Personal Blog

EPISTEMOLOGI TAFSIR KONTEMPORER (Telaah Metodologi Tafsir Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur)



Tidak ada perbedaan di kalangan pemikir Islam bahwa al-Qur’an merupakan sumber utama teologi Islam, selain hadits. Sebagai sumber utama yang rahmatan lil-‘alamin, berlaku sepanjang masa dan tempat (shalih likulli zaman wa makan), al-Qur’an harus terus digali tanpa henti agar lahir pemikiran dan interpretasi baru selaras dengan dinamika kehidupan umat Islam sendiri. Karenanya, tafsir al-Qur’an akan dan harus terus bergerak, bergeser, berubah, tanpa henti.
Secara umum, para cendekiawan muslim kontemporer sepakat bahwa tafsir al-Qur’an merupakan manifestasi dari:
Pertama, produk pemikiran hasil interaksi dan dialektika antara teks, konteks (realitas), dan penafsirnya. Perpaduan teks, konteks, dan penafsir itu meniscayakan hasil penafsiran apa pun akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosio-historis, geo-politik, dan latar belakang keilmuan penafsir, serta “kepentingan”  penafsir. Ini menunjukkan bahwa tafsir merupakan hasil pemikiran dan produk budaya. Karenanya, penafsiran bukan hanya boleh dikritisi, tetapi bahkan perlu diperbaiki, dibenahi, diubah, dan bahkan diganti dengan penafsiran baru jika dianggap sudah tidak selaras (kontekstual) dengan situasi dan tuntutan zaman. Tafsir sebagai produk pemikiran dengan sendirinya akan menjadi sangat beragam, pluralistik, sekaligus relatif dan bahkan tentatif.
Kedua, tafsir adalah “proses”, yaitu proses aktivitas interpretasi yang harus dilakukan terus-menerus tanpa mengenal titik henti. Hal ini menjelaskan sifat al-Qur’an sebagai kitab yang akan selalu relevan untuk segala ruang dan waktu, dengan cara terus-menerus “dibaca” secara kreatif dan produktif sehingga ia benar-benar mampu menjadi solusi praktis bagi pemecahan masalah-masalah umat manusia kontemporer. Tafsir harus selalu bersifat realistis-empiris-solutif terhadap persoalan-persoalan kontemporer umat, selain juga bersifat idealis-metafisis.
Meski memiliki tujuan yang sama, yakni untuk mengaktualisasikankan dan mengkontekstualisasikan kandungan al-Qur’an, namun para pemikir Islam kontemporer memiliki perbedaan-perbedaan metodologi dalam penafsiran al-Qur’an. Di antara mereka, sosok Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur begitu populer karena keduanya memiliki metodologi yang sangat unik dan khas.
Fazlur Rahman dikenal dengan dua metodenya, yakni metode double movement (gerakan ganda) dan metode tematik.
Menurut Rahman, dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang mufassir harus mampu menemukan makna otentik ayat (original meaning of the text) dengan cara membaca dan memahami konteks sosio-historis masa lalu diturunkannya ayat-ayat tersebut untuk kemudian mengkontekstualisasikan makna otentik ayat itu di masa kini. Inilah yang dimaksudkannya sebagai, pertama, metode double movement (gerakan ganda). Hal ini ditujukan supaya penafsiran tidak terlepas dari nilai-nilai etik-dasar (ideal-moral) yang menjadi ruh dari “ideal-metafisis” ayat-ayat saat diangkut ke dalam realitas kehidupan masa kini (realistis-empiris-solutif). Penafsiran dihasratkan agar tidak “liar” dan “sekuler”. Meski penafsiran juga harus mampu membangun sisi pragmatis-fungsionalnya, yakni bisa dijadikan panduan praktis untuk kehidupan masa kini.
Kedua, metode tematik, yakni menggali pandangan-pandangan dasar al-Qur’an (ideal-moral) secara holistik dan komprehensif untuk meminimalisir unsur-unsur subyektivitas dan bias-bias ideologis mufassir. Metode kedua ini sekaligus menegaskan posisi Rahman yang menghasratkan kegiatan penafsiran agar selalu bertolak dari “warangka otentisitas” al-Qur’an, yang didapatkan melalui pemahaman komprehensif terhadap unsur-unsur yang meliputi diturunkannya ayat-ayat tersebut (konteks sosio-historis masa lalu), serta digabungkan dengan pembacaan menyeluruh terhadap ayat-ayat yang memiliki tema yang sama atau identik, sebelum kemudian diinterpretasikan dengan konteks sosio-historis masa kini.
Karena itu, bagi Rahman, seperangkat ilmu penafsiran lama seperti ilmu asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh harus dilibatkan dalam proses penafsiran masa kini.
Metode Rahman ini berbeda frontal dengan cara penafsiran yang digagas Muhammad Syahrur. Syahrur yang dikenal dengan jargon qira’ah mu’ashirah (pembacaan kontemporer) menolak gagasan Rahman tentang “kembali ke konteks sosio-historis masa lalu”, karena menurutnya penafsir hari ini bisa saja langsung masuk ke dalam teks dan mengambil kesimpulan dari era sekarang. Tidak diperlukan upaya untuk memahami konteks penurunan ayat di masa lalu (asbab al-nuzul), karena “makna akan turut berkembang sesuai dengan nalar keilmuan kontemporer”. Syahrur menandaskan bahwa al-Qur’an harus dipandang seolah-olah baru saja turun dan nabi baru saja menyampaikannya kepada kita.
Dengan epistemologi tersebut, Syahrur mengajukan dua metode interpretasi al-Qur’an, yakni, pertama,  metode ijtihadi dengan pendekatan “teori batas” (nazhariyyah al-hudud). Metode ini digunakan untuk membaca ayat-ayat muhkamat, dengan tujuan besar agar sakralitas teks tetap bisa terjadi (tidak melampaui batas-batas ketentuan Allah), namun sekaligus penafsir bisa sepenuhnya fleksibel dan dinamis dalam menggali penafsirannya.
Kedua, metode hermeneutika ta’wil dengan menggunakan pendekatan lingustik-saintifik. Metode ini digunakan terhadap ayat-ayat mutasyabihat yang memberikan informasi dan isyarat ilmu pengetahuan. Metode ini dimaksudkan untuk membuktikan “kebenaran teoretis-rasional” atau “kebenaran teoretis realitas obyektif di luar kesadaran manusia” dengan realitas empiris kontemporer yang bersendikan ilmu pengetahuan yang betul-betul rasional dan empiris. Metode ini, menurut Syahrur, sekaligus bisa membuktikan terjalinnya harmoni antara gagasan al-Qur’an yang bersifat absolut kebenarannya dengan nalar kritis pengetahuan manusia yang bersifat relatif kebenarannya.
“Teori batas” Syahrur mengenal istilah “batas atas/maksimal” (hadd al-‘a’la) dan “batas bawah/minimal” (hadd al-adna). Mufassir tidak boleh melanggar batas atas dan batas bawah itu, karena batas-batas itu adalah ketentuan mutlak Allah dalam ayat-ayat muhkamat. Di antara kedua batas itu, mufassir boleh “berekspresi” sedemikian bebasnya untuk menghasilkan penafsiran yang relevan dengan realitas kehidupan umat Islam. Syahrur mengilustrasikannya sebagai lapangan sepak bola, yang memiliki garis-garis batas yang tidak boleh dilanggar, tetapi para pemain sepak bola bebas berkreasi secara kreatif dan produktif di dalam garis-garis batas itu.
Apa yang dimaksud Syahrur sebagai “batas-batas yang tidak boleh dilanggar” itu adalah hududullah, yakni batas-batas ketentuan Allah yang berlaku dalam masalah-masalah hukum yang telah dituliskan dalam al-Qur’an. Karena itu, Syahrur menegaskan bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan terhadap masalah-masalah hukum, dengan berlandaskan pada hududullah itu. Ijtihad tidak berlaku pada hal-hal yang bersifat asy-sya’a’ir (ritual ibadah), seperti ketentuan shalat, puasa, zakat, dll., karena upaya ijtihad terhadap wilayah ini akan menjadi bid’ah belaka. Demikian pula ijtihad tidak diperlukan dalam masalah-masalah yang bersifat moralitas (akhlak), seperti larangan sombong, pelit, dll., sebab pelanggaran terhadap nilai-nilai moralitas itu otomatis diharamkan oleh al-Qur’an. Jadi, sampai di sini, penting untuk memahami bahwa pemikiran ijtihad Syahrur hanya bergerak dalam “wilayah-wilayah hukum”, yang menurutnya, merupakan wilayah-wilayah aktivitas kehidupan riil manusia yang berbeda-beda, yang perbedaan-perbedaan itu dibatasi oleh hududullah, seperti masalah pernikahan, perceraian, pembagian waris, pembunuhan, pencurian, perzinahan, poligami, dan jual beli. Segala apa yang selama ini diklaim qath’iyyah dalalah dalam masalah-masalah hukum tersebut sangat bisa untuk direkonstruksi dan bahkan diganti dengan temuan-temuan pemikiran baru, dengan tetap berada dalam hududullah tersebut. Seperti potong tangan untuk pencuri cukup diganti dengan dipenjara.
Gagasan Syahrur ini memang sangat menjanjikan lahirnya pemikiran-pemikiran tafsir yang fresh. Terutama dengan kegigihannya untuk melepaskan diri dari konteks sosio-historis masa lalu diturunkannya teks al-Qur’an dengan langsung masuk ke dalam teks-teks al-Qur’an selayaknya ia diturunkan dan disampaikan kepada kita hari ini.
Tetapi beberapa kritik yang cukup keras tertuju kepada Syahrur. Utamanya berkaitan dengan (1) “gerakan meninggalkan turats” (tradisi pemikiran lama) dengan semata bertumpu pada kelmuan-kelimuan hari ini, yang tentu saja sikap negasi turats secara keseluruhan ini mengandaikan bahwa seluruh bangunan tradisi masa lalu sudah tidak sahih lagi untuk diterapkan hari ini. (2) Terjadinya diskontinuitas terhadap hal-hal yang bersifat substantif yang dipercaya oleh mayoritas mufassir sebagai hal-hal yang seharusnya dijaga secara tetap (tsabit). (3) Metode hermeneutika ta’wil yang membidik ayat-ayat mutasyabihat berkecenderungan untuk menjadikan  al-Qur’an sebagai “legitimator” terhadap ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer, dengan basis pembuktian rasional dan empirik, sehingga bila ada “teori rasional al-Qur’an” yang belum berhasil dibuktikan secara rasional dan empirik hari ini, maka ayat-ayat sejenis itu cenderung ditinggalkan.
Hal ini berbeda jauh dengan Rahman yang lebih akomodatif terhadap turats dan berhati-hati dalam kegiatan penafsirannya, terutama dalam penegasannya tentang pentingnya memahami tema ayat-ayat al-Qur’an secara holistik dan komprehensif.
Jogja, 10 Maret 2012
2 Komentar untuk "EPISTEMOLOGI TAFSIR KONTEMPORER (Telaah Metodologi Tafsir Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur)"

persoalannya terkadang pada tingkat aplikasinya dalam menafsirkan al-Qur'an. kedua orang di atas belum melahirkan tafsir satu surah sesuai dengan pola pemikirannya. sehingga terkesan ambigu dan tidak jelas ketika dikaitkan dengan contoh penafsiran yang dipakai kedua tokoh tersebut.

Back To Top