Personal Blog

TOILETMU ADALAH WAJAHMU

Gimana rasanya saat Anda memasuki sebuah toilet dan menemukan “jejak-jejak kehidupan” yang tak bersahabat? Pesing, tengik, bacin, plus genangan air campur kencing yang menguning, tambahin bonus bercak-bercak tahi..?
Hueekkk!
Menjijikkan, banget, pol, luar biasa!
Tapi begitulah kenyataan yang acap kita jumpai di toilet-toilet umum. Dari yang ada petugas toiletnya sampai yang tidak ada penunggunya. Untuk yang kategori kedua ini, dijamin Anda akan sampai bersendawa sedemikian hebatnya saking asyiknya dicecar aroma dan panorama yang menyesakkan jiwa itu. Halahhh…
Begitu luasnya dan acapnya kejadian serupa itu menimpa semua kita, yang sungguh tak pernah ada seorang pun dari kita yang bermimpi untuk mengalaminya, mencerminkan betapa buruknya (untuk tidak dikatakan barbar) adab bertoilet kita. Ya, adab atau etika bertoilet.
Ironisnya, fenomena ini bukan hanya terjadi di pasar-pasar tradisional, terminal sesak, tetapi juga melanda beberapa perkantoran, gedung mewah, hingga perusahaan-perusahaan bonafit lainnya. Ini pertanda bahwa keburukan kita dalam bertoilet menimpa bukan hanya kelas sosial-pendidikan-ekonomi tertentu, tetapi semua kalangan, dari kelas bawah hingga atas, dari kelas but abaca sampai juara berkilah.
Bahkan, ahhh miris benar aku menuliskan bagian ini, dalam sebuah pemberitaan di Kompas, ada sebuah gedung elit pemerintahan di Jakarta yang bertugas mengurus korupsi dienggani toiletnya oleh jurnalis-jurnalis luar negeri lantaran tidak bersihnya.
Wowww…miris!
Mengapa, mengapa, oh, mengapa kita begitu buruknya dalam bertoilet?
Setidaknya, ini mencerminkan anomali tiga hal pada diri setiap kita:
Pertama, terjungkirbaliknya mindset kita dalam memahami toilet sebagai bagian utuh dari eksistensi kita sebagai manusia. Mindset kita cenderung memahami toilet bukan sebagai bagian dari wujud eksistensi kita. Ia diposisikan sebagai “dirinya sendiri” yang terasing di belakang, tempat sampah, karenanya tak perlu diperhatikan. Toilet oleh kepala kita dianggap tidak penting dibanding pentingnya kita memperhatikan ruang tamu, ruang meeting, ruang keluarga, kamar tidur, dan dapur. Akibatnya, betapa sering kita begitu detail memperhatikan setiap sisi ruangan-ruangan di rumah dan kantor kita, agar tampil bersih, indah, dan wangi, tetapi kita cuek bebek pada ruangan belakang bernama toilet.
Pernahkah Anda berpikir bahwa mindset seperti ini banyak berdampak negatif pada tingkah-laku keseharian kita sendiri? Lihatlah, betapa kita begitu peduli dengan tampilan wajah, baju, dasi, sepatu, dan seperangkat “interior” yang berada di bagian depan diri kita yang mudah dilihat langsung oleh orang lain, dengan tujuan agar kita dinilai sebagai bersih, indah, dan wangi. Tetapi seberapa kita peduli dengan “bagian lain” dalam diri kita yang tak tampak mata langsung, seperti kejujuran, kepercayaan diri, integritas, kesantunan, hingga keimanan? Seberapa banyak di antara kita yang begitu detail dengan “bagian tersembunyi” itu dibanding kepedulian kita untuk mematut wajah di muka cermin?
Tipikal kita yang begini ini jangan pernah harap akan mengantarkan diri kita untuk memperhatikan toilet, yang kita anggap “bagian tersembunyi”, toh untuk memperhatikan masalah ruhani dan jiwa kita saja begitu abainya.
Kedua, kita cenderung meletakkan toilet sebagai “kesejenakan” belaka dalam hidup kita di antara jubelan aktivitas lainnya. Mungkin hanya 10-15 menit. Lalu kita tinggalkan toilet. Rasa kesejenakan ini menyebabkan diri kita mengganggapnya tak penting untuk kita perhatikan.
Pernahkah Anda berpikir bahwa pengabaian pada sesuatu yang sejenak ini berdampak serius pada kepedulian kita untuk merenung, berkontemplasi, berefleksi tentang kehidupan ini? Pernahkah Anda menyadari bahwa dengan sejenak memperhatikan orang-orang yang ngamen di jalanan, anak-anak yang kepanasan kehujanan di tepian jalan, orang-orang cacat yang terpaksa mengemis, dll., mampu menghadirkan rasa empati di hati Anda, meletupkan rasa syukur dalam jiwa Anda atas semua anugerah Tuhan yang begitu berlimpah?
Ahh, itu bermula dari kepedulian kepada kesejenakan toilet.
Ketiga, konsep bersuci kita yang melekatkan keharusan “dalam keadaan suci” dalam beribadah. Pembatasan pemahaman “suci dalam beribadah” menghasilkan konsep bahwa di luar ibadah tidak harus suci. Jika kata suci kita isi dengan makna bersih, indah, dan wangi, maka jelas kita akan berusaha menjaga bersih, indah, dan wangi hanya pada saat beribadah. Di luar itu, masa bodohlah mau bau tengik, bacin, kecipratan kencing, lumpur, noda, dan sebagainya. Tak ayal, pemikiran seperti ini mendorong kita untuk bersih, indah, dan wangi di dalam tempat ibadah saja, bukan di keseluruhan ruang kehidupan keseharian kita. Dan toilet yang bukan sebagai bagian dari tempat beribadah, kita lupakan begitu saja dengan mudahnya.
Andai kita merevolusi konsep bersuci kita, yang faktanya bab bersuci (taharah) selalu dijadikan bab pertama dalam semua kitab fiqh yang mencerminkan betapa aslinya sangat luar biasa pentingnya menjaga kebersihan itu, bukan hanya “saat beribadah” belaka, niscaya kita akan bisa detail memperhatikan kebersihan, keindahan, dan kewangian kita di seluruh ruang dan waktu. Andai…
Tiga anomali ini benar-benar menjadi masalah serius kita semua. Kesadaran bahwa sebenarnya “toiletku adalah wajahku” sangat penting untuk kita tanamkan sekarang juga, karena sungguh keadaban atau kebarbaran kita dalam bertoilet mencerminkan seberapa baik atau buruk personality kita.
Orang yang peduli dengan kebersihan toilet pastilah orang yang peduli dengan orang lain, tidak ingin membuat tidak nyaman dan tersiksa orang lain, dari hal kecil berupa aroma tidak enak yang diakibatkan oleh kencing dan kotorannya.
Orang yang peduli dengan kebersihan toilet niscaya orang yang selalu menghargai orang lain, berhati-hati agar tidak merugikan orang lain, sebagaimana dirinya ingin dihargai dan tidak dirugikan oleh orang lain.
Ini berlaku terbalik tentunya, bahwa siapa pun yang bertoilet sembarangan, kencing tidak disiram dengan baik, buang air dengan tidak ditiras sebersih-bersihnya, pastilah dia adalah orang yang masa bodoh dengan hak-hak orang lain dan berpegang pada prinsip “pokoknya aku enak, beres, tuntas, nyaman…”
Bukankah ini cermin personality yang menjadi penentu utama baik/buruknya kita dalam hidup ini?
Toiletmu adalah wajahmu, toiletmu adalah kepribadianmu, mari kita mulai dari hal-hal kecil untuk membenahi hidup masing-masing kita…
Jogja, 2 Mei 2012
0 Komentar untuk "TOILETMU ADALAH WAJAHMU"

Back To Top