Personal Blog

BEHIND THE STORY OF “INI AKU, ANAKMU, IBU…” (#IAAI) Cerita di Balik Cerpen yang Bermetamorfosis Menjadi Sebuah Novel



 (Haul kedua Ibu)

Kalimat pembuka yang selalu ingin saya pada siapa pun yang masih memiliki ibu adalah: “Bersyukurlah kalian yang masih memiliki ibu untuk dicium dan dipeluk…”
****
Di square ketiga ini, aku berbelok ke kanan. Melintasi 1, 2, 3, 4, 5 square lainnya. Kian dekat, hatiku kian gerimis berkabut. Hajaran angin kerontang yang tak bosan menyepuh padang Maqbarah Syura’i ini tak lagi kurasa.
“Ibu….” bisikku, tepat di sebuah batu nisan yang hangat didera udara kering. “Ini aku, Anakmu, Ibu…”
Tubuhku luruh, jatuh simpuh di atas pasir tanpa gundukan ini. Kugenggam erat batu nisan hangat ini, kudekapkan ke dadaku, seakan aku tengah mendekapmu, Ibu. Erat, lekat, tak sudi kuijinkan selarik angin pun menyela pelukanku pada nisanmu, Ibu.
Pada kuburmu ini, kusentuhkan pipiku, dadaku, kedua tanganku, sampai rata ke lenganku. Rasa hangat kerontang menjalari sekujur tubuhku. Hangat bulir-bulir pasir kuburan dan batu nisan ini menyingkap helai-helai kenanganku pada kebiasaanmu yang duduk takzim dengan bibir berhias doa yang sabar menungguku di teras rumah saat mendapat kabar aku sedang dalam perjalanan pulang menujumu, dari Jogja ke Sumenep.
Berjam-jam ibu setia menungguku. Berkali-kali ia akan meminta kakakku untuk bertanya padaku: sudah sampai di mana sekarang atau berhati-hati ya di jalan. Segala macam masakan kesukaanku sejak kecil yang diracik oleh tangan tuanya telah tersedia rapi di meja makan. Begitu selesai memasak, ibu selalu berpesan pada kakakku, “Iis, semua pindang, rujak timun, telor pecek, dan kuah maronggi ini jangan diambil dulu ya. Ini kesukaan adikmu, sebentar lagi dia datang…”
Saat mobilku berderum di depan rumah, ibu akan langsung menghambur tanpa mengingat sendalnya lagi. Ia memelukku dengan sangat dalam, begitu hangat, sehangat batu nisan yang diciumi angin kering padang pasir Haram ini. Lalu beberapa menit kemudian, ibu akan sedikit merenggangkan pelukannya. Dengan kedua tangan memegang pipiku, matanya menatapku begitu lekat, menyapu dari atas ke bawah, seolah sedang memeriksa setiap jengkal tubuhku untuk memastikan aku ini masihlah anaknya yang baik-baik saja seperti yang begitu dikenalnya sejak pertama kali dilahirkannya dengan berdarah-darah dan menangis di malam buta di balik ketiaknya mencari puting susunya puluhan tahun silam.
Lalu ibu akan menggandengku ke dalam rumah, ke ruang tengah, dan menghidangkan semua masakan yang kata kakakku telah begitu menyibukkannya sejak Subuh tadi. Dengan manja, aku meminta ibu menyuapiku, seperti masa bayiku. “Suapin, Bu, sudah lama nggak disuapin Ibu.”
Ibu pun tersenyum, lalu dengan tangkas ia mulai mengambil piring, menyendok nasi, memasang ikan pindang goreng, rujak timun, telor pecek, dan tak lupa kuah maronggi. Lalu ia menyuapiku dengan tangannya. Ya, kulit tangannya yang berkeriput bersentuhan langsung dengan bibirku, menjalarkan suatu rasa paling ajaib yang takkan pernah berani kupasrahkan pada kata seindah apa pun di antara jejalan berjuta pilihan kata dalam KBBI. Aku lalu bergelendotan di pundak tuanya, sambil bercerita tentang apa saja yang selalu sedia didengarnya tanpa pernah menyela. Tangan kanannya mengelus rambutku tanpa henti, sampai aku terlelap di pelukannya.

*) Itu penggalan kecil cerpen #IAAI.
****
Jazim Naira Chand, seorang kawan dari Komunitas Untuk Sahabat (UNSA) Surabaya, berkirim email pada saya pada tanggal 27 November 2013 pukul 10.20 WIB. Kawan-kawan UNSA mengharapkan saya berkenan menyumbangkan 1 cerpen untuk sebuah antologi bertema ibu dalam event #EverlastingWomen. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menyanggupi. Saya senang menjadi bagian dari kreasi-kreasi literasi, dengan siapa pun, minus partisan politik. #plaakkk
Pukul 20.30, tanggal 1 Desember 2013, hujan tak kunjung bosan menciumi tanah yang kedinginan. Saya nyalakan laptop di teras rumah, seorang diri, lalu mulai menuliskan cerpen #IAAI ini, yang tuntas pukul 23.30. Ya, 3 jam! Ditemani black coffee, sebungkus Marlboro, air putih dalam gelas segede gaban, dan isak tangis yang memaksa kepala saya tertekuk berkali-kali (cerpen ini telah saya mailkan ke lebih dari 1000 orang yang tertarik membacanya dalam tempo 24 jam sampai saya mabuk email. Lol).
85% dari cerpen #IAAI ini based on my true story. Selainnya, fiksi. Meski semuanya harus saya hadirkan sebagai sebuah cerita fiksi. Saat mulai mengetikkan paragraf pertama, saya teringat sosok lelaki Arab, Ubaidillah, yang bulan Juni 2013 lalu saya carter ke Maqbarah Syura’i. Saya berjumpa dengannya kebetulan saja saat dia nongkrong di depan hotel Shafwah Orchid tempat saya menginap.

(Ubaidillah sebelah kiri tampak belakang)
Ah, beruntung dulu saya pernah mengenyam dunia pesantren di Denanyar Jombang yang kebetulan intens berbahasa Arab, sehingga saya sedikit bisa berbahasa Arab untuk berkomunikasi dengannya. FYI, orang Arab di sekitaran Mekkah dan Madinah begitu langka yang bisa berbahasa Inggris, apalagi Prancis dan Madura. Lol.
Saya beserta beberapa anggota keluarga (8 orang) sengaja memilih mobil besar Ubaidillah yang wujudnya seratus persen Kijang Innova. Bedanya, setir mobil di Arab berada di sebelah kiri. FYI lagi, di Arab, taksi berargo menggunakan mobil Camry. Plak banget deh fakta ini! FYI lagi, orang Arab masa bodoh banget sama mobilnya. Berkali-kali saya ketemu mobil yang di kita pasti super mahal macam Camry, Lexus, Porsche, Range Rover, Mercedes Benz, dan bahkan Hammer H2, dibiarkan beset dan kusam berdebu begitu saja. Asal jalan! Tapi belakangan saya maklum sih lantaran harga mobil di sana murah! You know, harga Camry yang di kita tembus Rp. 520.000.000., di sana cuma (kalau dirupiahkan) Rp. 150.000.000. Bebas bea masuk!


Xenia dan Avanza ada nggak? Heee, if you know what I mean, ngapain orang Arab beli Xenia dan Avanza bila harga Camry aja lebih murah dari harga Xenia dan Avanza di negeri ini.
Selain mobil, hal menarik lainnya di Arab adalah parfum. Tapi, jangan cari parfum di sekitaran Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ya, karena yang akan kalian jumpai adalah parfum-parfum khas Arab yang menyengaaattttt. Dekat ke dupa gitu aromanya. Lol. Jika kalian pernah tahu aroma parfum oleh-oleh jamaah haji bernama Hajar Aswad atau Malaikatus Subuh, yang dijual di kaki lima sekitar dua masjid tersebut dengan harga 10-20 riyal, ya begitulah aroma parfum yang dipajang di toko-toko parfum Mekkah dan Madinah.
Karena saya penyuka parfum, tentu saya selalu sempatkan berburu parfum sampai ke Jeddah. Jaraknya sekitar 100 KM dari kota Mekkah. Yang menarik ialah di wilayah metro bernama Balad, Jeddah, yang di situ juga banyak orang tak berjilbab dan bercelana pendek lho, banyak toko parfum yang menyediakan parfum-parfum branded dari seluruh dunia! Asli, bukan refill! Nama toko langganan saya adalah Ali Murah. Lol. Nggak percaya?! Beneran namanya Indonesia banget, padahal penjualnya ya orang Arab. Mungkin karena konsumennya orang Indonesia kali ya. Penjaga tokonya bisa sedikit-sedikit bahasa Indonesia, ya sejenis: “bagus, murah, mari, belanja, wangi…” Miskin diksilah, nggak layak jadi novelis, heeee. Dan harganya murah!  Bisa ditawar lagi! Tapi jika kita katerlaluan menawar, penjaga toko akan bilang, “Haram, Indonesia peliiiitttt….” Lol banget.


Saya biasa beli Ocean Blue (nggak typo kok, bukan Blue Ocean), produk Paris. Harganya 120 riyal. Dengan kurs rupiah 2.500., maka harganya jadi Rp. 300.000. Bayangkan jika kalian beli parfum itu di mal-mal kita. Harga parfum Ferrari atau Men 212 saja bisa Rp. 900.000., ke atas, bukan? Di sana, harga merek sejenis ya sekitar Rp. 300.000., itu.

 (Ini dia tampang parfum favorit saya, Ocean Blue)


Di Indonesia, parfum Ocean Blue ini tak tersedia. Saya sudah pernah hunting saat kehabisan stok ke banyak kota. Nihil. Maka saya biasanya beli seransel MU sampai penuh saat di Balad. Sebagian untuk diminum sih. Lol. Ya kira-kira cukup setahunlah, dengan rencana insya Allah setahun sekali saya akan berangkat ke sana. Demi memeluk kuburan ibu. Hiikksss. Amin.
Karena saya sudah pernah berziarah ke kubur ibu tahun sebelumnya, diantar Pak Parto, saya tak lagi kesulitan untuk mengenali Maqbarah Syura’i. Sepanjang jalan menuju Maqbarah Syura’i, saya banyak berbincang dengan Ubaidillah itu. Saya juga tahu dari Ubaidillah bahwa pajak mobil di Arab dibayar 3 tahun sekali. Untuk Camry hanya sekitar Rp. 3.000.000 per tiga tahun. Di kita? Dengan mutu jalanan yang subhanallah, ngeekkk dah…
Sesampai di Maqbarah Syura’i, wanita tidak boleh masuk ke dalam pekuburan. Hanya boleh di depan pagar pekuburan atau menunggu di kantor Maqbarah Syura’i atau di mobil. Saya mengajak semua rombongan berdoa bersama dulu di dekat parkiran, tempat maksimal yang boleh dijangkau kaum wanita, sebelum kemudian saya memasuki pekuburan menuju tempat ibu. Sejauh mata memandang, kotak-kotak beton yang menyimpan puluhan jenazah itu memang berjubel. Teramat banyak. Tak sanggup saya menghitungnya, saking luasnya Maqbarah Syura’i itu. Beberapa ekor burung kecil yang saya tak tahu namanya sesekali terlihat melintas.

 
(Inilah wajah padang pekuburan Maqbarah Surai'i)

Dengan ancer-ancer square yang saya hapalkan benar sejak tahun lalu, saya berhasil menemukan kuburan yang saya yakini sebagai tempat peristirahatan ibu (terimakasih Pak Parto yang telah menunjukkannya pada saya, Allahu yubarikuka wa ahlaka). Saya menyentuh batu nisan yang digeletakkan begitu saja di atas kubur ibu, mengelusnya, menciumnya, dan tanpa ampun danau mata saya ruah bertubi-tubi di antara desau angin padang pasir yang kerontang.

(Inilah kuburan Ibu, batu di tengah lurus orang yang berjalan)

File-file sejarah ibu merayap satu-persatu ke kepala saya, juga hati saya. Wajahnya. Senyumnya. Pelukannya. Masakannya. Segalanya! Kawan, bersyukurlah kalian yang masih memiliki ibu yang bisa disentuh, dipeluk, dan dicium. Jangan sia-siakan waktu yang masih tersedia, Nak.
17 hari lamanya saya yang sudah segede ini kehilangan gairah hidup saat diberi kabar oleh K.H. As’adi, muthawwif yang membawa ibu, abah, dan rombongannya umrah di bulan Ramadhan tahun 2010 lalu, bahwa ibu telah meninggal di Mekkah. Beberapa hari sebelumnya, saya komunikasi via telpon dengan ibu dan dia bercerita bahwa diabetesnya kambuh. Suaranya parau. Kecil, terasa lelah. Sangat sayat di telinga. Saya menguatkan ibu agar tetap makan dan berobat. Saya juga bilang ke abah supaya ibu dirawat di rumah sakit terbaik di Mekkah. “Sampaikan ke K. As’adi, berapa pun biayanya akan saya ganti…”
Ibu sempat berkali-kali dibawa ke rumah sakit di Mekkah. Tapi, ibu tak sanggup bertahan lagi. Ia meninggal di kamar hotelnya pagi hari. Jenazahnya lalu dibawa ke rumah sakit. Abah dan K. As’adi mengurus semua dokumen yang diperlukan untuk penguburan ibu. Ba’da Maghrib, jenazah ibu diletakkan bersebelahan dengan Ka’bah, persis di hadapan Multazam (area sekitar 3 meter antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah yang disebut-sebut sebagai tempat mustajab oleh Nabi), bersama beberapa jenazah lainnya, dishalatkan oleh Imam Maheer berjamaah dengan ribuan orang yang memenuhi Masjidil Haram (saya iri pada ibu di bagian cerita ini, karena saya belum tentu semujur beliau dishalatkan di Masjidil Haram).

(Inilah Multazam di bagian kiri, dari pintru Ka'bah yang ke arah kiri)

Bagi saya (mungkin pula sebagian besar kalian), ibu adalah ruh kehidupan. Meninggalnya ibu mencerabut sebagian hati saya, meretakkannya, dan selamanya takkan pernah sama lagi. Apa yang saya tuliskan dalam #IAAI tentang ibu yang setia menunggu kedatangan saya, menyiapkan makanan kesukaan saya, menyuapi saya sampai lelap, merupakan pengalaman-pengalaman nyata, yang lebih dari cukup untuk menunjukkan betapa saya takkan pernah memiliki kehidupan yang sama lagi sejak kepergiannya.
Saya adalah anak yang paling dekat dengan ibu di antara dua saudara lainnya. Kepada anak-anaknya yang lain ibu memanggil nama, tapi khusus pada saya, ibu menyebut saya “kacong” (anak, nak, tole). Jika saya sedang di rumahnya, saya terbiasa tiba-tiba memeluknya, menciuminya, bahkan di hadapan ramai orang sekalipun. 

 
(Beginilah pose ibu saat setia menunggu saya tiba ke rumahnya)

Saya ingat betul salah satu sejarah saya bersama ibu waktu kami bisa berkumpul lama di musim Haji 2005. Saat hendak jumrah, di antara jejalan ribuan manusia, ibu yang berjalan di depan saya tiba-tiba sandalnya lepas. Wajahnya sontak memucat. Panik. Takut. Buru-buru saya menyergapnya, memeluknya dari belakang, mengamankannya dari arus manusia yang berjubel. Masih sempat ia hendak menjamah sendalnya, tapi saya mencegah tangannya dan segera menepikannya. Istri saya yang sempat mengambil sendalnya lalu turut menepi.
Keringat dingin membasahi keningnya yang pucat didera takut.
“Tenang dulu, Bu, tarik napas…” kata saya sambil mengusap keringatnya.
Ia tampak ngos-ngosan, menebarkan mata cemasnya ke arah rombongan kami yang kian jauh.
“Nggak apa-apa, ntar kita susul mereka,” ujar saya sambil memegang tangannya dan mulai melangkah melanjutkan perjalanan jumrah.
Saya ingat benar wajah pasinya yang ketakutan perlahan mulai pulih seiring dengan sentuhan tangan saya ke lengannya. Perhatikan, Guys, bukankah selalu saja sentuhan tangan seseorang yang dicintai mampu menghadirkan kedamaian di hati kita? Ibumu juga demikian, merindukan sentuhan tanganmu…

(Ibu waktu berhaji bersama saya dan istri tahun 2005)

Ibu yang tahu bahwa saya diberi anugerah lebih oleh Allah tidak pernah berbuat semena-mena pada saya, yang ia tahu benar amat mencintainya, sekalipun ia tengah sangat menginginkan sesuatu. Jika saya memberinya uang atau perhiasan, ia pasti tak lupa mengucapkan, “Terimakasih ya, Cong, semoga rezekimu terus berlimpah.” Ucapan yang sungguh tak pernah saya pinta darinya, tapi ia tak pernah alpa memberikannya.
Suatu hari saya membawa ibu ke dokter untuk mendapatkan alat bantu dengar karena pendengarannya belakangan kian tak tajam. Saya belikan alatnya seharga (maaf) Rp. 3.500.000. Bermalam-malam selama di rumah saya di Tegalsari, Jogja, ibu terus menderu mendoakan saya atas pemberian tersebut. Ah, Ibu, bukankah apa yang saya berikan sama sekali tak setimpal secuil pun dengan pelukanmu, ciumanmu, doamu selama ini? Iya kan, Bu? Hiikksss…
Jika saya memberitahunya bahwa uang umrah sudah saya transfer ke rekening kakak, ibu pasti akan meminta kakak menelpon saya, lalu ia akan berkata, “Terimakasih ya, Cong, Ibu selalu merepotkanmu. Semoga Allah akan kian melimpahkan rezekimu, selamat dunia akhirat ya…”
Lalu jika sudah tiba waktunya berangkat umrah, saya dan istri membiasakan diri untuk pulang ke Madura, mengikuti prosesi keberangkatannya. Malam harinya diadakan syukuran di rumah, lalu besok siangnya, kami sekeluarga mengantarnya ke titik kumpul jamaah umrah di masjid K. As’adi.
Saat diumumkan supaya jamaah menaiki bus yang akan segera berangkat ke Surabaya, ibu akan menciumi kami satu-persatu, dari cucu, menantu, sampai anak-anaknya. Saat tiba giliran saya, ibu akan memeluk saya dengan begitu erat, menciumi pipi saya dengan sangat dalam, membisikkan berkali-kali ucapan terimakasih atas biaya umrah yang saya berikan, dan menyisakan jejak hangat airmatanya di pipi. Jejak airmata ibu di pipi itu saya biarkan mengering disaput angin, sampai sore, sampai saya harus mengambil wudhu untuk shalat.
Sejak 1 September 2010, takkan pernah ada lagi jejak airmata hangat ibu di pipi saya. Tak pernah akan ada lagi. Yang bisa saya lakukan kini hanyalah mengabadikan ciuman dan pelukannnya dalam unggun kenangan, berkirim Faatihah serta Yaasin untuknya, mencatatkan sejarahnya dalam sebuah cerita novel, sampai suatu kelak akhirnya tiba giliran saya untuk hanya menjadi unggun kenangan pula di hati orang-orang yang mencintai saya.
Guys, insya Allah, cerpen #IAAI ini akan bermetamorfosis menjadi sebuah novel. Setiap kali saya berada di Mekkah dan Madinah, saya hunting detail dalam bentuk catatan dan foto. Saya masih perlu berburu beberapa kali lagi seputar detail lainnya yang belum lengkap saya kumpulkan. Ya, untuk kebutuhan detail novel, yang saya niatkan jika kelak novel itu dibaca seseorang, lalu bermakna bagi hidupnya, dan itu bernilai kebaikan di sisi Allah, semua jariyahnya hanya untuk almarhumah ibu. Semoga saya bisa menyelesaikannya sebelum saya keburu menjadi kenangan. Amiin.
Jogja, 3 Desember 2013

*) Semua foto ini adalah dokumen saya pribadi.

Foto-foto tambahan:

(Inilah sosok petugas kebersihan di Masjidil Haram)

 
 (Kami berfoto-foto fi depan Ka'bah saat jam Dhuha)



 
(Foto saat mau belanja ke Hilton dan saya di-preeti itu) 


 
  (Suasana di depan Shfwah Orchid di pagi hari)



 
 (Kami bersantai di undakan yang menuju pintu King Abadul Aziz)
6 Komentar untuk "BEHIND THE STORY OF “INI AKU, ANAKMU, IBU…” (#IAAI) Cerita di Balik Cerpen yang Bermetamorfosis Menjadi Sebuah Novel "

Menyentuh sekali ceritanya mas Edi. Ibu saya juga telah lama pergi ke haribaan Allah. Benar adanya, itu mencerabut sebagian jiwa saya kala itu. :'(

__Puspita RM

Anda orang yang sangat beruntung sekali Mas Edi, karena sudah bisa membahagiakan Sang Ibu.

sudah saya baca dan sungguh, pada bagian-bagian tertentu, sangat bertenaga

Sangat inspiratif. Bermuatan Dakwah tanpa berkesan menceramahi. Saya kembali menitikkan air mata saat Pak Edi bilang : "bukankah selalu saja sentuhan tangan seseorang yang dicintai mampu menghadirkan kedamaian di hati kita? Ibumu juga demikian, merindukan sentuhan tanganmu…"
Akhir bulan lalu kami saling berpelukan dan menangis. Membaca #IAAI membuat saya tak sabar untuk bertemu Umi dan menangis lagi di pangkuannya. Jarak kami hanya puluhan kilometer, tetapi kerap banyak alasan untuk tidak bisa bertemu Umi. (Maafkan anakmu ini, Umi...)

Beruntulnglah kawan2 yg masih memiliki waktu untuk memeluk ibunya...

Subhanallah,dishalatkan di Masjidil Haram,yang ini memang benar2 bikin iri..
InsyaAllah Ibu khusnul khotimah :')

Back To Top