Personal Blog

MENJADI “ADA” ATAU “TIDAK ADA”


Saat kuberpikir bahwa engkau selalu ada untukku, maka aku pun merasakan kehadiranmu selalu, termasuk dalam ketakadamu. Sebaliknya, saat kuberpikir bahwa engkau tak pernah ada untukku, maka aku pun selalu merasa engkau tak pernah ada untukku, termasuk saat engkau sedang bersamaku.
Ada dan tidak ada ternyata hanya tentang “cara berpikir”, bukan tentang keberadaan wujudnya itu sendiri. Adanya wujud apa pun di depan mata kita takkan pernah mampu menyatakan kewujudannya bila kita tak memikirkannya ada, tak mengindahkan keberadaannya. Orang Arab bilang, “Wujuduhu ka ‘adamihi” (adanya seperti ketakadanya). Rene Descartes, empu modernisme, menyatakan, “Cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, “Je pense donc je suis”.
Segala apa yang ada wujudnya tapi tak diindahkan keberadaannya, sehingga menyebabkannya tak ada nilainya, selalu menisbatkah ketakbermaknaannya. Dan ketakbermaknaan selalu sejalur dengan ketiadaan.
Apa gunanya anda duduk di antara teman-teman lainnya jika ternyata anda sama sekali tak terlibat dalam aktivitas mereka?
Anda ada tapi tak ada maknanya, ada yang berwujud tapi tak ada wujudnya.
Selalu menyakitkan menjadi seseorang yang wujudnya ada tapi maknanya ditiadakan. Selalu menyebabkan keterasingan (alienasi) bila keberadaan diri kita di antara orang lain tak mampu menyatakan keberadaan wujud kita di mata mereka.
Apakah ketakberadaan makna kita di dalam keberadaan wujud kita itu merupakan kesalahan mereka? Sehingga patut ditimpakan rasa kesal dan marah kita pada cara mereka yang tidak mengadakan keberadaan makna wujud kita?
Terbalik.
Selalu saja di dunia ini, dalam bidang apa pun, keberadaan makna seseorang bukanlah ditentukan oleh kehadiran wujudnya. Jauh lebih utama ia ditentukan oleh kehadiran “makna” wujudnya. Bukan wujudnya itu sendiri.
Karena ini tentang wilayah makna, maka kemampuan kita memberikan makna pada wujud kita sendiri menjadi tonggak penentunya. Dan makna selalu bertalian dengan nilai: seberapa mampu anda memberikan nilai tinggi pada diri anda?
Semakin tinggi nilai anda, maka semakin kuat makna anda, maka semakin kokoh pulalah keberadaan wujud anda. Ini berlaku sebaliknya sekaligus.
Pertanyaannya kini adalah bagaimana cara menjadikan diri kita memiliki nilai tinggi, yang dengannya menjadi bermakna, yang dengannya menjadi ada wujudnya?
Banyak orang bernilai dalam keragaman kekuatannya. Bisa karena pintar, kaya, berpangkat, luas pergaulannya, keturunan orang terhormat, hingga alim agamanya. Banyak jenisnya.
Tapi ingat, betapa juga tak kalah banyaknya orang yang pintar, tapi tersungkur dalam kepintarannya lantaran gagal menjadikan kepintarannya memberikan manfaat positif bagi orang lain. Sepintar apa pun anda, tapi jika anda seorang pembual munafik, maka selesailah nilai anda, makna anda, kebaradaan wujud anda, tanpa perlu menunggu kepintaran anda minggat dari diri anda.
Ingat pula betapa tak sedikit orang kaya, bahkan kaya sekali, yang tak bernilai apa pun di antara limpahan hartanya lantaran ia gagal membuktikan hartanya berasal dari sumber-sumber kebaikan dan memanfaatkannya untuk kebaikan pula. Sekaya apa pun anda, tapi jika ternyata anda seorang rentenir atau koruptor, maka kekayaan anda takkan pernah menjadikan anda bernilai, bermakna, dan mewujudkan kebaradaan anda, tanpa perlu menanti lenyapnya limpahan harta anda.
Jangan lupakan pula betapa tak langka mencari orang berpangkat yang tak memiliki nilai apa pun lagi lantaran gagal menjalankan amanah pangkatnya untuk kebaikan. Setinggi apa pun pangkat anda, sungguh itu tak ada gunanya bila ternyata anda doyan gratifikasi, menyalahgunakan wewenang, sehingga anda menjadi tak lagi bernilai, bermakna, dan berwujud kebaradaannya tanpa perlu menunggu pangkat anda dicabut.
Dan seterusnya, seterusnya.
So?
Ternyata, perhatikanlah, Bro/Sist, ternyata ukuran utama yang menjadikan kita bernilai, karenanya bermakna, dan karenanya wujud kita sebagai manusia menjadi ada, yang itu merupakan cita-cita ideal semua kita, sama sekali tidak tergantung pada lekatan-lekatan material apa pun pada diri kita. Banyaknya lekatan kaya, pintar, berpangkat, keturunan orang baik, dll., sama sekali tak mampu menghadirkan nilai, makna, dan wujud apa pun pada diri kita jikalau kita tidak menjadi baik dengannya.
Ya, menjadi baik, inilah ternyata ukuran sejatinya.
Kaya, tapi tidak baik, nonsense! Pintar, tapi tidak baik, juga nothing! Pangkat tinggi tapi tidak baik, juga bullshit! Apa pun lekatan itu, anda harus menjadi baik karenanya. Jika anda tidak bisa baik karenanya, maka anda bukanlah siapa-siapa. Bahkan anda bakal menjadi lebih loser dibanding mereka yang tidak baik dalam keadaan tidak memiliki lekatan apa-apa.
Think, berpikirlah, inilah cara kita sebagai manusia untuk menemukan “hati”, kebaikan, karena hanya itulah ukuran sejati eksistensi kita. Bukan yang lain-lainnya…
Jogja, 9 Mei 2012
1 Komentar untuk "MENJADI “ADA” ATAU “TIDAK ADA”"

Yaa....manusia tidak bisa menjadi suci. Tapi yang harus dilakukan oleh manusia adalah sebanyak mungkin menabung kesucian, agar makna kemanusiaannya di "sah" kan oleh kehidupan.

Salman

Back To Top