Personal Blog

TUA SELALU DATANG, BELUM TENTU DEWASA


Tanpa perlu belajar, tua pasti datang berkunjung dan menetap di rumah kehidupan kita. Uban. Kerutan si wajah, kemudian berlanjut ke sekujur kulit tubuh. Rasa lelah yang lebih rajin menyelimuti. Daya ingat dan hapal yang mengendur. Penglihatan merabun. Gigi nggak kuat mengunyah daging-dagingan. Kian nggak tahan cuaca ekstrem. Mudah terserang penyakit. Lalu ringkih. Jalan tersendat-sendat. Lalu sakit. Keras. Kemudian, koit!
Siklus alam: siapakah yang mampu membendungnya? Si kaya, si pangkat, si alim, si ilmuwan, si pakar, semuanya terhempas tanpa kuasa olehnya.
Berapa lapisan tanah peradaban yang telah menghempas orang-orang tercinta sebelum kita?
Ayah? Dia berada di lapisan pertama, paling atas. Lalu kakek? Dia berada di lapisan kedua, di bawah ayah. Lalu buyut? Lalu…lalu…lalu…
Kita mengenal sosok orang-orang top jauh sebelum kita, mulai Einstein, Hitler, Abraham Lincoln, Michel Foucault, Nietzsche, Immanuel Kant, hingga Hobbes, Thomas Aquinas, terus ke atas sampai ke generasi Aristoteles, Plato, dan Socrates.
Berapa lapis tanahkah yang telah menghimpit mereka dalam hempasan alam yang tak terbendung itu?
Puluhan, ratusan, ribuan.
Kini, ada kita yang kian menua, ringkih, sejenak kemudian bakal dihempaskan ke balik lapisan tanah itu. Kita saksikan adik-adik kita yang tumbuh remaja, anak-anak dan ponakan-ponakan dan anak-anak sahabat kita yang tumbuh gagah perkasa. Kita telah saksikan ayah dan ibu kita terhempas lebih dahulu di lapisan tanah paling atas. Sebelum kemudian, kitalah yang akan menindih mereka, menghuni lapisan paling atas itu, untuk kemudian, beberapa tahun lagi, anak-anak kitalah yang akan menindih kita, lalu cucu-cucu kita, lalu cicit-cicit kita, dan seterusnya, hingga kita ini, ya tubuh tercinta kita ini, telah berada di lapisan-lapisan entah keberapa.
Tua, lalu mati, selalu setia dating menyapaku, kamu, dan dia tanpa perlu kita undang atau pelajari bagaimana dia kan datang.
Apakah seiring datangnya tua kita, lantas kita menjadi dewasa pula?
Tidak, sama sekali tidak.
Jika tua hadir dengan  sendirinya tanpa perlu kita pelajari, dewasa sama sekali tidak bergerak lurus begitu. Bahkan, dengan belajar pun, belum tentu kita bisa tumbuh menjadi dewasa.
Lihatlah, betapa tidak kurangan sama sekali untuk menemukan orang-orang tua yang pikiran dan kelakuannya sama sekali tak sekufu dengan ketuaannya?
Berapa banyak orang tua yang egois memaksakan anaknya harus kuliah ini, kerja ini, dan menikah dengan itu? Bahkan, dengan bumbu-bumbu demi kehormatan martabat keluarga, para leluhur, plus kewajiban patuh anak pada orang tua?
Berapa banyak orang ubanan yang kian gemar mengambil uang yang sama sekali bukan haknya, yang jelas-jelas telah diketahuinya dengan baik, yang bahkan diketahuinya pula jika ia terus mencuri uang negara itu, jutaan orang muda dan anak-anak tak berdosa di luar sana akan menderita karenanya?
Berapa banyak orang yang berkeriput dan beruban yang kian gemar menggunakan dalil-dalil agama untuk memuaskan hasrat serakahnya, kesombongannya, dan kekuasaannya?
Ahhh…
Apakah kita menjadi bagian dari kelompok-kelompok tua yang tak dewasa itu?
Mari kita ingat-ingat sejenak, bernapak-tilas, ke bebarap tahun lalu sejak kita masih remaja, sekolah, lalu kuliah, lalu bekerja, lalu berkeluarga dan seterusnya.
Apakah aku masih seperti dulu yang temperamental?
Apakah aku masih saja seperti dulu yang gampang mengumpati dan memaki orang, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan ala binatang, jika aku merasa dirugikan atau disinggung oleh orang lain?
Apakah aku masih saja kayak dulu yang membiarkan kemalasanku beranak-pinak begitu saja di sarang otakku dan menganggap hidupku akan masih sangat lama sekali sehingga nanti-nanti sajalah segala hal itu kukerjakan?
Apakah aku masih saja kayak dulu-dulu yang berwatak oportunis,  nyari untung sendiri, kesenangan sendiri, meski untuk itu semua kudu merugikan dan membuat nangis orang lain yang tak berdaya?
Apakah aku masih saja kayak zaman dulu yang begitu doyan membolak-balikkan lidah demi melindungi diriku sendiri, meski nuraniku selalu setia memekik bahwa sikapku itu adalah kemunafikan yang sangat buruk dampaknya, dinista oleh semua agama, dan dibenci Tuhan sedemikian jelaganya?
Apakah aku masih saja kayak dulu yang begitu heroik menggebu-gebu doyan menempatkan diriku di kursi emas kecerdasan, kekayaan ilmu, keluasan pergaulan, dan ketajaman analisa, dengan merasa begitu bangga bila menyaksikan orang-orang lain terkalahkan oleh kegeniusanku?
Ahhh…
Orang kita bilang, “Padi semakin berisi semakin runduk.” Ya, ya, sungguh kualitas kedewasaan akan selalu sebanding dengan kualitas jiwa kita untuk selalu memperlakukan siapa pun, dalam keadaan apa pun, sebagai manusia yang persis diri kita, dengan penuh ketundukan, kerundukan, kesantunan.
Sederhana sekali sejatinya, tetapi mengapa kita begitu lebih sering tidak mampu mengejawantahkannya?
Semakin tinggi pendidikanmu, semakin julang pangkatmu, semakin langit penghasilanmu, semakin mengangkasa pergaulanmu, dan bahkan semakin senja usiamu, jika tidak berjalan beriringan dengan kian tunduknya jiwamu, menandakan bahwa kamu hanya semakin tua, tidak semakin dewasa.
Menundukkan diri sungguh bukanlah pekerjaan berat, tetapi kita sulit sekali melakukannya karena kepala kita dibiarkan terus tertarik ke belakang oleh batu-batu keangkuhan, yang sebenarnya sama sekali tak bermakna sedikit pun buat kemuliaan dan kebahagiaan hidup kita.
Jogja, 4 Mei 2012
1 Komentar untuk "TUA SELALU DATANG, BELUM TENTU DEWASA"

Maka beruntunglah orang tua yang dewasa,dan mampu meremajakan tenaganya untuk melakukan kebaikan-kebaikan dengan penuh semangat.
Koment saya. Rusydie

Back To Top