Personal Blog

BUKU JOGJA: DILEMA PENCERAHAN DAN KAPITALISME (Ngobrol Buku Bareng Immanuel Kant dan Max Weber)

Sedari awal membaca buku Samuel Huntington, The Clash of Civilizations, yang mendikotomikan Barat dan Timur sebagai dua kutub yang saling berseteru, saya curiga jangan-jangan tesis Huntington itu tetaplah “srigala berbulu domba” ala orientalisme (layaknya Snouck Hurgonje, Ignaz Goldhizer, dan Josep Schatt) yang sengaja mengemas dosa lama superioritas Barat atas Timur dengan bertopengkan seperangkat metodologi ilmu pengetahuan. Beda jubah saja, kalau dulu orientalisme menunggangi kuda imperialisme, kini orientalisme menunggangi Alphard metodologi ilmu pengetahuan.
Kini, kecurigaan saya terbukti benar. Amerika menggunakan tesis Huntington untuk menyerang negara-negara Islam di mana-mana, baik yang langsung militeristik atau pun bersenjatakan kuasa ekonomi global. Poinnya sama: menggerayangi seluruh belahan tubuh dunia dengan superioritasnya, bahkan jika perlu sampai ke akhirat pula.
Dan kita semua tahu, superioritas apa pun meniscayakan dominasi dan arogansi, plus anti-kritik khas kaum pengasuh truth claim. Tak ada secuil inspirasi pun yang bisa digali dari sikap hidup semacam ini.
Dan, ini pun menimpa ranah perbukuan nasional kita. Dikotomi apa pun dalam perbukuan, pusat dan daerah, penerbit besar dan gurem, beraliran kanan dan kiri, buku wacana dan popular, semuanya akan terjebak dalam klaim superioritas yang pada detik yang sama mencerabut watak dasar buku sebagai karya kreativitas dan inspirasional. Itulah sebabnya sedari dulu saya selalu menolak segala bentuk dikotomi yang dibangun oleh siapa pun atas dasar apa pun dalam bidang apa pun, termasuk dalam dunia buku.

Buku dan Tugas Pencerahannya
Seberapa pentingkah buku bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Seberapa burukkah dampak hidup mereka yang tidak suka baca buku? Apakah mereka yang tidak mampu mengakses buku bukanlah kelompok manusia yang cerdas, kreatif, dan inspirastif dalam hidupnya? Sebaliknya, faktanya, mengapa sangat banyak orang yang hobi membaca buku, sehingga cerdas, tapi begitu memilukan perilakunya karena rajin korupsi, menipu, dan membodohi orang lain dengan teori-teori yang dikuasainya?
Sekilas, betapa sungguh dilematisnya wajah buku itu. Bak pedang bermata dua, di satu sisi bisa menjadi pencerdas, inspirasi hidup, tapi di sisi lain begitu mandul untuk memberikan pencerahan bagi pembacanya.
Baik, mari kita lihat perkara ini dengan menggunakan filsafat Immanuel Kant tentang Nomena dan Fenomena dan Otonom Ethic dan Heteronom Ethic.
Begitu jelas dalam bukunya, The Critique of Pure Reasons (1781), Kant meletakkan etika sebagai puncak segalanya. Etika adalah tolok ukur eksistensialisme manusia. Ya, Kant memang ateis, tidak menjadikan Tuhan sebagai puncak segalanya, berbeda jauh dengan saya, Apri Jalasutra, Masrur Ar-Ruzz, Ribut Diglosia, Wawan Relasi atau pun Xavi Hernandez, Mesut Ozil, dan tentu saja Wayne Rooney dan Valentino Rossi. Tapi lepas dari poin itu, warisan filsafat etika Kant begitu berharga untuk kita cermati, terutama saat Kant memetakan Nomena dan Fenomena.
Menurut Kant, Nomena is The Ultimate, The Reality, but not God. So, what is it? Ethic. Ya, etika. Manusia yang paling mulia, bagi Kant, dan agaknya kita akan ramai-ramai bersetuju dalam poin ini, ialah manusia yang beretika. Tapi, kemudian, persoalannya, etika apa, menurut siapa, di mana, bagaimana, dan mengapa?
Di sinilah Kant lalu meletakkan Fenomena sebagai gerak penafsiran manusia atas Nomena itu sebagai hal urgen dalam membangun etika. Bahwa setiap manusia dan budayanya akan memiliki ukuran etika yang berbeda, Kant tidak menampik kenyataan itu. Itulah esensi Fenomena. Tetapi bahwa secara universal, ada nilai-nilai kemanusiaan yang sama, itulah dasar-dasar etika yang patut dijunjung oleh setiap manusia lintas wilayah. Hans Kung belakangan menyebutnya sebagai etika global. Ya, sebutlah rasa ingin diperlakukan adil, ingin dicintai, disayangi, dihormati, dan sebagainya.
Tidak peduli Anda atau saya orang Jogja, Medan, Madura, Makassar, beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, beraliran NU, Muhammadiyah, berkelamin laki-laki atau perempuan, berhidung pesek atau mancung, bekerja di LKiS, Ar-Ruzz, DIVA Press, Mizan, Penebar Swadaya, Agro Media, atau Buka Buku, ThreeG, dan Syakaa Organizer, menjabat sebagai ketua IKAPI, ketua Fatayat, ketua Advokat, atau ketua Angkringan hingga ketua Lebay dan Galaw, semua kita mendambakan hal yang sama dan menolak hal yang sebaliknya. Inilah bukti kebenaran pendapat Kant tentang adanya global ethics.
Atas dasar itu, Kant kemudian mem-breakdown filsafat etikanya pada dua term teknis: Otonom Ethic dan Heteronom Ethic. Otonom Ethic menunjuk pada bersikap etik pada siapa pun, tanpa melihat background orang tersebut. Ia benar-benar pure, suci, unconditional. Sebaliknya, Heteronom Ethic menunjuk pada bersikap etik karena suatu faktor. Ia tidak lagi pure, sangat conditional.
Misal, saya tersenyum dan berbicara manis pada Akhmad Fikri AF bukan karena ia berkumis dan direktur LKiS dan ketua IKAPI DIY. Inilah otonom ethic. Saya menunduk-nunduk kepada Akhmad Fikri AF karena ia berkumis, ketua IKAPI, orang tersepuh di perbukuan Jogja, inilah heteronom ethic.
Bagi Kant, semestinya kita menegakkan otonom ethic itu, bukan yang heteronom. Itu berarti, saya semestinya bersikap baik bukan hanya kepada Akhmad Fikri AF, tetapi pada siapa pun yang hadir dalam kehidupan saya, karena dalam perspektif saya, dengan mengikuti fatwa Kant tersebut, semua orang sama-sama memiliki nilai etika universal itu, tanpa peduli ia seorang ketua IKAPI, bakul angkringan, tukang parkir, dan sebagainya. Sehingga, dalam kacamata ini, cara saya bersikap secara etik yang universal ala Kant itu sejatinya mendorong saya untuk tidak pernah membedakan antara Akhmad Fikri AF yang berkumis, direktur LKiS dan ketua IKAPI DIY dengan Kang Wasto, seorang bakul angkringan di Pengok yang pernah saya tabrak hingga remuk gerobaknya, misalnya. Akhmad Fikri AF dan Kang Wasto, dalam konteks ini, sama saja.
Begitulah.
Adanya nilai-nilai etika universal ini menjelaskan dengan nyata bahwa tidak secara otomatis orang yang rajin membaca buku akan berakhlak lebih baik dibanding orang yang tidak membaca buku. Orang kota yang mudah mengakses buku tidak berarti lebih etik dibanding orang gunung yang kesulitan mencari buku. Dan seterusnya. Sampai di sini, perilaku etik seseorang sungguh tidaklah paralel dengan seberapa banyak ia membeli dan membaca buku. Itulah sebabnya, banyak orang cerdas, jago baca buku, tetapi amoral dalam kacamata umum kita.
Tetapi ingat, fakta lain juga menunjukkan bahwa keluasan pengetahuan seseorang (dan pergaulannya) sangat mempengaruhi mindset-nya. Ini tidak bisa dinafikan. Semakin luas cakrawala pengetahuan seseorang, akan semakin kaya perspektiflah ia dalam menyikapi setiap persoalan yang hadir dalam hidupnya.
Misal.
Sebagai direktur LKiS dan ketua IKAPI DIY, Akhmad Fikri AF yang berkumis pastilah orang yang kaya bacaan. Mulai dari bacaan buku sampai faktur. Keluasan bacaannya niscaya menerbitkan internalisasi dalam dirinya, sehingga pada gilirannya meniscayakan keluasan perspektif dalam menyikapi masalah apa pun. Bila ia dikritik seseorang misalnya, sekeras apa pun, niscaya ia akan melihat banyak perspektif menyikapi kritik tersebut. Sikapnya akan bisa lebih rasional, wise, dan penuh pertimbangan mendalam, tidak temperamental-emosional layaknya orang buta huruf yang miskin perspektif. Tapi kalau pun ternyata suatu hari Akhmad Fikri AF jatuh pada sikap emosional, misalnya, tentu ini bukan karena kesalahan buku-buku yang dibacanya, tetapi akibat kegagalan internalisasi bacaan itu dalam menjiwai perilaku aktualnya. Whitehead menyebutnya sebagai proses “actual entity, nexus, and society”.
Inilah bedanya antara orang yang kaya bacaan, kaya wawasan, dibanding orang yang kere bacaan, kere wawasan. Dalam ilustrasi Ludwig Wittgenstein, tokoh Positivis Logis murid Betrand Russel, sikap orang kedua ini ibarat seekor lalat yang terjebak di dalam toples kaca bening, yang merasa telah berkeliling dan melihat seluruh dunia, padahal ia tetaplah hanya ada di dalam toples kecil itu dan tidak pernah pergi kemana-mana dan melihat apa-apa.
Sampai di sini, kita menjadi paham betul bahwa membaca buku apa pun tidak akan pernah sia-sia. Membaca buku tetap sangat penting untuk dijadikan kebiasaan keseharian.

Buku dan Tugas Kapitalismenya
Semua penerbit menerbitkan buku untuk dijual. Semua penerbit mencari keuntungan dari hasil penjualan itu. Semakin bagus sirkulasi buku yang diproduksinya, maka semakin tajir pulalah penerbitnya. Sampai di sini, mengikuti pemikiran lama Adam Smith, buku pun merupakan bagian dari kapitalisme, yang bertujuan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga buku tak ada bedanya dengan semua produk kapitalisme, mulai sendal, bunga, pecel lele, espresso, hot cocholate, french-fries, Kawasaki Naked Bike ER-6N, atau pun Alphard yang harganya setinggi alkampret itu.
Mendengar kata kapitalisme dilekatkan pada buku, umumnya penerbit lantas berkerut kening. Agak tersinggung. Tapi, sebagai penentram hati, mari kita gunakan teori Max Weber untuk melihat hal ini sebagaimana dituangkan dalam bukunya, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Menurut Weber, akumulasi kemuakan orang Eropa atas dominasi gereja Katolik yang begitu luar biasa, bahkan sampai level penentu selamat-tidaknya seseorang setelah mati (salvation), memicu lahirnya gerakan Protestan, yang salah satu khasiatnya menerbitkan etika baru bahwa semua orang bisa memperoleh keselamatannya sendiri, tanpa perlu terkait pada rohaniawan dan gejera an sich. Inilah etika Protestan, yang kemudian memicu lahirnya semangat kuat (spirit) untuk mengaktualisasikan diri dalam kegiatan-kegiatan kapitalisme (bekerja, ekonomi, perdagangan). Jadi, bila mengikuti langgam Weber ini, kapitalisme merupakan ekspresi-ekspresi manusia untuk meraih keselamatan yang tak lagi disandarkan pada rohaniawan dan gereja an sich. Kapitalisme adalah spiritualitas baru.
Jika langgam Weber tentang relasi etika Protestan dan kapitalisme ini ditarik ke spiritualitas Islam, kita pun menemukan pemahaman bahwa ternyata kegiatan-kegiatan perekonomian, kapitalisme, jika “diniati ibadah” maka akan bernilai kebaikan, pahala, dan keselamatan. Sama persis dengan teori Weber itu.
Baiklah, mari kita bicara tentang kapitalisme.
Kapitalisme adalah tentang pasar. Pasar, we know, selalu tentang barang dan konsumen. Soal promosi, strategi, BEP, selling in-selling out, trend topics, euforia model, dll., itu hanya remah-remah di hadapan produk dan konsumennya.
Penerbit menerbitkan buku sebagai sebuah produk jelas bersihadap langsung dengan konsumen. Bagaimana cara produk kita mampu menarik minat konsumen, setidaknya agar konsumen mau memperhatikannya, lalu menyentuhnya, lalu membolak-baliknya, lalu membelinya? Inilah PR besar setiap penerbit agar kegiatan-kegiatan kapitalismenya bisa tegak. Tanpa pondasi ini, jangan harap penerbit manapun bisa eksis, tak peduli penerbit Jakarta, Jogja, Bandung, semuanya sama. Dan bila tidak bisa eksis, jelas teori Weber tentang keselamatan dalam spirit kapitalismenya tidak perlu diikuti lagi olehnya.
So what?
Teori Weber sejatinya sungguh sangat sederhana jika diterapkan ke ranah penerbit, yaitu hanya tentang bagaimana caramu agar penerbitmu bisa eksis di hadapan pasar. Itu saja. Jika ini berhasil, berarti penerbitmu boleh menyatakan diri sebagai penggiat kapitalisme yang berspirit keselamatan (bahasa paling pas untuk konteks buku adalah pencerahan).
Lantaran ini secara esensial adalah tentang produk dan konsumennya, maka suka tak suka, siapa pun Anda, setinggi apa pun level pendidikan dan aktivisme Anda, seidealis apa pun Anda, sekriting apa pun Anda membaca buku, jelas Anda harus mengindahkan sentimen pasar sebagai basis ideologis kegiatan kapitalisme Anda. Inilah takdir kapitalisme, hukum alamnya, sunnatullah-nya, dan siapa pun yang melawan sunnatullah pasti akan terjungkal, termasuk penerbit. So, enyahkan saja semua klaim negatif kaum idealis-hiperbolis-utopis tentang sikap itu sebagai melacurkan idealisme, ideologi, diskursus, dan episteme penerbit.
Porsi idealisme, ideologi, dikusrsus, dan episteme sebagai kerja ruhani cendekiawan penerbit bukan di sini tempatnya. Pasar hanya mengenal produk dan konsumennya. Selebihnya, termasuk idealisme, ideologi, dikusrsus, dan episteme bukan urusan pasar, tetapi urusan “proses kerja” Anda selama menerbitkan buku sebagai produk kapitalisme penerbit Anda.
Ini berarti bahwa berkompromi dengan pasar kapitalisme tidaklah serentak layak diklaim melacurkan idealisme. Bukan. Idealisme kita sebagai cendekiawan di balik penerbit itu haruslah diwujudkan dalam rupa komitmen, keseriusan, dan tanggungjawab tinggi atas buku-buku yang kita produksi.
Sederhana. Bahwa buku yang Anda terbitkan haruslah diedit dengan baik, dikemas dengan cover yang menarik, menyajikan muatan informasi dan pengetahuan yang baik, bukan hasil plagiat, bermanfaat bagi setiap pembacanya, memberikan pelayanan purna jual yang baik, memenuhi hak penulis sesuai MoU, berkomitmen tinggi dalam memenuhi hak segenap relasi yang melingkari lahirnya buku sampai diterima konsumennya, inilah rangkaian idealisme yang mestinya selalu kita bangun.
Buat apa Anda ngomong buku Marmut Merah Jambu dan Manusia Setengah Salmon Raditya, Pocong Arif, atau Gadis Kecil di Tepi Gaza Vanny Chrisma W. buruk, hanya atas dasar perspektif subyektif Anda bahwa novel-novel itu ber-genre popular, meski semua novel itu telah digarap dengan sangat baik oleh penulis dan penerbitnya, tetapi Anda sendiri tidak mengedit dengan baik dan memperhatikan keabsahan ilmiah materi buku-buku yang Anda terbitkan, apalagi tidak memenuhi hak royalti penulis, dll.? Semua itu justru hanya mencerminkan peletakan idealisme salah kaprah di hadapan pasar kapitalisme.
Pengkotakan buku sebagai bagus atas tidak atas dasar genrenya, hari ini, di hadapan pasar kapitalisme, sudah kehilangan surganya. Semua genre buku menjadi baik asalkan memenuhi prinsip-prinsip dasar kepuasan konsumennya. Semua genre buku menjadi tidak baik jika tidak digarap dengan standar kepuasan konsumennya. Kepuasan konsumen adalah password sejati eksistensi setiap penerbit di hadapan pasar kapitalisme.
Buku-buku Jogja pun berada dalam arena pertarungan seperti itu. Tidak usah membangun dikotomi apa pun dengan kantong penerbit manapun, karena itu hanya akan memicu anomali penuh kegenitan ala Huntington.
So, mari kita garap buku-buku yang kita terbitkan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab untuk memuaskan setiap konsumennya, apa pun genre bukunya, agar kita bisa eksis di tengah pasar kapitalisme ini. “The End of History and the Last Man Standing”, kata Francis Fukuyama, bahwa tangan kapitalismelah yang menutup sejarah dunia ini, dan jika kita ingin tegak berdiri, maka kita pun harus menjadi bagian dari kapitalisme itu. Tapi, lanjut Weber, ini yang sangat penting kemudian, menjadi bagian dari kepitalisme tidaklah harus menjadi bagian dari keserakahan dan penuhanan materialisme. Tidak. Menjadi kapitalis juga bisa menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan spiritualitas. Dan inilah “nilai ibadah” dan “salvation value” kapitalisme yang melandasi spirit kapitalisme Weber.
Mengapa nggak sih, kita, para penerbit Jogja, menjadi kapitalis yang berhati nyaman? “Nyaman secara produk karena memberikan kepuasan tinggi kepada setiap konsumennya dan nyaman secara finansial karena kita tegak sebagai kapitalis yang beretika tinggi.”
What’s wrong, Dab?
Jogja, 19 Januari 2012
1 Komentar untuk "BUKU JOGJA: DILEMA PENCERAHAN DAN KAPITALISME (Ngobrol Buku Bareng Immanuel Kant dan Max Weber)"

Ampuh men bos... bener banget kuwi. Beberapa kali saya berdialog dengan IKAPI Jawa Timur, mereka menyebut penerbit Jogja sebagai penerbit alternatif. Muncul dalam bentuk kecil lalu mati sebelum tumbuh. Semoga saya gak termasuk yang ada di benak mereka.
HIKAM PUSTAKA

Back To Top