Personal Blog

MELERAI PERKELAHIAN OBYEKTIVITAS DAN SUBYEKTIVITAS DALAM STUDI AGAMA (Studi Pemikiran Ian G. Barbour dalam “Isu-isu dalam Sains dan Agama”)

Pendahuluan
Bermula dari sebuah contoh saja. Sebuah ayat dalam al-Qur’an, yang berbunyi, “Barangsiapa yang tidak memutuskan (hukum) berdasarkan apa yang telah diturunkan (ditentukan) oleh Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang yang fasik.”[1]
Fasik sama halnya sesat, dan itu kafir, maka tempat kembalinya kelak adalah neraka. Mengerikan sekali, bukan? Karena neraka mengerikan, wajarlah bila tak ada satu pun di antara kita yang sudi untuk menujunya.
Atas dasar pemahaman terhadap ayat sejenis itu, lantas tidak sedikit dari umat Islam yang membangun doktrin bahwa adalah wajib hukumnya untuk menegakkan Negara Islam. Mereka yang menolak doktrin ini berarti ingkar al-Qur’an. Namun, di sisi lain, juga lahir kelompok yang tegas menolak doktrin tersebut, dengan menyatakan bahwa apa yang dibangun Rasulullah di Madinah bukanlah sebuah formulasi Negara Islam Madinah. Jika Rasulullah saja tidak membentuk Negara Islam, maka atas dasar apa umat Islam harus membangun Negara Islam, apalagi di antara entitas kultural dan sosialnya yang beragam? Kalangan ini lalu memilih untuk menafsirkan ayat tersebut secara substansial, kontekstual, dengan menggali apa yang belakangan disebut oleh Fazlur Rahman sebagai “ideal-moral”,[2] Abdullah Saeed sebagai “etika-legal”,[3] dan Muhammad Syahrur sebagai “teori batas”.[4]
Hingga kini, kita mengenal ada tiga karakter utama di kalangan pemikir Islam dalam membangun relasi Islam dan politik.
Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa Islam bukan sekadar agama, melainkan sekaligus merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan  pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik. Oleh karenanya, untuk mengembalikan kejayaan Islam, umat Islam harus kembali kepada pola hidup generasi pertama Islam, yaitu semasa hidup nabi dan Khulafaur Rasyidin, dan tidak perlu menoleh dan meniru yang dari selainnya, termasuk Barat. Kelompok ini sepenuhnya menghendaki Islam berdiri sebagai sebuah tata Negara sekaligus. Negara Islam menjadi cita ideal mereka, dengan menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum kehidupan politiknya. Dari kelompok ini, ada nama Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, dan Abu A’la al-Maududi yang paling terkenal.[5]
Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa Islam tidaklah berbeda dengan agama-agama lainnya dalam artian sebagai panduan nilai dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara untuk urusan di luar itu, seperti kehidupan politik, sosial, dan ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada umat itu sendiri untuk mencari dan membangun sistem yang dianggap paling relevan dan aktual, termasuk dengan mengadopsi dari Barat sekalipun. Kalangan ini lantas disebut-sebut sebagai kaum sekuleris-liberalis. Dari kelompok ini, nama Ali Abd ar-Raziq begitu fenomenal.[6]
Ketiga, kelompok yang menolak pemikiran kelompok pertama dan sekaligus tidak setuju dengan kelompok kedua, yakni kelompok yang menyatakan bahwa Islam bukanlah agama yang lengkap mengatur segala urusan manusia secara praktis, namun juga menolak bahwa Islam adalah agama yang sama dengan agama-agama lainnya. Selain mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan, kelompok ini menyatakan bahwa Islam telah meletakkan hal-hal yang bersifat prinsip dan tata nilai moral sebagai perangkat bagi umat untuk menuju kesejahteraan hidup manusia, termasuk dalam urusan politik, sosial, dan ekonomi. Prinsip-prinsip moral itu harus dijadikan landasan umat Islam, termasuk dalam berpolitik, meski dalam pelaksanaannya umat Islam dibenarkan untuk menggunakan sistem politik apa saja yang dianggap paling sesuai dengan dinamika zamannya, termasuk yang berasal dari Barat. Dari kelompok ini, nama Muhammad Abduh paling mewakili. Juga ada nama Muhammad Husain Haikal di dalamnya.[7]
Tiga karakter mazhab politik Islam itu sepenuhnya berpangkal (salah-satunya) kepada ayat tersebut. Pertanyaannya, mengapa satu ayat memicu begitu banyak perbedaan mazhab? Apa sebenarnya yang melatari meletupnya perbedaan-perbedaan tersebut, yang dalam ranah praktisnya, sangat sering membuncah dalam ketegangan konflik?
Dalam konteks ini, sangat berharga untuk mencermati pemikiran Ian G. Barbour dalam buku Isu-isu dalam Sains dan Agama, khususnya bab 7, yang menganalisis persinggungan keras antara klaim obyektivitas dan subyektivitas dalam diri peneliti, ilmuwan, cendekiawan, dalam bidang apa pun, termasuk dalam ranah studi agama. Makalah ini juga mencoba untuk menerapkan pemikiran Barbour tersebut dalam berbagai contoh studi Islam kontemporer.

Pembahasan
Dalam bab 7 ini, analisis Barbour berpuncak pada pertanyaan lama tetapi mendasar tentang bagaimana memahami keterlibatan subyek, individu, dalam sebuah penelitian atau studi, agar hasil penelitian atau studinya di satu sisi tidak terjebak pada dominasi subyektivitas yang niscaya akan mementahkan obyektivitasnya, namun di sisi lain tidak memungkinkan untuk berdiri sepenuhnya secara obyektif lantaran subyek individu peneliti niscaya memiliki subyektivitasnya?
Barbour menyatakan:
“Partisipan para ahli…Penafsiran pengalaman memerlukan tafsiran mental dan pertimbangan personal; kontribusi subyek dan obyek tidak pernah bisa dipisahkan sepenuhnya…perspektif kultural dan nilai individu dan gambar manusia secara tidak terhindarkan mengkondisikan pemilihan dan penafsiran data dan perumusan konsep dan teori…pengalaman introspektif yang berkontribusi secara tidak langsung pada pemahaman orang lain, dan bahwa usaha untuk melihat peristiwa dari kerangka referensi agen dan pengamat sangatlah berharga. Kami mempertahankan prinsip obyektivitas yang ditafsirkan sebagai keterujian intersubyektivitas dan komitmen pada universalitas.”[8]

Selanjutnya, Barbour juga menandaskan:

“…konsep keunikan…meskipun setiap peristiwa dalam beberapa hal unik, prosedur ilmiah berusaha untuk merumuskan hukum dan teori dengan memilih pola biasa dan dapat berulang di antara banyak peristiwa.”[9]

Kutipan terakhir dari statemen Barbour ialah pungkasannya:

“…obyektivitas sebagai keterujian intersubyektivitas yang tidak mengabaikan keterlibatan personal, dan keunikan terkait dengan konfigurasi tertentu yang tidak mengabaikan pengenalan pola yang taat hukum. Baik subyek maupun obyek berkontribusi pada pengetahuan di sebuah bidang, dan semua peristiwa bisa dianggap unik atau taat hukum.”[10]

Bagi Barbour, dengan berdasar tiga kutipan utama tersebut, sejatinya mempertentangan subyektivitas dan obyektivitas dalam studi ilmu pengetahuan apa pun, tentu dalam skalanya yang khas pada masing-masing bidang, layaknya mengamini perkelahian lama antara Positivisme dan Eksistensialisme. Sikap postivitis yang ketat dengan obyektivitas sama kurang produktifnya dengan sikap eksistensialis yang menyembah keunikan personal subyektif.[11] Atas dasar itulah, Barbour lalu menawarkan “peleburan bidang” antara subyektivitas dan obyektivitas tersebut, melalui apa yang disebutnya sebagai: (1) obyektivitas dalam keterujian intersubyektivitas yang tidak mengabaikan keterlibatan personal, dan (2) keunikan terkait dengan konfigurasi tertentu yang tidak mengabaikan pengenalan pola yang taat hukum.

A. Keterujian Subyektif
Apa yang dimaksud Barbour dengan keterujian intersubyektif?
Tentu saja, tidak ada yang menampik kenyataan bahwa subyek peneliti memberikan pertimbangan personal yang sangat besar dalam memilih, mengevaluasi, dan menafsirkan data, yang pada gilirannya praduga dan nilainya tersebut mempengaruhi secara lebih kuat konstruksi teoritisnya. Inilah pemicu utama mengapa terjadi perbedaan-perbedaan pemahaman, penafsiran, dan bahkan doktrin di antara banyak ilmuwan meskipun mereka sedang mengkaji tema dan obyek yang sama. Hal ini sepenuhnya terikat kuat pada pertimbangan-pertimbangan personal peneliti, yang tentu tidak pernah bertolak dari ruang kosong. Ada faktor budaya, sosial, ekonomi, ideologi, politik, kepentingan, integritas, kapasitas, hingga sejarah dan bahkan agama yang intens terlibat di dalam diri personal tersebut.[12]
Maka, sampai di sini, mudah dipahami bahwa setiap hasil penelitian apa pun dan oleh siapa pun meniscayakan potensi berbeda yang sangat besar, yang dipengaruhi oleh keterlibatan personal tersebut.
Namun, di sisi lain, tentu harus dimafhumi dan selalu dijadikan pegangan mendasar oleh para ilmuwan bahwa kendati mereka tidak bisa bekerja tanpa keterlibatan personalnya, mereka juga harus berkomitmen tinggi pada universalitas. Apa yang dimaksud universalitas di sini?
Barbour menjelaskannya dengan statemen bahwa ilmuwan harus mampu melakukan transendensi diri yang mampu menjangkau keluar dari individualitasnya. Ilmuwan, karenanya, harus mampu sekaligus untuk mencampakkan ketertarikan pribadi yang bisa membunuh dan mengaburkan keterbukaan diri pada ide-ide baru dalam mencari kebenaran ilmu. Inilah integritas asli ilmuwan dalam meneliti dan membangun ilmu pengetahuan: ia harus mampu mengakui bukti yang ditemukannya meskipun bukti itu meragukan teori yang telah dirumuskannya sendiri, atau bahkan membunuh teorinya sendiri.[13]
Disinilah posisi obyektivitas menemukan tempatnya, sebuah kriteria empiris dan rasional sebagai tanda dari universalitas. Kriteria empiris dan rasional tersebut dengan sendirinya berperan sebagai “pengujian universalitas” dari seorang peneliti beserta segudang subyektivitasnya.[14]
Barbour mengistilahkan kondisi ini sebagai “keterujian intersubyektif”.
Jika ada seorang peneliti atau ilmuwan yang mengkonsepsikan atau menteorisasikan hasil penelitiannya sebagai sebuah ilmu pengetahuan dengan cara sepenuhnya membiarkan unsur-unsur subyektif-individualnya menguasai kesimpulan penelitiannya, maka itu belumlah memadai untuk disebut sebagai pengetahuan yang telah mengalami “keterujian intersubyektif”. Sebaliknya, jika ada ilmuwan atau peneliti yang membunuh dengan sepenuhnya keterlibatan personalnya demi mengejar komitmen pada universalitas itu, maka temuan pengetahuan penelitiannya tersebut niscaya akan mengalami kehambaran lantaran kehilangan keterlibatan personalnya yang unik.
Maka metodologi ilmu pengetahuan apa pun, termasuk studi agama, tidak patut untuk menegasi peran subyek peneliti di satu sisi dan sekaligus peran rumusan ilmiah universal di sisi lain. Relasi integratif dua sisi inilah yang penting untuk dibangun oleh setiap peneliti,[15] dan itulah yang ditegaskan Barbour sebagai “keterujian intersubyektif”.
Tugas seorang ilmuwan atau peneliti, dengan demikian, untuk mampu mencapai keterujian subyektif ini, mau tidak mau, ia harus membuat “kompromi rasionalisme[16] dan empirisme[17]” di dalam dirinya sendiri. Bahwa rasionalisme itu penting sebagai landasan-landasan teoritisnya, jelas hal itu ditujukan untuk memenuhi kaidah dasar keilmiahan-universalitas itu. Bahwa empirisme itu penting pula untuk membangun “keterlibatan personal”, di mana subyek peneliti melakukan pengamatan-pengamatan langsung yang tentunya akan melahirkan hipotesis-hipotesis subyektif terhadap obyek penelitiannya, hal itu jelas dimaksudkan untuk menemukan “nilai-nilai baru” dalam teorinya kemudian. Sintesa rasionalisme dan emprisisme ini tampak begitu kuat digaungkan oleh Barbour dalam apa yang disebutnya sebagai “keterujian subyektif”: suatu prosedur ilmiah dimana subyek memiliki tempat untuk terlibat intensif meski tetap harus diujikan kesimpulan-kesimpulan subyektifnya dalam teori-teori ilmiah universal.
Keterujian subyektif ini dijadikan “syarat” oleh Barbour untuk memenuhi prosedur ilmiah yang obyektif, bahwa subyektivitas memang terlibat tetapi harus dikendalikan oleh ketaatan universalitasnya.
Barbour jelas tidak sendirian dalam penggunaan sistem kerja ilmiah ini. Sebutlah misalnya ada Karl. R. Popper yang juga menggunakan istilah yang sama, “keterujian subyektif”. Popper menyatakan bahwa upaya mentaati tuntutan bahwa pernyataan-pernyataan ilmiah harus obyektif dan pernyataan-penyataan yang termasuk kepada basis empiris ilmu juga harus obyektif (tuntutan obyektivisme), maka ia harus bisa diuji secara intersubyektif (tuntutan subyektivisme). Keterujian intersubyektif selalu menyiratkan bahwa dari pernyataan-pernyataan yang diuji, dapat disimpulkan pernyataan-pernyataan lain yang dapat diuji lagi. Konsekuensinya, jika pernyataan-pernyataan dasar pada gilirannya dapat diuji secara intersubyektif, maka tidak boleh ada pernyataan-pernyataan pamungkas dalam ilmu pengetahuan. Tidak boleh ada pernyataan dalam ilmu yang tidak dapat diuji dan oleh karena itu pada prinsipnya tidak ada pernyataan yang tidak bisa dibuktikan kesalahannya, dengan cara memfalsifikasi beberapa kesimpulan yang dapat disimpulkan darinya.[18]
Popper dikenal luas karenanya dengan teori falsifikasinya tersebut: sebuah hasrat metodologis untuk tidak pernah menganggap final sebuah temuan ilmiah, dengan cara terus-menerus melakukan ujian terhadap keterujian intersubyektif yang menghasilkan sebuah kesimpulan, pernyataan, teori, atau ilmu.

B. Konsep Keunikan
Barbour dengan tegas menyatakan poin kedua yang sangat dipentingkannya, yakni keunikan terkait dengan konfigurasi tertentu yang tidak mengabaikan pengenalan pola yang taat hukum.
Dalam kegiatan penelitian ilmiah apa pun, tidak bisa dipungkiri bahwa subyek dan obyek memberikan kontribusi di dalamnya. Memang bahwa data tidak tergantung pada para pengamat, tetapi sebaliknya konsep bukanlah menu yang sudah disediakan oleh alam, tetapi digagas oleh ilmuwan sebagai pemikir kreatif. Teori tidak semata dibuktikan secara empiris, tetapi juga dievaluasi dengan kriteria empiris dan rasional sekaligus secara bersama-sama, dan proses evaluasi tersebut tidak bisa selalu hanya dengan menyandarkan pada penilaian “aturan formal”, tetapi juga melibatkan penilaian ilmuwan sebagai seseorang yang bertanggungjawab. Karenanya, ilmu pengetahuan merupakan usaha manusia, dan bukan proses mekanik.[19]
Keterlibatan subyektif manusia dalam aktivitas ilmu pengetahuan inilah yang oleh Barbour ditegaskan pada bagian tentang konsep keunikan.
Apa itu konsep keunikan?
Keunikan adalah kekhususan, kekhasan, ketakterulangan.[20] Sesuatu yang unik berdiri sangat jauh berbeda dengan sesuatu yang “taat hukum”. Jika terbitnya matahari berjalan secara terus terulang, yang menandakan bahwa matahari “taat hukum”, maka penyimpangan terhadap ketaatan hukum itulah yang bernama keunikan. Begitu pula dengan siklus kehamilan dan kelahiran manusia, yang terus terulang secara pasti, maka itulah proses yang taat hukum. Adanya kejadian kehamilan dan kelahiran yang menyimpang dari siklus hukum tersebut, itulah yang disebut keunikan.
Dengan kata lain, keunikan adalah ketakteraturan dan ketakterulangan. Barbour mencontohkan peristiwa sejarah, seorang manusia, atau sebuah karya seni adalah khusus dan tidak bisa diulang, karenanya ia unik. Ketiganya tidak bisa dikaji dengan metode yang digunakan ilmuwan untuk mengkaji fenomena alam yang berulang dan taat hukum, misalnya.[21]
Barbour menggunakan istilah idiografis (dari idios, individual) untuk menggambarkan peristiwa yang unik dan tidak berulang. Peristiwa sejarah, misalnya, selalu merupakan peristiwa individual yang sangat khusus, unik, dan karenanya harus digunakan metode yang berbeda dari metode pendekatan nomothetik (dari nomos, hukum) yang lazim digunakan ilmuwan untuk fenomena berulang secara hukum.
Persoalannya adalah bagaimana mempertemukan antara sebuah peristiwa yang diteliti sebagai unik, individual, misal peristiwa sejarah tertentu, dengan kewajiban prosedur ilmiah untuk melakukan pengujian terhadapnya agar mampu menghasilkan kesimpulan ilmiah yang bertanggungjawab?
Untuk menjawab kerumitan ini, Barbour memberikan batasan yang jelas tentang konsep keunikan tersebut.
Setiap peristiwa adalah unik jika definisi minimal diadopsi (unik = tidak sama dalam beberapa hal dari semua peristiwa lain). Tidak ada peristiwa unik jika definisi maksimal diadopsi (unik = tidak sama dalam semua hal dari semua peristiwa lainnya). Karenanya, sebuah peristiwa bisa dinyatakan unik selama penggolongan peristiwa tersebut dengan peristiwa lain tidak jelas. Konsekuensinya, tingkat keunikan akan berbeda-beda, berubah-ubah dan relatif terhadap tujuan penelitian, bukannya sebuah karakteristik absolut dari sebuah peristiwa itu sendiri.[22]
Karena begitu relatifnya nilai keunikan dalam sebuah obyek penelitian, yang ini sepenuhnya berkaitan dengan tujuan sebuah penelitian, maka sejatinya tidak ada dua jenis peristiwa yang berbeda yang taat hukum atau unik. Tetapi “jenis ketertarikan” yang melandasi tujuan penelitian itulah yang memberikan penyifatan dan penilaian apakah sebuah peristiwa itu dinyatakan taat hukum atau unik.
Faktor “berbeda-beda, berubah-ubah, dan relatif terhadap tujuan penelitian” tentu tidaklah berarti bahwa Barbour membunuh statemennya sendiri tentang kutub unik dan kutub taat hukum tersebut. Tidak. Justru penjelasan Barbour tersebut semakin mengukuhkan betapa pentingnya bagi setiap peneliti untuk sepenuhnya memahami dan memilah antara obyek yang unik dengan kebutuhan mematuhi asas taat hukum itu.
Barbour lalu memberikan  tiga pilar untuk menegaskan hal tersebut:[23]
Pertama, generalisasi seperti hukum dalam lingkup terbatas yang bisa diterapkan  pada periode atau kondisi tertentu.
Kedua, upaya membangun hubungan di antara peristiwa-peristiwa tertentu. Dari sini, lalu lahir pola di antara peristiwa-peristiwa tertentu yang diteliti, untuk menilai berbagai macam signifikansi berbagai pengaruh dan untuk melacak konsekuensi sebuah tindakan. Bahkan, dalam banyak proses penyelidikan, ilmuwan dituntut untuk mampu memilih faktor-faktor yang relevan dan menunjukkan bagaimana situasi tertentu menimbulkan situasi sebelumnya. Dan inilah kegiatan membangun hubungan di antara peristiwa-peristiwa tersebut.
Ketiga, pelacakan hubungan di antara berbagai peristiwa semacam itu membutuhkan penggunaan generalisasi secara implisit. Mulai dari istilah deskriptif dan konsep yang mengindikasikan klasifikasi; pola yang menghubungkan motif dan alasan dengan tindakan; observasi logis tentang perilaku manusia, dan kesejajaran dengan situasi historis lainnya.
Ketiga pilar ini menjelaskan posisi seorang ilmuwan untuk memperhatikan keunikan sebuah peristiwa yang ditelitinya dalam kacamata taat hukum sebagai upaya memahami peristiwa tertentu itu. Dan untuk membantu melacak kesalingterkaitan  khusus di antara berbagai peristiwa, ilmuwan meminjam generalisasi dari bidang-bidang seperti sosiologi dan psikologi.
Maka seunik apa pun sebuah peristiwa atau obyek yang diteliti oleh seorang ilmuwan, seacak apa pun ia kondisinya, niscaya ilmuwan yang baik akan selalu menggunakan kaidah-kaidah universal, seperti pola generalisasi dan klasifikasi, untuk menyimpulkan hasil penelitiannya. Ilmuwan yang baik tidaklah mungkin menyimpulkan sesuatu dari obyek penelitiannya dengan cara menafikan kontribusi hukum-hukum universal sebagai pisau bedah analisisnya.
Inilah yang dimaksud Barbour sebagai keunikan terkait dengan konfigurasi tertentu yang tidak mengabaikan pengenalan pola yang taat hukum.

C. Studi Kasus dalam Islamic Studies
Sekarang mari kita coba terapkan teori “keterujian intersubyektif yang mengindahkan keterlibatan personal” dan “keunikan yang mengindahkan konfigurasi taat hukum” Barbour ini dalam ranah studi Islam. Bahwa Islam sebagai agama yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits, jelas ini disepakati sepenuhnya oleh semua umat Islam. Tetapi soal bagaimana metode menggali hukum dari al-Qur’an dan hadits, yang kemudian dijadikan panduan hidup oleh umat Islam, jelas ini merupakan soal lain yang sangat diskursif dan debatable.
Dalam konstelasi interpretasi teks suci tersebut, sangat banyak pemikir Islam yang mengajukan berbagai metode. Sebut di antaranya adalah Fazlur Rahman, Abdullah Saeed, dan Muhammad Syahrur.
Double movement (gerakan ganda) diusung oleh Fazlur Rahman sebagai metode interpretasi teks. Menurut Rahman, double movement merupakan gerak sirkular dari peristiwa masa kini menuju peristiwa masa lalu, masa diturunkannya ayat tertentu yang sedang diteliti, dengan melihat latar sosial, budaya, politik, dan sebagainya, lalu mengambil “ideal moral” yang dikandung ayat, untuk kemudian kembali ke masa kini dan merumuskan kembali peristiwa masa kini tersebut dalam frame “ideal moral” ayat yang sudah didapat tersebut.[24] Jadi, double movement adalah gerakan dari masa kini menuju masa lalu, kemudian kembali ke masa kini. Ini, misalnya, terwujud dalam tafsir segar Rahman tentang ayat potong tangan bagi pencuri.[25]
Di sisi lain, ada sosok Abdullah Saeed yang mengusung gerakan “ijtihad kontekstual”, yang telah berhasil menelurkan berbagai pemikiran segar dalam hukum Islam, seperti riddah.[26] Memang dalam beberapa hal pemikiran Rahman dan Saeed memiliki corak epistemologis yang identik, di antaranya: (1) Kritik terhadap metodologi Islam tradisional, yang menurut keduanya sudah tidak memadai lagi untuk menampilkan Islam yang holistik di era global kekinian. Kaduanya juga sama-sama mengusung pentingnya istimbath konteks ayat-ayat al-Qur’an yang hanya dengannya hukum Islam bisa berkembang progresif di segala tempat dan zaman. (2) Keduanya sama-sama menyatakan pentingnya menggali “pesan moral universal” dalam ayat-ayat al-Qur’an, sebagai dasar paling substansial dan universal dalam menggali tafsir-tafsir baru al-Qur’an yang berkesesuaian dengan era terkini, kendati keduanya berbeda dalam etimologinya, di mana Fazlur Rahman menyebutnya “ideal-moral” dan Saeed menyebutnya “etik-legal”.[27]
Lalu ada sosok Muhammad Syahrur yang cukup kontroversial. Dengan metodologi ta’wil yang menggunakan pendekatan “teori batas” dan metodologi ijtihad dengan pendekatan linguistik-saintifik, Syahrur melahirkan penafsiran-penafsiran fresh yang kontekstual dengan dinamika dunia global hari ini.[28] Sebagai misal, Syahrur menafsirkan kata “taqrabu” dalam ayat “wala taqrabuz zina[29] sebagai “leading to”, menuju, mengarah, pada zina itu. Leading to tersebut secara psikologis bisa disebut sebagai desire. Terletupnya desire tersebut merupakan penanda utama seseorang bisa dinyatakan taqrabu atau tidak. Maka jika seseorang sekadar melihat lawan jenisnya saja memicu desire dalam dirinya, itu berarti telah taqrabu. Tetapi jika ada orang yang bahkan melakukan cipika-cipiki tanpa dihantui desire itu dalam dirinya, maka ia tidak bisa disebut telah taqrabu.
Tampak jelas penerapan “teori batas” Syahrur dalam ilustrasi tersebut, bahwa seseorang telah dikatakan melanggar ayat tersebut bila “batas bawahnya”, yakni desire, terjadi. Sementara “batas atasnya”, yang tentu saja ini berlaku bagi orang-orang yang secara kultural intens berinteraksi dengan lawan jenisnya, yakni zina itu sendiri, juga dinyatakan terjadi bila itu dilakukan. Terang sekali dalam metode ini betapa pengaruh kultur begitu merunyak kuat di dalamnya. Wajar karenanya bila Syahrur lalu menganalogikan teori batasnya tersebut layaknya lapangan sepak bola,[30] yang sudah terang garis-garis batasnya, yang tidak boleh dilanggar batasnya, tetapi di dalam garis batas itu (atas-bawah), para pemain bola dalam posisi apa pun seperti Wayne Rooney, Chicharito, Giggs, Nani, Carrick, Evra, Valencia, Ferdinand, Wellbeck, Park Ji Sung, Smalling, Cleverly, hingga Phil Jones bebas bergerak berkreasi dengan permainannya. Jika bola keluar garis, itu out, maka permainan harus dihentikan. Begitulah Syahrur mengilustrasikan teori batasnya dengan sangat terang.
Dari ketiga pemikir Islam kontemporer tersebut, mari cermati aspek “keterujian intersubyektif” dan “keunikan”-nya dalam teori Barbour di atas. Apa yang dilakukan Rahman, Saeed, dan Syahrur melalui metodenya masing-masing dalam upaya menafsirkan ayat al-Qur’an jelas merangkul secara intens “keterlibatan personalnya”. Cara Rahman menggali “ideal-moral”, Saeed menggali “etiko-legal”, dan Syahrur menggali “batas atas-bawah” jelas adalah hasil intensi personal mereka. Intensi personal ini kemudian menempuh prosedur pengujian ilmiah yang rumit sebelum berlabuh pada kesimpulan masing-masing. Kesetiaan Rahman dan Saeed, misalnya, dalam merangkul asbabun nuzul bisa dinyatakan sebagai salah satu prosedur pengujian atas keterlibatan personal mereka. Begitupun dengan Syahrur yang membatasi penerapan teori batasnya hanya pada ranah muamalah, tidak ubudiyyah dan akhlak, juga menjadi langkah prosedural untuk menguji keterlibatan personalnya. Sampai di sini, jika dikaitkan dengan Barbour, mereka tampak berusaha cukup kuat untuk menguji praduganya, keterlibatan personalnya, dengan prosedur ilmiah yang taat hukum universal, dan itulah yang menjadikan teori mereka mengalami “keterujian intersubyektif”.
Sementara sisi “keunikan” subyektivitas mereka selaku peneliti studi Islam juga tampak terbangun atas dasar pondasi konfigurasi tertentu yang memiliki asas taat hukum. Double movement-nya Rahman, ijtihad kontekstual-nya Saeed, dan teori batas-nya Syahrur adalah serangkaian asas taat hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara prosedur ilmiah universal, dengan tanpa membunuh keunikan masing-masing mereka di dalamnya.
Subyektivitas dan obyektivitas tampak telah berhasil dipadu-padankan dengan cukup baik dalam metodologi studi Islam mereka. Bahwa, di sisi lain, lahir kontroversi, juga antitesis, atas kesimpulan-kesimpulan ilmiah mereka, tentu saja hal tersebut merupakan kelumrahan dalam kegiatan ilmiah yang sehat. Kontroversi dan antitesis tentu tidak patut dijadikan parameter adanya kelemahan, apalagi kegagalan metodologis, dalam studi ilmiah apa pun.[31] Biarkanlah kontroversi, kritik, dan antitesis terus lahir dan tumbuh secara alamiah, dan biarkanlah pula dengan sendirinya sebuah teori atau kesimpulan penelitian teruji untuk terus memperoleh legitimasinya atau pun falsifikasinya.

Penutup
Apa yang digagas Barbour dalam bab 7 dari bukunya tersebut, tentang perkelahian subyektivitas dan obyektivitas dalam studi ilmiah, sebenarnya bukanlah hal baru lagi. Rasionalisme dan Empirisisme telah jauh-jauh abas bertarung keras tentang subyektivis dan obyektivis tersebut. Begitu pun tema perkelahian yang sama bercerai di dalam rumah tangga Positivisme dan Eksistensialisme. Begitu juga yang dialami oleh perdebatan panjang para filsuf hermeneutika.[32]
Melepaskan subyektivitas peneliti, atau dalam bahasa populer teori penelitian adalah partisipant-observer, jelas bukanlah pekerjaan mudah. Ia integrated dalam diri peneliti, sekaligus ancaman baginya. Berdiri obyektivistik di atas diri yang subyektivistik jelas bukanlah pekerjaan ringan, meski harus disadari bahwa kemampuan tersebut merupakan parameter utama tanggungjawab setiap ilmuwan terhadap dunia ilmu pengetahuan.
Barbour mengkompromikan dua kutub diametral tersebut dengan sangat baik. Capaiannya yang sangat berharga dalam buku tersebut ialah apa yang dinyatakannya sebagai: (1) obyektivitas dalam keterujian intersubyektivitas yang tidak mengabaikan keterlibatan personal, dan (2) keunikan terkait dengan konfigurasi tertentu yang tidak mengabaikan pengenalan pola yang taat hukum. Sebuah sikap ilmiah untuk membiarkan subyektivitas tetap ada dalam prosedur penelitian ilmiah, agar kasimpulannya bisa memberikan cakrawala yang unik, khas, dan segar, tetapi tetap tunduk dengan setia pada teori-teori ilmiah universal yang obyektivistik sebagai parameter pertanggungjawaban subyektif peneliti kepada komunitas ilmu pengetahuan.
Dalam contoh kasus yang disajikan di awal makalah ini, perkelahian tentang kewajiban menegakkan Negara Islam atau tidak, tampak kuat sekali pengaruh subyektivitas mewarnai kesimpulan interpretatif para ilmuwan yang mewakili ketiga kutub mazhab terhadap surat al-Maaidah ayat 47 tersebut. Bahwa ketiganya menyimpulkan ayat tersebut secara subyektivis, jelas itu terjadi sepenuhnya, dan inilah yang dinyatakan Hans-Georg Gadamer sebagai fusion of horizons,[33] peleburan cakrawala teks dan penafsir.
Jika tiga aliran utama politik Islam tersebut diuji dengan teori Barbour, agaknya tidak mudah bagi pembaca untuk menegasi yang satu sebagai tidak mengalami keterujian intersubyektif dan gagal taat pada hukum universal ilmiah, sebab ketiganya sama-sama berbasiskan landasan metodologis tafsir yang baik. Itu secara prosedur ilmiah. Tetapi apakah lantas ketiganya bisa dilegitimasi sebagai teori politik Islam yang relevan untuk dikejawantahkan, jelas hal ini adalah situsasi yang sangat berbeda dan khas di setiap wilayah dan zaman.
Indonesia yang plural, meski berpendudukan mayoritas muslim, sangat tidak mungkin menerapkan teori politik Islam ala al-Maududi. Clash pasti akan meledak dengan cepat. Gerakan DI/TII, NII, hingga Hizbut Tahrir tidak pernah mendapatkan tempatnya di sini. Begitu pula sangat tidak mudah bagi kaum sekuleris-liberalis untuk membumikan teori politik Islam ar-Raziq. Kasus terbaru berupa pembubaran paksa diskusi ilmiah Irsyad Manji di Jakarta dan Yogyakarta menunjukkan secara empirik bahwa keterlibatan Islam sebagai agama di ruang-ruang publik begitu sangat dominan di negeri ini.
Respons negatif terhadap dua aliran politik Islam tersebut sangat berbeda pada teori ketiga, meskipun dalam praktiknya mengalami banyak modifikasi. Cetusan banyak tokoh muslim Indonesia bahwa Pancasila merupakan cerminan dari politik Islam, dan karenanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia harus diterima sebagai watak politik Indonesia Indonesia, seperti yang dilantangkan Gus Dur, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo, dan Amien Rais (hanya untuk menyebut beberapa nama) menjadi sikap legitimatif terhadap teori politik Islam ketiga tersebut.
Penerimaan ini memang harus dipahami dengan segera sama sekali tidak terkait dengan soal benar atau salah terhadap dua teori politik Islam lainnya. Tetapi persoalan relevansi dan aktualitas sebuah teori terhadap penerimaan atau penolakan masyarakat luas yang pasti berbalutkan jubah kultur, sosial, politik, dan agama jelas sangat besar pengaruhnya.
Walhasil, teori apa pun, dalam bidang apa pun, sepanjang ia telah memenuhi aspek keterujian subyektif dan memiliki keunikan yang bisa dipertanggungjawabkan dalam konfigurasi hukum universal, maka ia akan dihargai sebagai ilmu pengetahuan. Soal kemudian apakah ia dilegitimasi, apalagi diterapkan, tentu itu adalah hal lain, yang seringkali dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan ranah ilmu pengetahuan murni itu sendiri.
Tres bien, merci beaucoup...


Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Histositas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Atho’, M. Nafisul (ed.), Hermeneutika Transendental, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003.
Barbour, Ian G., Isu dalam Sains dan Agama, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
----------, Issues in Science and Religion, Harper Torchbook, New York, 1996.
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, Routledge & Kegan Paul, London, 1980.
Descartes, Rene, Diskursus dan Metode, IRCiSoD, Yogyakarta, 2012.
Eliade, Mircea, The Encyclopedia of Religion, volume 6, Macmillan Publishing Company, New York, t.t.
Gadamer, Hans-Georg, Truth and Method, The Seabury Press, New York, 1965
Hinnels, John R., The Routledge Companion to the Study of Religion, Routledge, London, 2005.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, LKiS, Yogyakarta, 2010.
Nasr, Sayyed Hossein, Knowledge and The Sacred, State University Press, New York, 1989.
Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Popper, Karl R., Logika Penemuan Ilmiah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Puspoprodjo W., Interpretasi, Remaja Karya, Bandung, 1987.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chichago Press, Chicago, 1982.
Saeed, Abdullah, Interpreting the Qur’an, Routledge, New York, 2006.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1993.
Syahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, ELSAQ, Yogyakarta, 2008.
Sumaryono, E., Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1995).
Taji-Farouki, Suha, Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, The Institute of Ismail Studies, London, 2004.


[1] QS. Al-Maaidah (5):47.
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 186 dan 208.
[3] Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an (New York: Routledge, 2006), hlm. 119.
[4] Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer (Yogyakarta: ELSAQ, 2008), hlm. 54-57.
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 205.
[6] Ibid., hlm. 206-208.
[7] Ibid., hlm. 209.
[8] Ian G. Barbour, Isu dalam Sains dan Agama (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 275-276. Versi Bahasa Inggrisnya, Issues in Science and Religion (New York: Harper Torchbook, 1996).
[9] Ibid., hlm., 277.
[10] Ibid., hlm. 279.
[11] Ibid., hlm. 278-279.
[12] Kemampuan menempatkan diri sepenuhnya sebagai peneliti (observer) terutama untuk obyek-obyek penelitian yang merupakan bagian dari kehidupannya sendiri, seperti agama, hanya akan bekerja dengan baik jika mampu membangun obyektivitas dan menciptakan jarak kritis obyektif. Istilah “participant-as-observer” dan “experience-distant” merupakan kondisi yang paling banyak disorot. Lihat, John R. Hinnels, The Routledge Companion to the Study of Religion (London: Routledge, 2005), hlm. 252.
[13] Ludwig Wittgenstein dan Peter L. Berger adalah contoh ilmuwan yang gentle dan penuh komitmen melakukan revisi terhadap pemikirannya di masa lalu, berdasarkan pada temuan teorotitisnya di kemudian hari.
[14] Ibid., hlm. 248-250.
[15] Ibid., hlm. 256-270.
[16] Descartes adalah tokoh yang mengganti istilah Aristoteles bahwa manusia adalah “hewan rasional” dengan gagasan tentang benak yang tertanam dalam mesin jasmani. Gagasan ini memberikan pengaruh pada para ilmuwan kealaman utamanya bahwa mereka mampu mencapai perspektif yang pada keseluruhannya obyektif tentang dunia eksternal, yang secara keseluruhan meredam segala pengaruh yang sangat mungkin terdapat pada benak pengamat tentang pengetahuan yang kita capai. Lihat, Rene Descartes, Diskursus dan Metode (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012); Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 80-81.
[17] Sebut misalnya Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa yang sebenarnya eksis adalah materi. Yang sebenarnya wujud adalah materi. Gagasan ini cermin dasar aliran empirisme atau realisme. Meski ini banyak ditentang, namun pengaruhnya jelas masih sangat kuat. Di hadapan Hobbes ini, patut direnungkan gagasan brilian Benedictus de Spinoza, bahwa benak (rasio) dan badan (realism) adalah dua aspek dari sebuah realitas dasar, besar. Realitas itu seperti sekeping uang logam dengan dua muka yang berlainan, tetapi keduanya sama-sama benar sebagai deskripsi tentang koin tersebut. Lihat, Stephen Palmquis, Pohon, hlm. 81-82. Dalam spektrum yang berbeda, Amin Abdullah juga menggunakan istilah yang sama (koin, mata uang) untuk menunjukkan kepaduan aspek Normativitas dan Historisitas dalam studi agama, sebagai dua hal yang berbeda, namun tidak pernah bisa dipisahkan. Lihat, Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Histositas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
[18] Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 31-32.
[19] Ian G. Barbour, Isu-isu, hlm. 248.
[20] Ibid., hlm. 263.
[21] Ibid., hlm., 264.
[22] Ibid., hlm. 266-267.
[23] Ibid., hlm. 268-269.
[24] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chichago Press, 1982); Abdul Mustaqim, Epistemologi, hlm. 90-99.
[25] Menurut Rahman, ayat potong tangan dalam “asy-syariku was syarikatu faqtha’u aidiyahuma…” tidak layak lagi untuk dipertahankan sebagai perintah mutlak memotong tangan pencuri. “Ideal moral” ayat tersebut adalah untuk mengamputasi pelaku dari perbuatan mencuri tersebut. Sedangkan konteks kultural masyarakat Arab masa itu adalah mereka merasakan aib yang sangat hebat bila mengalami kecurian, sehingga potong tangan diberikan sebagai hukuman setimpal. Hari ini di mana situasi kulturalnya sudah jauh berbeda, maka potong tangan secara fisik tidak lagi perlu dipertahankan, tetapi jauh lebih berharga untuk memksimalkan prinsip moral amputasi tersebut. Maka hukuman penjara atau denda, misalnya, sudah memadai sebagai terjemahan dari ayat tersebut. Dalam kasus korupsi, misalnya, diterapkannya Undang-Undang Pencucian Uang oleh KPK belakangan ini kepada para koruptor bisa dipahami sebagai “pengerasan amputasi” tersebut. Dan ini jauh lebih menghasilkan pesan positif agar mereka tidak lagi melakukan korupsi.
[26] Saeed, misalnya, menyatakan bahwa dalam menafsirkan teks suci akan selalu bersifat interaktif, di mana penafsir berperan aktif dalam memproduksi makna teks, bukan sebagai penerima pasif yang secara sederhana “menerima” maknanya”. Abdullah Saeed, Interpreting, hlm. 119.
[27] Lihat, misalnya, Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting The Ethico-Legal Content of Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki, Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (London: The Institute of Ismail Studies, 2004), hlm. 42-44.
[28] Muhammad Syahrur, Prinsip, hlm. 54-57. Abdul Mustaqim, Epistemologi, hlm. 186-208.
[29] QS. Al-Isra’ (17):32.
[30] Abdul Mustaqim, Epistemologi, hlm. 224-230.
[31] Karl R. Popper, Logika, hlm. 33-35.
[32] Hermeneutika secara umum didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani, hermeneuien, dengan arti menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan. Kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, seorang  dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari gunung Olimpus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Sayyed Hossein Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam al-Qur’an, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan krusial yang harus diselesaikan adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa “bumi”. Dari sini makna metaforis dari profesi tukang tenun/ memintal muncul, yaitu memintal atau merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia. Hermeneutika karenanya dipahami sebagai sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari makna, rasional dan dapat diuji. Sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang suatu penafsiran. Pada prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Setiap kegiatan  manusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan selalu berkaitan dengan bahasa. Realitas yang masuk dalam semesta perbincangan masnusia selalu sudah berupa realitas yang terbahasakan, sebab manusia memahami dalam bahasa. Kata-kata, sebagai satuan unit bahasa terkecil yang memiliki makna, selalu merupakan penanda-penanda realitas. Pemberian penanda itu sendiri sudah selalu berupa penafsiran. Oleh karena itulah, persoalan filsafat abad ke-20 ini selalu terkait dengan persoalan bahasa. Masalah pemahaman adalah masalah tekstual, artinya begitu kita mau memahami realitas, ia sebenarnya sedang menafsirkan sebuah “teks”: “teks” itu sendiri seluas realitas. Bahkan Derrida secara radikal menyatakan bahwa “everything is text and there is nothing beyond the text”. Melalui bahasa orang berkomunikasi, namun dengan bahasa pula seseorang bisa salah paham dan salah tafsir. Hans-Georg Gadamer menyatakan bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara berada manusia di dunia dan juga merupakan wujud yang seolah-olah merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Bahkan Martin Heidegger mengatakan bahwa semua pemahaman (verstehen) bersifat kebahasaan, intensional dan historikal (language is the house of Being). Lihat, Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique (London, Boston, and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 1; Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, volume 6 (New York: Macmillan Publishing Company, t.t.), hlm. 279; E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm.23; Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (New York: State University Press, 1989), hlm. 71; W.  Pespoprodjo, Interpretasi (Bandung: Remaja Karya, 1987), hlm. 69; M. Nafisul Atho’ (ed.), Hermeneutika Transendental (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 14-17.
[33] Gadamer menyatakan bahasa (teks) harus dipahami sebagai “yang menujuk pada pertumbuhan mereka secara historis, dengan kesejarahan makna-makna, tata bahasa, dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa hadir dalam bentuk-bentuk variatif logika pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman historis/tradisi (termasuk pengalaman-pengalaman supernatural/spiritual). Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1965), hlm. 394-401.
1 Komentar untuk "MELERAI PERKELAHIAN OBYEKTIVITAS DAN SUBYEKTIVITAS DALAM STUDI AGAMA (Studi Pemikiran Ian G. Barbour dalam “Isu-isu dalam Sains dan Agama”)"

Sangat menarik, "data tidak tergantung pada para pengamat, tetapi sebaliknya konsep bukanlah menu yang sudah disediakan oleh alam". Intinya, selalu ada upaya untuk saling melengkapi, memberi, menyempurnakan secara terus menerus. Ijtihad kalau begitu tak penah menemukan kata selesai. Sebab itulah Al-Qur'an disebut shalih li kulli zaman wa makan. Untuk menemukan shalihnya di setiap fase waktu yang terus berjalan jelas butuh pencarian, pemikiran. Artena, kodu ajar teros dari buayan ibu sampe mate. Kan nga' genika nom

Back To Top