik pengingkaran, maka akan sangat sulitlah untuk kembali menyorongkan kepercayaan. Ini bisa melekat selamanya, seumur hidup.
Jika kepercayaan bisa tetap dijaga sebagai “jembatan emas”, ia sekaligus berfungsi ampuh menangkal setiap hunjaman provokasi, fitnah, kasak-kusuk, prasangka. Dalam level seperti itu, kepercayaan melampaui segala-galanya. Silakan orang mau ngomong apa pun, tetapi kepercayaan saya berada di atas semua itu, sehingga apa pun yang dinyatakan orang yang saya percayai, maka itulah kebenarannya, tanpa ragu.
Bor/Sist, coba bayangkan, bagaimanakah rasa hidup yang ditempuh selalu atas dasar kecurigaan? Ketidakpercayaan? Entah itu dalam urusan persahabatan, kekeluargaan, pekerjaan, hingga hubungan cinta?
“Wah, jangan-jangan si Acong ntar nyolongi barang daganganku ya, apalagi di toko kan nggak ada orang lain lagi?”
Atau, “Pamitnya sih ke Gambiran, tapi apa benar ya? Gimana kalo ternyata dia malah ngelayap ke pub? Ketemuan ma sapa di sana? Ngapain mereka berdua? Duh…?”
Atau, “Adikku ini wajahnya aja yang ngangguk-ngangguk gitu, tapi siapa tahu ntar di belakangmu dia malah cerita ke orang lain tentang ceritaku tadi ya? Kacau deh kalau sampai bocor kemana-mana…”
Woww…!!!
Nggak tidur deh loe, nggak enak makan deh loe, nggak bisa ngekeh deh loe, nggak bakal enjoy deh loe, dan seterusnya.
So, friends, coba camkan, ngapain sih kita kudu terbekap dalam pikiran-pikiran negative tentang seseorang yang seharusnya kita beri kepercayaan?
Bukankah apa-apa yang kita negatifin itu sama sekali belum tentulah sebagai sebuah kenyataan, fakta, kejadian. Pikiran negative kita sepenuhnya hanyalah prasangka, angan-angan buruk. Bahwa bisa saja pikiran buruk itu menjadi kenyataan, ya, itu memang tidak bisa dinafikan. Tetapi, poin ini yang kudu ente ingat selalu: jika sebuah dugaan kecurigaan sama potensinya antara untuk terjadi dan tidak terjadi, taruhlah fifty-fifty peluangnya, tapi bukankah otak kita akan keburu terbebani oleh dugaan-dugaan buruk itu sebelum ada bukti itu benar-benar terjadi?
Artinya, ternyata, akibat kita tidak bisa percaya pada orang lain, kita selalu lebih dahulu menuai beban berat kecurigaan itu, yang jelas hanya akan menjadikan hidup kita terkoyak ketidaknyamanan. Akan ironis sekali bila ternyata itu tak pernah menjadi kenyataan, yang berarti kita memikul beban yang sebenarnya beban itu tak pernah benar-benar ada.
Bodoh, bukan?
So, plis, plis deh, jangan biarkan hidupmu jadi nggak nyaman sendiri gara-gara kamu terus digentayangi hantu-hantu kecurigaan. Berilah kepercayaan pada orang lain, berikan kesempatan padanya untuk membuktikan diri sebagai “amanah” atau “khianat” atas kepercayaan, so enjoy-lah life-mu. Perkara kok kemudian kamu menemukan bukt-bukti akurat atas ketidakamanahan itu, langkahnya sangat sederhana: punishment! Entah berupa teguran, peringatan, atau pun putus hubungan.
Well kan?
Dengan cara demikian, selain kamu akan bisa enjoy dengan segala apa yang telah dianugerahkan Tuhan dalam hidupmu, dari materi, kesehatan, hingga pasangan, kamu juga takkan pernah menggantung lehermu sendiri hanya gara-gara sebuah isu, gosip, keisengan, provokasi, fitnah. Kamu takkan pernah terbunuh oleh sesuatu sejenis ungkapan “katanya begitu sih”, yang sama sekali nggak ada pentingnya untuk kamu biarkan mengusik kebahagiaanmu.
Oke to?
To
Jogja, 11 April 2012
1 Komentar untuk "KATANYA BEGITU SIH…."

Buruk sangka itu penuh resiko, tapi mudah dilakukan

Back To Top