Personal Blog

MARI, DIAM…

Kita, mayoritas, cenderung begitu takjub pada orang yang pandai berorasi, berartikulasi, alias nyonthong. Tercipta opini di kepala kita semua bahwa mereka yang juara ngoceh itu adalah orang terdidik, luas pengetahuannya, kaya bacaannya, tajam analisanya, berjubel pengalamannya. Potret manusia sempurna yang patut didengarkan, digugu, dan diteladani.
Ya, betul memang bahwa selain tingkah-laku, ucapan merupakan penanda utama kapasitas seseorang. Tidak mungkin kita bisa tahu pikiran seseorang, ilmunya, analisanya, dan kebijakannya jika yang bersangkutan tidak menyampaikannya dalam bentuk kata-kata.
Tetapi, benarkah kepiawaian berkata-kata merupakan cermin kepiawaian integritas seseorang?
Pada posisi first signal, tentu saja itu sarananya. Dari kata-kata awal seseorang, terciptalah kesan pada dirinya. Ini takkan pernah terhindarkan. Jika kita melihat seseorang yang ngoceh mulu di sebuah kafe, misalnya, tentang jagat mistik Jawa, maka sontak kita akan menancapkan kesan atau penilaian pada orang tersebut bahwa pastilah dia orang yang mengetahui banyak tentang Nyi Roro Kidul, Bukit Kemukus, misteri Gunung Merapi, dan sebagainya. Jika kita menemukan seseorang yang begitu gurihnya melancarkan rayuan-rayuan super alay pada seorang wanita yang baru dikenalnya, pastilah kita akan menilai bahwa lelaki tersebut adalah don juan, gombaler, playboy, dan sederet pangkat kebuayaan lainnya.
Selanjutnya, benarkah penilaian kita itu?
Belum tentu. Apa yang kita tancapkan sebagai “klaim label” seseorang atas dasar omongannya bukanlah garansi utama pemantul karakter, kapasitas, dan mutu orang tersebut. Sekali lagi, kata-kata hanya bisa dijadikan garansi pada posisi first signal. Selanjutnya, amat memungkinkan fakta akan menunjukkan bahwa penilaian kita sepenuhnya benar atau salah.
Ini juga berlaku bagi orang-orang yang tidak banyak bicara. Kesan awal kita pada seseorang yang banyak diam boleh jadi sama sekali melenceng dari karakter dan kapasitas hakiki orang tersebut. Orang yang terlihat hanya diam saja, sambil sesekali tersenyum, di antara keriuhan celoten kata-kata yang berserakan di sekitarnya, sungguh belum tentu adalah orang yang tidak piawai ngomong, tidak luas pengetahuannya, tidak kaya bacaannya, dan tidak bijak analisanya.
Sampai di sini, clear benar bagi kita, bahwa kesan pertama atau first signal sungguh bukanlah penggadai terakurat atas kapasitas seseorang.
Oke?
Saya begitu tergelitik dengan betapa banyaknya wisdom dari dunia Arab, meski tidak melulu berbasis Islam, yang mengarah pada pengutamaan diam disbanding bicara. Misal, qul khairan au liyasmut (bicaralah yang baik atau diamlah), as-sukunu salamun (diam itu menyelamatkan), qilla wa qalla (persedikitlah dan perdalamlah), undur ma qala wa la tandur man qala (lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan), dll.
Apa arti di balik semua ajaran kearifan yang berkecenderungan menyuruh diam dibanding ngoceh itu?
Yupz!
We know lah, konsekuensi logis dari orang yang banyak berkata akan kekurangan waktu untuk mendengarkan. Kekurangan mendengarkan menyebabkan kita kesulitan untuk mengenali kekurangan diri kita sendiri.
Nggak yakin?
Cobalah Anda ngomong tentang sesuatu, apa pun itu, dan teruslah ngomong sampai Anda merasa tenggorokan kering, ludah kerontang. Apa yang ada di kepala Anda saat seperti itu mendorong Anda untuk terus menganggap apa yang Anda pikirkan dan katakana adalah “yang terbaik”, “tanpa cela”. Saat seseorang lain mengkritisi kata-kata Anda, analisa Anda, lalu Anda bersikap untuk tidak mendengarkan, maka otak Anda tak punya cukup waktu untuk mencerna secara detail letak kelebihan ucapan orang lain itu, yang selanjutnya mendorong Anda untuk menegasi “nilai lebih” kritisi itu, sehingga Anda kian dalam terbenam dalam “kebenaran” kata-kata Anda sendiri.
Hati Anda pun tak punya cukup waktu untuk merenung, memilah mana yang lebih benar dan lebih baik. Hemm, akibatnya, obrolan pun menjadi debat kusir, gontok-gontokan. Saat itu terjadi, yang itu semua terjadi pada diri Anda yang sama persis pengetahuannya dengan diri Anda sebelum gontok-gontokan, seketika Anda kehilangan kekuatan nalar logis Anda, ketajaman analisa Anda, keluasan bacaan Anda, kelengkapan pengalaman Anda. Anda menjadi tak lebih berharga dibanding orang buta huruf yang tidak tahu apa-apa!
Yah, semua itu berpangkal hanya karena Anda tidak punya waktu untuk mendengarkan sebagai konsekuensi logis terlalu banyaknya Anda nyerocos.
Belum lagi bila kita mengingat betapa semakin banyak kita “berbuat” sesuatu, maka kita akan menjadi semakin banyak “tidak tahunya”. Trial and error akan terus terjadi dalam hidup kita. Tidak pernah ada kata “tuntas” untuk hal apa pun di muka bumi ini. Dan ini pun terjadi dalam urusan bicara ini.
Semakin banyak bicara, maka semakin banyak salahnya. Logika sebaliknya, semakin sedikit bicara, maka semakin sedikit salahnya.
Tentu, konteks di sini bukan dimaksudkan agar kita menjadi seorang pengecut yang selalu takut melakukan kesalahan dalam hidup ini. Bukan. Tetapi bahwa sungguh penting bagi kita untuk menyedikitkan kesalahan-kesalahan kita dalam hal apa pun melalui proses belajar mendengar, menyimak, memikirkan, dan merenungkan. Orang yang salah akibat tidak menyediakan diri untuk “belajar mendengar, menyimak, memikirkan, dan merenungkan” pastilah berbeda karakternya dibanding orang yang juga salam dalam semangat “belajar mendengar, menyimak, memikirkan, dan merenungkan”.
Orang tipe pertama tidaklah beda jauh dengan pepatah popular kita, “Sebodoh-bodohnya keledai takkan jatuh ke lubang yang sama.” Sedangkan orang kedua, kesalahan yang dilakukannya akan menghantarnya untuk menjadi lebih baik, baik, dan baik lagi.
Yah, sekali lagi, semua ini berpangkal dari menyedikitkan bicara.
“Bicaralah yang baik atau diamlah”, wisdom dari negeri Arab itu, merupakan wejangan buat kita semua agar kita bisa rendah hati dalam menggunakan lidah kita, mulut kita, karena sungguh pada akhirnya, Tuhan dan semua orang akan memuliakan kita bukan atas dasar seberapa banyak kata yang telah kita muncratkan, tetapi seberapa bermakna kata-kata yang kita tuturkan.
Mari, diam…
Jogja, 3 Mei 2012
1 Komentar untuk "MARI, DIAM…"

Diam itu adalah tidak berbicara apapun selama tidak memberikan faidah apa-apa

Salman

Back To Top