Bila di suatu
hari ada seseorang bertanya padamu, apa yang kurang dari hidupmu, maka gerangan
apakah yang akan kamu jawabkan?
Sebagian besar
kita (untuk tidak menyebut semuanya), niscaya akan menjadikan “rezeki yang
melimpah” sebagai jawabannya. Ya, at
least, setiap memimpin sebuah doa, di antara jamaah yang sedikit atau banyak,
laki atau wanita, tua atau muda, selalu saja seruan “amiiinnn” untuk rezeki yang bergentayangan begitu lebih petir gelegarnya dibanding “amiinn” untuk doa lainnya. Sebuah cermin
yang memantulkan keadaan sesungguhnya yang berkelejar di kedalaman jiwa kita, alam
bawah sadar kita.
Hei, mengakulah
bahwa kamu pasti telah tahu, bahwa alam bawah sadar itu diisi oleh
rekaman-rekaman alam sadar yang terulang-ulang. Semakin sering kamu mengingat
seseorang, misal, maka ia akan terekam dengan sendirinya di alam bawah sadarmu,
yang seringkali kemudian secara spontan menyembul ke permukaan, baik dalam
wujud mimpi atau ucapan/tindakan nyata.
Orang yang biasa
berkata “Iiisshhh…!” seperti Stefany,
atau gemar terbahak seperti Aysila, niscaya alam bawah sadarnya juga akan
merekam hal-hal demikian. Sehingga, tak perlulah heran, bila kadangkala kita
tak menginginkan mengucap atau melakukan sesuatu, tiba-tiba saja ia menyembul ke
alam sadar kita tanpa sanggup kita kendalikan.
Maka, jangan
bilang bahwa tekanan suara “amiinnn”
yang begitu menonjol kala doa untuk minta diberi rezeki yang melimpah didengungkan,
itu hanya kebetulan belaka lebih gelegar “amiiinn”-nya
dibanding doa yang sedang minta diberi hati yang tenang.
Manusia,
manusia, tentu saja, sebagai makhluk fisik, materi adalah hal penting.
Sudahlah, jangan berlagak sok hero
dengan mengatakan bahwa “materi bukanlah hal penting dalam hidupku”. Toh, kamu selalu perlu uang untuk beli ice coffee latte, salad, kucing, bahkan
vitamin kucing, atau pun air mineral. Di pasar, terminal, dan stasiun, kamu
harus punya uang untuk memberikan air kencingmu ke selokan-selokannya.
Maka menjadi
matre jelas kewajaran belaka. Asas al-makhluqiyyah,
khas makhluk yang hidup. Ya manusiawi.
Tapi, hemm,
seberapa kamu membutuhkan materi? Seberapa kamu perlu menjadi matre?
Tak akan
pernah ada batasnya sampai mulutmu disumpal oleh tanah bila kamu tidak
menyelipkan kesadaran bahwa sejatinya
kamu tak pernah memiliki apa-apa dan sesungguhnya kamu tak butuh banyak dalam
hidup ini.
Suatu hari,
ada seorang penulis novel hebat yang karyanya best-seller. Sontak, ia yang kere jadi kaya raya. Sontak, materi
mengalir bak banjir bandang. Ke mana-mana, ia enggan lagi naik kereta. Harus flight with first class. Hotel harus
bintang 4 minimal. Selimut? Wah ini, jelas harus tebal, hangat, dan sesekali
yang bisa kentut pula.
Ia yang tidak
memiliki apa-apa pada mulanya menjadi memiliki apa-apa yang telah melampaui kebutuhannya
kini.
Lantas, mudah
diterka kan kisah ini, dia pun menjadi orang yang congkak. Kalau ketemu orang,
selalu hanya ingin didengarkan. Ia menjadi terlalu banyak bicara daripada
mendengar sehingga hatinya menjadi kian bebal. Kalau makan, selalu ingin
didahulukan. Kalau janjian, selalu datang belakangan. Kalau kawannya lagi
bercerita, bahkan tentang ibu kawannya yang sakit keras di kampung sana, sesuka
hati ia memainkan handphone-nya sehingga
sering tak paham cerita kawannya. Dan, kalau dia mau pergi, maka ia akan pergi begitu
saja saja tanpa peduli siapa pun.
Well, suatu hari ia kecelakaan. Tangan
kanannya diamputasi. Petakanya ditambah lagi, ia menjadi cadel akibat gegar
otak.
Kamu pasti
bisa menerka lagi kini, seketika ia kehilangan segalanya. Uangnya kempes untuk
biaya berobat. Orang-orang yang semula menghormatinya bak nabi yang sedang
menuturkan kandungan kitab suci meninggalkannya. Kawan-kawan dekatnya yang
selalu ia kecewakan pun mulai enggan menemaninya.
Ia hidup
sendiri; tak bisa nulis lagi, tak bisa berorasi lagi, tentu tak ada income lagi.
Di suatu malam
yang gerimis, dengan berderai air mata, dalam kesendiriannya, ia meratap di
atas sajadah dan memohon agar Tuhan berkenan mengembalikan lisan fasih dan
tangan kanannya, sekalipun ia harus kehilangan sisa hartanya dan menjadi
seperti dulu lagi kala masih menunduk-nunduk dan murah senyum pada beberapa
orang yang dihormatinya untuk mengais ilmu belajar menulis novel.
Hemm, ternyata
ya, sangat mudah bagi Semesta untuk melambungkan kita atau menjungkalkannya.
Semesta tidak pernah kejam pada kita, melainkan selalu mendukung kita. Semesta selalu
menyertai kita, berdiri di samping kita, mengelus kepala kita, untuk selalu
mengerti bahwa dalam hidup yang fana ini kita sungguh tak pernah benar-benar
memiliki apa pun dan sungguh kita hanya membutuhkan sedikit dari anugerahnya.
Dan, adakah
orang yang mengerti ini yang masih sanggup untuk lancang pada Semesta dengan kecongkakan
dan keserakahan?
Tidak ada. Tepatnya,
seharusnya tidak ada. Ya, seharusnya. Sayangnya, di tangan kita yang penuh daki
“merasa kurang”, hidup ini menjadi tak selalu bisa berjalan dengan seharusnya.
Jogja, 19 November 2014
Tag :
Utak Atik Manusia
2 Komentar untuk "MERASA KURANG"
Hehehe...
Kalau di kampung saya, biasanya suara-suara amin itu akan lebih keras, penuh penekanan, dengan nada-nada yang makin bervariasi, pun intonasi-intonasi yang mengusik hati, manakala do'a yang dilantunkan tak kunjung usai.
:-)
Dalam kehidupan saya ada beberapa contoh teman yang seperti itu, datang belakangan kalau bicara seperti motivator tapi kalau yg lain bicara dia sibuk sendiri... Dan benar! Ia pernah kena musibah tersambar petir ketika memainkan HP. Memang tidak ada yang patut di besarkan dari seorang manusia dihadapan Tuhan