Personal Blog

JANGAN RAMPAS SURGA SI KECIL

Kuingat saat ayah pergi dan kami mulai kelaparan
Hal yang biasa buat aku hidup di jalanan
Di saat kubelum mengerti arti sebuah perceraian
Yang hancurkan semua hal indah yang dulu pernah aku miliki…
Wajar bila saat ini kuiri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah…
(Last Child)

Sejujurnya, saat menuliskan note ini, saya tak begitu ngeh untuk membahas perceraian sebagai buah kesalahan seorang bapak atau ibu, suami atau istri. Salah dan benar sungguh menjadi tak penting di sini. Boleh saja perceraian terjadi karena kesalahan salah satu pihak, tetapi juga amat besar peluangnya ia terjadi akibat kesalahan kedua belah pihak, atau bisa pula ia meletus bukan karena kesalahan siapa-siapa.
Siapa gerangan orang yang bercita-cita untuk berpisah, bercerai, kehilangan waktu-waktu terindah dalam bentangan hidupnya yang tak panjang?
Saya kira tak ada.
Ada begitu banyak sahabat yang mengelami kegagalan pernikahan, dan lubuk hati terdalam mereka menguntaikan airmata betapa itu semua terjadi sungguh bukan sebagai cita-cita impian mereka.
So what-lah, kini masalahnya adalah anak. Selalu saja ada mata-mata kecil yang harus berlinang airmata, jeritan kecilnya kehilangan orang yang biasanya selalu ada dalam hidupnya, yang bisa saja kemudian harus digantikan oleh orang lain, yang pastilah sentuhannya takkan pernah sama, tatapan matanya jauh berbeda, suaranya begitu amat sangat tak sama, hingga cintanya.
Sebagian anak yang malang itu harus berdiri tegar di atas kaki kecilnya, di antara deru debu jalanan, panas aspal, bau knalpot mobil, terik matahari, juga gigil hujan. Perut lapar. Mainan yang tak kunjung mampu dijangkau tangan kecilnya.
Ia hanya kuasa mencorongkan mata kecilnya saat menyaksikan anak-anak kecil sebayanya begitu ayik dengan cekaka-cekikik mainannya, sekolahnya, dan orangtuanya. Ia hanya bisa diam getir dengan hati yang sarat keinginan tapi tak terjangkau oleh tangan mungilnya.
Lidahnya ditelan dalam-dalam. Matanya berkedip begitu lambat. Suaranya tercekat, tak mampu mewakili gelora hatinya.
Ahhhhhhhhhh….
Anak-anak selalu menjadi lebih tua dari usianya sendiri, terampas dunia surganya untuk bermain, ketawa-ketiwi, dan sekolahnya.
Anak-anak kecil yang kakinya begitu tak kokoh, tangannya begitu tak perkasa, dadanya begitu tak teguh menangkap serangan badai, sontak harus terjerembab ke dalam pepatnya kehilangan, kerasnya suapan makanan, dinginnya malam, hingga arti sebuah sentuhan penuh lembut dan kasih.
Mereka tak pernah mampu memperoleh jawaban mengapa mereka harus menempuh hidup yang tidak seindah kala orangtuanya masih hidup bersama di sebuah rumah mungil sesederhana apa pun. Mereka juga tak kunjung mengerti untuk apa mereka harus kepalaran, kehausan, kepanasan, dan kedinginan. Mereka pun tak sua memahami bagaimana caranya agar mereka bisa memperoleh ciuman hangat seorang ibu, belaian perkasa seorang ayah, dan cerita-cerita indah dunia surga yang entah kemana.
Perpisahan, atas nama apa pun, selalu saja menghadirkan punahnya pijar matahari dari mata-matanya yang masih kecil.
Perpisahan, tanpa perlu mencari siapa kambing hitamnya, selalu saja meminta tumbal berupa dunia surga si anak kecil yang malang.
Hidup memang tak pernah mengenal batas kanak dan dewasa. Hidup selalu melindas siapa pun yang bernapas di dalamnya. Juga si anak kecil malang yang tak tahu apa-apa rahasia di balik perpisahan orangtuanya.
Yang ia tahu hanya satu hal dari hidup ini: punya mainan, dimanja, dan dilindungi.
Plis, Bro/Sist, timbang ulang ya. Jangan rampas surga si kecil ya…
Jogja, 15 Mei 2012
1 Komentar untuk "JANGAN RAMPAS SURGA SI KECIL"

Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang orangtuanya bercerai. Tetapi saya juga tidak perlu berharap agar orangtua bercerai untuk merasakan hal itu.

Salman

Back To Top