Personal Blog

PLIS, DON’T GO…

Terdiam
Hanya bisa diam
Dingin menyerang
Ke sekujur tubuhku…

Masih jelas terlihat
Pesona ayumu
Masih jelas terasa
Ketegaran jiwamu…

BBM kakakku yang rada alay itu menghentak jiwaku. “Semalam abah diopname, katanya lemes, capek, lelah, nggak punya tenaga sama sekali…”
Oh nooooooooooooo…
Plis, God, jangan buat aku kehilangan satu-satunya orang tuaku itu secepat ini. God, plis dengerin aku…kali ini saja!
Ku-SMS istriku, “Abah sakit, ntar aku pulang ke Madura…” Juga adikku, “Abah sakit, kamu hubungi mbak Is biar jelas…”
Mungkin aku berlebihan. Semua orang juga pernah mengalami sakit. Sebagian besar, harus diopname di rumah sakit. Tapi yang di kepalaku nggak berlebihan adalah bahwa orang sakit akan selalu berujung pada dua kondisi: sehat atau mati.
Aku sungguh takkan pernah sanggup memaafkan diriku sendiri jikalau hal terburuk terjadi pada abah saat aku tak berada di sisinya.
How damn I am?!
Aku telah banyak mengalami kehilangan orang-orang paling bersejarah dan tercinta dalam bentangan hidupku ini. Dari nenek. Lalu ibu. Lalu paman dan bibi.
Saat nenek meninggal, aku tak ada di sebelahnya. Hanya kujumpai jasad bekunya yang kala kucium keningnya berasa sedingin es di ruang tengah rumah bulikku itu. Beliau telah meninggal semalam, dan aku baru datang di pagi harinya, saat orang-orang sekitar telah berkali-kali mengaji dan bertahlil untuknya.
Sejak saat itu, tak pernah lagi kudengarkan kata-kata paraunya yang khas, “Kamu sudah makan belum, Nak? Anak-anakmu sehat semua kan, Nak? Kapan balik ke Jogja, Nak?”
Shiitttt!!!
Aku sangat benci menuliskan bagian-bagian semacam ini. Aku selalu menangis di atas keybord-ku.
Lalu belum genap dua tahun kemudian, aku kehilangan jimat teragung dalam hidupku, ibu. Dan aku tak pernah bisa menyentuh jasadnya, membelai rambut ikalnya, bahkan kuburnya pun tak begitu jelas kukenali saat kucari ke Ma’la di Mekkah. Hanya hamparan pasir yang rata, berdebu, di antara angina kencang nan kering khas tanah Mekkah, dengan sebaran batu-baru sebesar genggaman yang tak menunjukkan ciri apa pun satu sama lainnya. Bahkan saat kufoto sebuah batu yang kata pemanduku adalah nisan ibu, aku tak menemukan tanda-tanda ibuku di situ.
Memang betul kata orang bijak, bahwa mau dikubur dimanapun, bahkan di dasar samudera sekalipun, ruh ibu akan tetap bertapa kuat di sel otakku dan setangkup hatiku. Ibu memang terus menyalakan lilin di hatiku, hingga kini, hingga mautku pun tiba. Tapi, bagaimana pun, kegagalanku untuk menyentuh jasadnya selalu menjadikanku puruk. Ya, aku adalah manusia yang sama dengan kalian semua, yang membutuhkan simbol yang terang untuk menunjuk sesuatu, yang dengannya aku merasa lebih nyaman.
Tak ada lagi ibu yang hanya menyediakan senyum untukku, bukan serapah. Punah sudah kata-kata khas ibu yang selembut lilin di hatiku.
“Jaga kesehatanmu, Cong, ntar sakit, jangan terlalu diforsir ya…” atau “Kamu kok ngasih uang terus sih, makasih ya Cong…”
Cong, begitulah ibu memanggilku selalu. Bagaimana mungkin seorang ibu berterimakasih padaku yang tak mampu menebus apa pun atas segala kasihnya hanya lantaran aku membelikannya ini itu yang amat gelintir.
Aku tahu, sikap ibu tersebut mengajarkanku untuk memuliakan orang lain, sekecil apa pun, setaksebanding apa pun, untuk apa pun, yang dengannya seseorang akan merasa terangkat mulia.
Lalu, belum setahun kemudian aku kehilangan paman dan bibiku. Semuanya silih berganti meninggalkanku. Lenyap dari sejarah bumi, hanya hidup dalam petik biola ingatanku yang sangat dalam temaram di ufuk jiwa.
Dan, kini, abah sakit. Beberapa hari sebelumnya, kudengar dari kakakku abah sakit, tapi cuma rawat jalan, dan telah sehat kembali. Tapi, sejak semalam, ia jatuh sakit lagi, dan kini harus dirawat inap di rumah sakit.
Dari foto BBM yang dikirim kakakku, kusimak dengan seksama betapa abah telah sungguh-sungguh sangat sepuh. Sepuh sekali. Tak kutemukan lagi otot gagahnya yang amat kusuka saat kumasih kecil dulu. Tak ada lagi langkah tegapnya, sigapnya. Punah sudah wajah tegasnya. Semua simbol keperkasaan telah pergi meninggalkannya.
Aku berdoa dalam-dalam, semoga abah diberi panjang umur oleh-Nya. Agar aku dan anak-anakku masih bisa tertawa bersama dengannya, memeluknya, mendengarkan kata-katanya yang sering gemetar, juga tatapan matanya yang mencurahkan jutaan bahasa yang tak mampu diwakili kata-kata manapun.
Aku sungguh tak ingin menyesali hal terburuk umpama itu sudah menjadi takdir-Nya. Aku ingin berada di sisinya, sesegera mungkin, menyentuh lengannya, mengusap keringat di dahinya, mencium keningnya, mengelus rambutnya yang penuh uban.
Aku masih sangat ingin mendengar kata-katanya yang bergetar. Juga tatapan matanya yang setia menceritakan berjuta cinta dan kasihnya padaku, yang tak pernah sanggup diwakili kalimat apa pun, bahasa apa pun.
Abah, plis don’t go... Berilah kesembuhan pada abahku, ya Allahhhhhhhhhhh…
Jogja, 8 Mei 2012
3 Komentar untuk "PLIS, DON’T GO…"

Semoga Allah segera menyembuhkannya. Wa bismillahissyaafi, semoga Allah membuatnya pulih kembali...

Eppak, Emmak...hatiku jatuh berjumpalitan,,terkapar tak berdaya,,dan satu senyummu, membuat aku segar kembali...Hari ini aku belum apa-apa, menyebut kaih sayang darimu saja, membuat aku demikian sangat parau,,engkau selalu datang dalam sepi... hatiku, mengelus indah nada yang tak pernah punah...YA Allaaaahhh.....pada bapak-bapak kami, sehatkan jasatnya,,segarkan kembali jasmaninya, sungguh kami masih belum puas mendekap dengan cerita yang membuat jiwanya merekah, kami masih bagian dari hatinya yang merepotkannya....** Panganpunten Pak Edi, pamit nangis, sebab bapak selalu menjadi puisi dalam hati, yang sudah lepas dari kata-kata***

Semoga...Allah memberikan yang terbaik. Amin

Salman

Back To Top