Personal Blog

SAKING SULITNYA MULUT DIPERCAYA, MAKA TANGAN DAN KAKILAH YANG DIJADIKAN BUKTI (Isyarat Simbolik Tuhan akan Kebodohan Kita)

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. Yaasin, 36:65).

Kebayangkah gimana keadaannya bila masa pertanggungjawaban itu sudah hadir di depan mata kita? Tiba-tiba mulut terkunci, nggak bisa ngomong secuil pun, dan justru tangan kita yang ngomong menceritakan segala perbuatan majikannya (ya kita ini) selama hidup di dunia dan kemudian kaki memberikan kesaksian pembenar atas kata-kata tangan itu.
Ngeri, Bung!
Semua kita niscaya akan memasukinya, menempuhnya, teradili dengan seadil-adilnya, untuk kemudian menerima putusan mutlak dan abadi: terbang ke surga atau nyemplung ke neraka!
Mari kita coba berpikir begini: “Mengapa ya Tuhan membungkam mulut kita, kok kesannya Tuhan sangat tidak percaya pada lisan kita? Dan mengapa pula Tuhan memilih tangan untuk bicara dan kaki untuk bersaksi? Apa keistimewaan tangan dan kaki dibanding dagu, dengkul, atau kemaluan ya?”
Sebelum merenungkan jawabannya, mari kita cermati dulu redaksi unik ayat tersebut pada kata “tukallimuna aidihim” (menjadikan berbicara kedua tangan mereka) dan “tasyhadu arjuluhum” (bersaksi kedua kaki mereka).
Buat gue, kata “tukallimuna” itu unik, menyimpan misteri. Mengapa Tuhan tidak pakai kata padanan yang sederhana saja jika sekadar ingin menyatakan “tangan berbicara”? Misal, kata “takallama” atau “tahaddatsa”, dll.
Ada unsur penekanan makna yang sangat kuat pada kata “tukallimuna” dibanding sekadar kata “takallama”. Dengan “tukallimuna”, makna yang menyeruak adalah “Kami jadikan, kondisikan, desain, tangan-tangan mereka menjadi bisa berbicara”. Tetapi jika sekadar pakai kata “takallama”, penekanan makna “Kami jadikan…” itu tidak tercapai.  Demikian juga pada kata “tasyhadu”. Ada kuasa Tuhan di situ yang mendesain ketidakmungkinan (masak sih tangan dan kaki bisa bicara?) menjadi sangat mungkin terjadi.
Lanjut, Mang...
Mulut: semua kita memiliki kemampuan wicara dengannya. Melalui bahasa, kita berwicara. Dan bahasa, jika kita titilik secara Hermeneutis, sungguh bukanlah sekadar media wicara, tetapi cara pandang kita tentang segala hal. Bahasa adalah world views. Karena itulah, pada sisi ini, cara kita berbahasa sepenuhnya mencerminkan cara kita memandang orang lain, alam, bahkan Tuhan. Bahasa adalah gugus perspektif tentang kehidupan di dunia dan akhirat sekaligus. Itulah sebabnya cara berbahasa orang yang berpengetahuan baik akan sangat jauh beda mutunya dibanding mereka yang tidak memiliki pengetahuan baik. Bahasa yang dilisankan orang berbudi luhur akan sangat jauh berbeda dengan cara berbahasa orang brengsek, meski untuk menyampaikan perkara yang sama.
Lantaran mulut merupakan organ yang berperan sebagai pintu gerbang world views kita, maka sungguh mudah dipahami mengapa orang yang gagal menjaga pintu gerbangnya itu sejatinya telah gagal memelihara world views-nya. Dan orang yang gagal memelihara world views-nya, sama halnya telah gagal dalam membangun mutu wujudnya sebagai manusia.
So, kita tahu kini, betapa sangat pentingnya cara pandang kita terhadap sesuatu lantaran itulah yang akan menjadi prinsip yang melandasi setiap perilaku kita. Orang yang berpandangan bahwa rezeki yang diperoleh dengan cara haram, lalu masuk ke tubuh, akan mendorong pelakunya berbuat keburukan (contoh sebuah world view), niscaya akan berperilaku hati-hati dalam mengais rezeki. Demikian sebaliknya, orang yang menganggap rezeki adalah segala yang bisa didapat dengan cara apa pun, termasuk korupsi. Semuanya bekerja dalam landasan prinsip hidup yang dipancarkan oleh capaian world views masing-masing kita.
Karenanya, gampang to untuk dipukul, bahwa siapa pun yang gagal memelihara mutu mulutnya, misal yang penuh kepalsuan macam poliTIKUS itu, sejatinya ia telah gagal memelihara mutu kemanusiaannya, lantaran prinsip hidupnya yang dipilari oleh world views-nya gagal mengejawantah dalam perilakunya. Ahhh, itulah sebabnya pula Tuhan sangat jijay pada para munafik karramahus syaitanir rajim!
Maka menjadi benarlah dugaan awal bahwa jangan-jangan Tuhan bersengaja menutup mulut kita, gerbang world views kita, di hadapan-Nya, karena Tuhan sudah tak membutuhlah lagi hal-hal retoris world views, hal-hal conthongis dan cocotis, tetapi itulah masa pertanggungjawaban atas world views yang terwujud dalam perilaku selama hidup kita (kalau mulut masih dijadikan pintu gerbang saat itu, jangan-jangan Tuhan pun masih akan diajak berdebat oleh kita tentang batas-batas pahala-dosa ya…dasar mulut, koplak!).
Lanjut ke tangan.
Tangan: tanganmu adalah takdirmu! Gue sering menyebut tagline ini. Tangan kita ini menjadi simbol paling sempurna atas semua tingkah-laku kita. Segala sesuatu bisa kita ciptakan dengan tangan ini, baik atau buruk, pahala atau dosa. Simbolisasi tangan mencerminkan adanya kuasa penuh pada diri kita untuk mengupayakan mau menjadi apa gerangan diri ini.
Saat Tuhan memilih tangan sebagai “pembicara kelakuan” kita di dunia, sejatinya Tuhan tengah mendorong diri kita (mumpung masih hidup kita ini) untuk mengupayakan sendiri dengan sepenuhnya akan memilih sosok yang seperti. Mau shalih oke, mau keji oke. Mau jadi ahli ibadah oke, mau jadi ahli tipu juga oke. Mau jadi orang jujur oke, mau jadi kaum tikus oke.
Ini sepenuhnya berada di tangan kita. Maka kitalah sejatinya pencipta “takdir” kita sendiri di hadapan-Nya kelak. Kemampuan tangan “berbicara” menunjukkan dengan sangat serius akan telah disematkan oleh-Nya kemampuan pada diri kita.
Tukallimuna aidihim” dengan sendirinya membantah semua upaya pemasangan bemper di muka kita atas segala “takdir buruk” kita sendiri, baik itu di dunia atau pun akhirat.
Tentu saja, simbol tangan dalam ayat tersebut sepenuhnya mewakili wujud utuh kita sebagai manusia. Ya pikiran, suara hati, kegigihan, ambisi, hasrat, dedikasi, dan sebagainya. Kita yang manusia ini dalam ayat tersebut cukup diwakili oleh simbol organ tangan untuk menunjuk bahwa kitalah kreator diri kita sendiri.
Lalu, kaki.
Kaki: kaki sebagai organ untuk berjalan adalah simbol dari kemelangkahan. Melangkah berarti bergerak dan berpindah dari satu titik ke titik baru lainnya. Kita punya kaki, tapi nggak dipakai untuk melangkah, maka amputasi sajalah organ kaki itu lantaran itu sama halnya kita tidak membutuhkan keberadaan kaki.
Simbolisasi kaki yang bergerak itu mencerminkan dorongan kuat pula dari Tuhan agar kita harus terus-menerus bergerak dinamis dalam kehidupan ini, dari satu fase ke fase baru, dari satu kebaikan ke kebaikan baru lainnya. Kalau kita tidak melakukan ini, berarti kita adalah orang yang stagnan, mencukupkan diri dalam sebuah level kebaikan. Orang yang begini sejatinya tidak pernah beranjak dari maqam rendahnya untuk menuju maqam lebih tingginya. Karena itu, di agama kita, dikenal ungkapan “wa huwa min babil aula” atau “huwa babul ahsan”, atau pun “fastabiqul khairat”, yang mencerminkan bahwa selalu ada level lebih tinggi yang kudu kita perjuangan terus-menerus, secara dinamis, tanpa henti, dalam konteks apa pun, termasuk kebaikan.
Ayat “fastabiqul khairat” (berlomba-lombalah dalam kebaikan) sangat sempurna mengisyaratkan dorongan Tuhan pada kita untuk terus melangkahkan diri kita ke jenjang berikutnya. So, di mata Tuhan, kita didorong untuk memahami bahwa tidak pernah ada sebuah kata selesai untuk perjuangan berbuat kebaikan.
Justru kalau kita menghentikan langkah kaki kita pada satu titik kebaikan, hal itu akan memicu “masalah baru” dalam diri kita. Ya, masalah baru, bahwa kita merasa telah berbuat banyak kebaikan, menolong banyak orang, beribadah terlalu banyak, yang otomatis akan menjerembabkan diri kita pada rasa angkuh, sombong, dan rendah. Stagnasi dengan kata lain sangat berbahaya pada diri kita, bisa menjatuhkan kita ke jurang keangkuhan, yang itu sangat dibenci oleh Allah.
Melangkah juga sepadan dengan ajaran berhijrah. Nabi telah meneladankan hijrah pada kita sebagai proses menuju kebaikan dan kemuliaan. Hijrah adalah sebuah keniscayaan dalam hidup kita, isyarat penanda bahwa kita ini hidup bahkan, karena kalau kita tidak menghijrahkan diri kita, otomatis kita akan terbelenggu dalam sebuah suasana stagnan dan beku. Dampak hebat dari keengganan hijrah ini ialah cupetnya pandangan hidup kita tentang manusia, alam, dan juga Tuhan. Tanpa hijrah, kita hanya akan menjadi katak dalam tempurung.
So that, saat hari kebangkitan itu telah terjadi, wajarlah bila Tuhan menjadikan tangan dan kaki sebagai penyaksi segala kelakuan kita di dunia. Seolah-olah Tuhan ingin menandaskan pada kita betapa kita telah menyia-nyiakan “modal besar” untuk ber-action dan melangkah maju selama hidup kita di dunia ini.
Bayangkan!
Bayangkan!
Sungguh, betapa bodohnya kita ini bila tidak kunjung terinspirasi untuk memperbaiki diri. Sekarang juga!
Jogja, 9 Maret 2012
2 Komentar untuk "SAKING SULITNYA MULUT DIPERCAYA, MAKA TANGAN DAN KAKILAH YANG DIJADIKAN BUKTI (Isyarat Simbolik Tuhan akan Kebodohan Kita)"

Back To Top