Personal Blog

SAYA SEORANG POSTMODERNIS

Beberapa tahun lalu, saya menemukan sebuah tulisan kecil tentang koin China, yang bentuknya bulat kayak koin biasa tetapi di bagian tengahnya ada lubang berbentuk kotak. Kombinasi bentuk bulat dan kotak. Ternyata, dua bentuk itu mengandung falsafah unik, yakni kita perlu suatu kali bersikap kotak tegas begitu, namun kadangkala lain kita kudu bisa bersikap bulat melingkar. Tujuan utama makna kombinasi dari dua filosofi ini ialah bahwa “menjadi manusia itu janganlah terus berpaku pada satu bentuk, tetapi harus bisa lentur, kombinatif, fleksibel…”
Wowww…!
“Ini postmo banget,” gumam saya, meski saya kemudian menyadari bahwa penyekatan pada hanya dua bentuk (kotak dan bulat) tentu masih harus dikembangkan lebih jauh ke dalam bentuk-bentuk lainnya, misal segitiga, segienam, tak beraturan, dan sebagainya.
Saya menyukai postmo, mulanya, karena saya terperangah dengan tiga pilar utamanya: dekonstruksi, relativitas, dan pluralisme.
Dekonstruksi: saya termasuk orang yang percaya bahwa sejatinya tidak layak ada sesuatu pun dalam laju peradaban bumi ini yang absah mengklaim dirinya atau diklaim sebagai “final, fixed, infalliable, permanen”. Tradisi, pemikiran, budaya, perspektif, teori, sungguh akan menjadi kontraproduktif dalam dirinya sendiri, alias kehilangan sisi kemanfaatan aktualitasnya bagi pencetusnya atau penganutnya sendiri jikalau “diberhentikan pada satu titik pasti”. Bagaimana pun, yang namanya wacana, khitab, discourse, tak mungkin untuk dipaksakan berhenti, lantaran realitas kehidupan yang melingkari manusia pelakunya sendiri selalu bergerak dinamis. Semestinya, dengan demikian, segala macam tradisi, pemikiran, dan wacana harus turut terus bergerak sebagaimana bergeraknya realitas kehidupan. Kehendak untuk memberhentikannya pada satu titik, yang biasanya selalu dilandasi oleh ambisi politis-ideologis, otomatis sama dengan kehendak untuk memberhentikan laju realitas kehidupan. Dan, we know to, nous comprand to, bahwa itu sangat tidak mungkin terjadi!
Kalau ambisi it uterus dipaksakan, konsekuensinya sangat jelas, yakni pudarnya kemanfaatan tradisi, ilmu, pemikiran, atau wacana itu bagi masyarakat itu sendiri. Saat ini terjadi dan terus dibiarkan, kemunduranlah yang terjadi, lantaran orang dipaksa untuk hidup secara ahistoris, bernapas dengan oksigen lama. Mandul. Stangan. Jumud. Macet. Koplak. Itulah sederer akibatnya.
Karena itu, semua tradisi, ilmu, pemikiran, atau wacana, apa pun, kudu didekonstruksi, dibongkar, dalam semangat pembaruan, pembaruan, dan pembaruan, demi terus terjalin-kelindannya antara ilmu dan pemikiran dengan realitas kehidupan.
Semangat dekonstruksi itu jelas mendorong kita untuk tidak pernah terjebak di kursi kemapanan, truth claim, ngerasa benar sendiri, established.
Relativitas: kesadaran untuk menjalankan kegiatan dekonstruksi otomatis melahirkan “produksi-produksi baru”, yang boleh jadi “produksi-produksi baru” itu akan mendampingi, memperbaiki, atau bahkan melumat “produksi-produksi lama”, sebelum kemudian “produksi-produksi baru” itu bergerak menjadi “produksi-produksi lama” yang didampingi, diperbaiki, atau bahkan dilumat pula oleh “produksi-produksi baru” yang lebih baru lagi. Demikian seterusnya.
Konsekuensi logis dari gerakan dekonstruksi ini meniscayakan relitivitas: bahwa tidak pernah ada satu mazhab, tradisi, ilmu, pemikiran, wacana, atau teori dalam bidang apa pun yang tidak bersifat relative. Semuanya relatif dalam porsinya masing-masing. Lantaran ia relatif, maka suka tidak suka, kita harus legowo bin lapang dada untuk tidak memaksakan diri dengan ngotot menolak apa yang kita jadikan pegangan juga relatif kebenarannya, karena  faktanya orang-orang lain di luar diri atau kelompok kita ternyata juga memiliki pegangan yang juga bersifat relatif. Kalau kita menyatakan segala produksi pengetahuan atau wacana itu relatif,  namun di waktu yang sama kita emoh menerapkan hal itu pada pengetahuan atau wacana yang kita anut, maka sikap ini sama halnya kita belum steril dari truth claim. Dan ini berarti bahwa kita bukanlah orang yang memahami dan mengamalkan relasi dinamis-integral antara pengetahuan dan realitas kehidupan.
Pluralisme: jelas bahwa pada gilirannya dunia akan dijejali oleh sesaknya pengetahuan-pengetahuan yang terus berproduksi dan menjadikannya sedemikian pluralistik. Pluralisme merupakan khittah dari kesadaran untuk mendinamisasikan pengetahuan sebagai hasil pencermatan terhadap realitas kehidupan. Sejatinya, kita tak perlu alergi terhadap pluralisme, karena pluralisme adalah hukum alam, sunnatullah.
Penerimaan kita terhadap pluralisme realitas kehidupan berbanding lurus dengan kelegaaan hati kita untuk menerima orang atau kelompok lain yang ada di sekitar kita sebagaimana diri atau kelompok kita sendiri. Orang atau kelompok lain sama persis dengan diri atau kelompok kita: sama-sama ingin dihargai, diberi kebebasan, diterima dengan baik, dan seterusnya. Mereka pun sama dengan kita yang tidak ingin dijelekkan, dilecehkan, diganggu, disakiti, dan seterusnya. Kemampuan kita berbuat baik pada orang lain (yang itu kita inginkan dilakukan orang lain kepada kita) sejajar dengan kemampuan kita menerima pluralisme dalam bidang apa pun.
Begitulah.
Rumah yang cantik tidaklah harus memiliki pintu tunggal di tengah secara presisi. Celana yang menarik tidaklah harus celana kain yang kombrong. Paham yang baik tidaklah harus mengajarkan manusia secara keseluruhan untuk kemana-mana mengenakan sarung dan peci. Tradisi yang baik bukanlah harus selalu yang menjadikan kenduren sebagai alat ekspresinya.
Baik dan tidak baik, benar dan salah, hitam dan putih, sama sekali bukanlah poin yang dituju oleh postmodernisme. Ia tak berkepentingan dengan valuasi, penilaian, karena ruhnya terus-menerus berdenyut dalam jantung yang mengutamakan apresiasi positif terhadap segala macam perbedaan, anti truth claim, dan emoh rezimentasi.
Hemmm…lalu dimana dong posisi agama?
Saya ingin selalu meletekkan agama dalam muatan dogma dan ilmu sekaligus. Agama sebagai dogma (kitab suci, hadits), buat saya, adalah tetap, tsabit, permanen. Keyakinan dan kepercayaan terhadap dogma agama apa pun adalah selalu tetap. Tak berubah. Bahkan tidak boleh diubah, karena kalau itu diubah, berarti keyakinan agama sama sekali bukan dogma lagi, dan agama tanpa dogma tentu saja bukanlah agama. Dogma-dogma agama bersifat tetap.
Hanya saja, penting segera ditegaskan, bahwa dogma agama bukanlah tata nilai yang bebas ruang dan waktu. Dogma takkan bisa menjadi practical life jika tidak diterjemahkan, dipahami, dan dikonsepsikan sebagai ilmu, yang selalu berkaitan dengan persoalan-persoalan riil kehidupan. Dalam posisi inilah, kita harus jeli memisahkan antara mana yang dogma dan mana yang ilmu agama. Pengaburan batas keduanya hanya akan menjadikan ilmu turut tersakralkan, dan inilah yang memicu kejumudan pemikiran agama.
Ilmu apa pun, termasuk ilmu agama, jelas merupakan “penafsiran, interpretasi”, yang boleh jadi dihasilkan melalui metodologi tertentu. Saat ilmu menggunakan metodologi A, maka hasilnya akan A. Jika itu didekati dengan metodologi B, maka hasilnya akan B. Jika C, maka hasilnya C. Demikian seterusnya. Dari sini, jelas sekali bahwa ilmu, termasuk ilmu agama, tidak sahih menyatakan dirinya sebagai “fixed, mutlak benar, relatif”, dan karenanya harus sudi menerima pluralisme pemikiran, tradisi, wacana, fatwa, dan hukum agama.
Sekali kita menghasratkan ilmu agama sebagai final, infalliable, maka sejak saat itu kita telah mendorong agama (berikut dogmanya) terjatuh ke jurang stagnasi, dengan akibat menjadikan agama kehilangan aktualitasnya merespons segala realitas baru kehidupan penganutnya sendiri.
Sikap ini yang begitu heboh mendominasi era Islam Pertengahan, yang menyebabkan dunia Islam tertinggal jauh oleh kemajuan dinamis bangsa Barat, yang kemudian menjadikan dunia Islam sasaran empuk kolonialisme.
Je suis moslem, je suis postmodernis, any problem?
Jogja, 7 Maret 2012
2 Komentar untuk "SAYA SEORANG POSTMODERNIS"

Relativisme itu hanya dijumpai bila kita melihat kebenaran dari satu sisi yaitu sisi dimana manusia dijadikan parameter-ukuran kebenaran.(bisakah manusia dijadikan parameter kebenaran sedang ia bukan pencipta realitas ?)
bila semua kebenaran itu 'relativ' maka manusia tak bisa menentukan bahwa esok pagi akan datang dan hari tua serta kematian akan tiba.mengapa dalam kehidupan ada hal hal yang bisa dipastikan (?) sebab ada kebenaran hakiki yang menjadi konstruksi hukum kehidupan.
Kebenaran itu hakiki-tetap bila kita melihatnya dari sudut pandang pencipta keseluruhan realitas.tapi bisa nampak 'relativ' bila mengikuti sudut pandang manusia sebab 1000 kepala bisa seribu pandangan.
pra modern - modern lalu post mo cuma kacamata sudut pandang manusia yang melihat segala suatu dari sudut pandang waktu.sedang kebenaran hakiki itu tidak berubah oleh kacamata sudut pandang manusia,hukum kehidupan seribu tahun lalu sama dengan hukum kehidupan hari ini karena hal itu telah ditetapkan oleh sang Pencipta sebagai ketentuan untuk manusia.bisakah kacamata post mo merelatifkan kebenaran yang bersifat hakiki (?)coba saja ubah hukum kehidupan kalau bisa.
untuk apa hukum kehidupan dibuat (?)agama mana yang berisi rahasia hukum kehidupan dualistik (?)silahkan dicari dan difikirkan......karena agama bukan untuk dianggap sebagai dogma.
(dan tak ada 'kebenaran modern' atau 'kebenaran kuno' sebab kebenaran (sejati)itu bersifat hakiki dan abadi tak bisa diukur untuk kemudian diubah oleh kacamata sudut pandang manusia yang melihatnya berdasar fase waktu,tak bisa kebenaran (hakiki)yang dianggap 'kuno'dirubah menjadi 'ketidak benaran' menurut sudut pandang filosofi zaman tertentu.

Back To Top