Personal Blog

SOSIALITA ATAU S(os)I(a)LIT(a)

Sosialita, sosialita, hemmm…istilah ini kian diuber dipuja belakangan ini. Diidentikkan dengan wanita yang cerdas, aktif, produktif, jago ngomong, pendidikan tinggi, fashionable, plus menarik cantik, dan tentu saja mapan ekonominya. Potret wanita idaman semua wanita dan laki-laki sekaligus. Setiap wanita niscaya pengen menjadi seperti mereka yang highclass, tentu tak terhindarkan simbol-simbol ala apartemen, mobil mewah, parfum impor, highhells, hingga tas apik ala Hermes. Setiap laki-laki juga sangat memimpikan bisa menggaet pasangan seperti itu: nyambung diajak ngomong, wangi, sexy, enak dipandang, wangun dibawa ke acara-acara berkelas dan sebagainya.
Sosialita pun mencuat kini sebagai “mimpi indah” di tengah karut-marutnya kehidupan metropolitan.
Saya pun bagian dari orang yang cukup suka mencermati berita-berita atau pun perilaku nyata kaum sosialita itu. Ya, ya, emang wonderful banget mereka. Kayak wonderwoman bener, mulai senyum manis, rumah mantep, furniture keren, sandangan berkelas (kadang sampe kuendusi foto-foto mereka, dan ternyata juga wangi!).
Namun saya belakangan jadi mikir berkali-kali, mengapa kok pakai istilah sosilita? Kok nggak pake juwita kek, kayawati kek, pinterwati, smartwati, dll.?
Sebab, akar makna istilah “sosialita” yang dari kata “sosial” lebih sering tidak berhasil dipentaskan oleh mereka yang berkategori sosialita itu. Jauh lebih banyak, para sosialita itu malah asosial. Bisa pula disebut autis: hanya khusyuk dengan kelas sosialnya sendiri. Di luar kelasnya, bullshit-lah!
Bagaimana mungkin Anda layak menyandang julukan “bersosial”, jika Anda hanya sibuk dengan kelas Anda, kelompok Anda, renik-renik simbolik penanda eksistensi komunitas Anda, yang menyebabkan Anda tidak mau turun ke kelas-kelas ekonomi dan sosial yang lemah di bawah Anda?
Bagaimana mungkin Anda layak disebut “bersosial” karena hanya jago ngomong, pinter teori, juara artikulasi, tentang berbagai problematika kehidupan negeri ini, tetapi Anda tidak pernah turun ke lapangan, menyentuh pundak orang-orang lemah di gang-gang sempit, pasar bacin, pinggiran rel yang ruwet, lantraran Anda khawatir “nilai sosialita” Anda jadi runtuh terciprati kotoran, lumpur, dan tangan-tangan tak higienis mereka?
Masak pantes Anda yang wangi, menenteng tas Hermes, rambut berspray, kaki ber-highhells, wajah sesak dengan riasan, layak disebut “bersosial” jika ternyata Anda tak pernah mengetahui bagaimana cara berempati dan beraksi mengentaskan ketaknyamanan hidup orang-orang yang kepanasan di metromini, keringetan di jalanan terik, pusing tujuh keliling cari utangan buat beli beras dan susu?
Owww, tentu saya tidak bermaksud Anda yang highclass kudu menurunkan derajat diri Anda menjadi orang-orang tidak wangi lagi. Tidak. Tetapi sandangan “sosialita” itu sangat tidak cocok untuk dijabat oleh siapa pun, sekali lgi SIAPA PUN, hanya karena pinter ngoceh, tinggal di apartemen, mainannya kafe dan mall, bisa ikut arisan jutaan rupiah, tasnya mewah, mukanya berias aneka warna kayak jajanan pasar, tetapi hatinya tidak memiliki empati yang diwujudkan dalam rupa aksi-aksi sosial untuk mempedulikan nasib buruk orang-orang lain di sekitarnya.
Sosialita hanyalah layak disandang oleh mereka yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Bukan mereka yang hanya juara omongan dan teori. Sosialita milik mereka yang beraksi kreatif dan energik, dalam bentuk apa pun, yang memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi orang lain. Sosialita, dengan ukuran demikian, adalah orang yang “pintar” menggunakan kekuatan-kekuatannya (intelegensia, sosial, ekonomi) bukan untuk membangun istana di langit bak bidadari yang piawai bersolek belaka, tetapi membangun istana di bumi nyata untuk orang-orang yang lemah, dhaif, dan terpuruk itu.
Sayang seribu sayang, kini makna hakiki “sosial” pun telah diperkosa oleh tangan-tangan industri-kapitalisme demi tujuan “omset” belaka. Ironisnya, kok bisa orang-orang genius, kaya, berpendidikan itu terpuruk dalam gelar kapitalis bernama “SOSIALITA” itu. Sosialita yang asosial nggak beda ma S(os)I(a)LIT(a), yingan ah
Jogja, 30 April 2012
1 Komentar untuk "SOSIALITA ATAU S(os)I(a)LIT(a)"

Super kacau lah

Salman

Back To Top