Personal Blog

Jangan Memasak Di Ruang Tamu! (Gejala Sosial Kentat, bukan Kentut)

Semua kita penyuka masakan. Malah sebagian tampil sebagai juru masak yang sangat handal. Saking handalnya, mereka bahkan tak lagi memerlukan buku panduan resep memasak. Begitu hapal di luar kepala. Nggak usah khawatir masakannya akan terasa asin atau hambar. Dijamin tetap maknyus, mantap banget!

Begitu pula mereka yang tidak ahli memasak, sangat piawai untuk mengomentari masakan yang dinikmatinya dengan begitu bergairah. Bisa pujian, empati, atau cemoohan. Terlepas dari tujuan untuk sekadar membuat senang hati yang memasak agar besok dibagi lagi kreasi baru masakannya atau memang begitu menikmati lezatnya masakan yang disantapnya, atau secara obyektif memberikan kritik terhadap masakan yang dicicipnya, yang pasti kita semua (si juru masak dan penikmatnya) begitu juara untuk terlibat dalam serangkaian urusan masakan ini.

Tapi, apa jadinya jika kita memasak di ruang tamu?

Sebuah ruang, tempat, yang dihuni oleh banyak orang, sebagian bahkan orang asing yang sekadar singgah ke rumah kita. Lantaran semestinya urusan memasak dilakukan di dapur, bukan di ruang tamu, sebagai kegiatan privat bukan kegiatan publik, maka wajar sajalah bila kemudian muncrat berbagai hal negatif itu. So, meletakkan sesuatu tidak pada pada letak semestinya amat sangat berpeluang untuk menghadirkan masalah-masalah buruk. Masalah-masalah yang niscaya takkan pernah terjadi dan meluas kemana-mana, menyebar ke ruang luas bernama ruang tamu, ruang publik, umpama kita mampu membedakan mana letak yang pas untuk memasak dan mana yang bukan.

Ahhh, menyaksikan begitu banyak muntahan kata-kata di facebook, twiter, blog, situs, atau gang-gang perkampungan, keriuhan pasar, dan mall, yang semestinya tidak layak dibaca, diketahui, dan ditafsirkan oleh orang-orang luar yang asing untuk dapur kita itu, selalu saja membuatku galaww.

Ya, galaww yang bukan lagi bagian dari iman. Galaww yang memaksaku berpikir tentang suatu perkara yang semestinya aku nggak perlu tahu, nggak perlu menafsirkan kemana-mana, tetapi kini aku menjadi tahu dan tanpa ampun otakku menafsirkannya kemana-mana, hanya karena kesalahan memilih lokasi memasak itu.

Bayangkan, apa kira-kira yang akan menyeruak di kepalamu saat menemukan sebuah status begini: “Semestinya dulu kudengarkan nasihat mereka, kini kutersadar ternyata aku telah salah pilih…”
“Hah, salah pilih…? Haduuh, gawat deh keadaanya sekarang…” ini tafsir si A.

“Bentar lagi pasti pisah deh mereka…” ini tafsir si B.

“Ternyata hubungan manis mereka selama ini itu hanya kamuflase…” ini tafsir si C.

Dan seterusnya, seterusnya, sedemikian tak terhingga, terus meluas kemana-mana, seiring dengan kian luasnya orang-orang yang turut menikmati masakan yang dimasak di ruang tamu bernama facebook (dll) itu.

Sebut misal lain begini.

Kudengar dua orang bule yang duduk di sebelahku, di Kopi Luwak MM ini, berbicara begitu seriusnya tentang seseorang yang mereka sebut bernama Ve.

Hah, ternyata Ve kenal to sama dua bule ini? Punya hubungan apa ya? Masak iya hubungan bisnis? Bisnis apa ya? Setahuku Ve hanya punya bisnis onlen twitter itu. Atau, ah, jangan-jangan Ve kenal sama dua bule ini lewat twitter ya? Lalu, kopi darat, dan…aiihh..apalagi Ve kan sedang galaww segalaww-galawwnya ya? Sampe-sampe kegiatan hariannya setiap bangun pagi adalah nyobeki jilbab dan ngemil kulkas simbok sambil menyanyikan lagu-lagu galaww Kerispatih itu?

Buseyettt…ternyata Ve…ternyataa Ve…

Sampai di sini, sempurnalah imajinasi liar tafsirku merambat kemana-mana, begitu jauh, jauh sekali, yang seringkali bahkan kemudian nggak ada kaitan sama-sekali dengan kebenaran realitas itu sendiri.

Begitulah lukisan besar risiko yang bisa hadir di kepalaku (dan semua orang) atas sebuah masakan yang dimasak bukan pada tempatnya.

Maka sungguh menjadi “amat sangat penting sekali” buat kita semua untuk mampu memilih dan memilah sesuatu yang boleh kita keluarkan dari kamar kita dan sesuatu yang tidak patut kita keluarkan.

Proses memilih dan memilah ini amat sangat erat kaitannya dengan keluasan wadah dada kita untuk menampung gelegar emosi kita sendiri. Ya, rumusnya sudah jelas, bahwa dalam keadaan emosi, kita menjadi kehilangan hingga 90% akal sehat kita. Nyisa 10% aja, Bro/Sist! Sehingga amatlah wajar bila saat kita dikuasai emosi, segala sesuatu menjadi sedemikian nggak pentingnya, buruknya, dan menyebalkannya di mata kita.

Jangankan orang yang kita anggap sebagai pemicu kemarahan kita, bahkan gelas, asbak, sandal, rokok, hingga anak pun menjadi amat menyebalkan. Apa-apa dibanting, dibuang, kayak nggak perlu lagi. Padahal, begitu emosi itu reda, seiring dengan pulangnya 90% akal sehat yang kita usir itu, kita begitu menyesal telah memecahkan gelas, membanting anak, nyobek-nyobeki jilbab dan boxer andalan, menuliskan status-status buruk di wall facebook (dll), atau menceritakan rahasia-rahasia kehidupan kita pada orang lain.

Tapi, mau gimana lagi, apa yang bisa kita lakukan sekarang saat semua itu kadung kita umbar ke jalanan?

Nggak ada, kecuali sesal. Lalu paling banter, dalam hati, kita berjanji nggak akan mengulangi kebodohan emosional pemicu sesal itu. Janji kuat di hati. Tapi, ehhh…beberapa hari kemudian diulangi lagi, nyesal lagi, janji lagi, diulangi lagi, nyesal lagi, janji lagi. Huuffghhh, dasar karet!

“Itulah gejala sosial khas sosiologi kentat!” kata Achmad Muchlis Amrin, S.Ag., M.Si., sang sosiolog UGM yang taat puasa Dawud dan istiqamah dzikir isuk ingkang awan itu.

Tapi, ingat Bro/Sist, sebutan “wajar” itu menjadi pengukur level mutu kepribadian kita, yang sangat ditentukan oleh luas/sempitnya wadah penampung emosi kita.

Jika wadah di dada kita luas, niscaya ia takkan merembes kemana-mana kayak sepitank bocor. Sebaliknya, jika wadah kita sempit, niscaya rembesan sepitank bocor itu akan menebarkan aroma busuknya kemana-mana, lalu kembali mudik ke rumah kita, membedaki dengan sempurna muka kita sendiri hingga kita menjadi sedemikian bacinnya seolah kita baru saja abis perawatan spa sepitank!

Huahh..haa…spa kok di sepitank, cari lainnya dong, misal aromaterapi kek, biar wangi semerbak bungaaahhh gitu (sengaja pake “hhh” biar kian kerasa wanginya).

Tapi darimana ya kita bisa memperoleh aromaterapi pewangi hati panas saat terbakar emosi itu?

Ingak, ingak rumus ini:

Satu, jangan biasakan diri ini untuk menceritakan atau menuliskan apa pun yang sifatnya rahasia dalam hidup kita. Sekali kita menceritakan atau menuliskan rahasia kita, sejatinya kita tengah menghamparkan dapur kita di ruang tamu. Ujung-ujungnya, seabrek penilaian buruk tentang dapur kita akan kembali pulang menampar muka kita.

Dua, yakinlah selalu bila kita buka aurat kita di tengah keramaian, maka kita sendiri yang akan merasakan tajam belukar kemaluannya. Jika kita malu memperlihatkan kemaluan kita di depan umum, maka jangan sekali-kali kehilangan kendali atas nama apa pun untuk tidak menutupi kemaluan kita. Bukankah orang lain takkan pernah mau tahu bahwa kita telanjang gara-gara celana belum kering dicuci atau abis dicuri maling?

Tiga, di luar sana, begitu banyak mulut berleleran liur berbisa yang siap menyantap masakan dapur kita. Banyaknya mulut yang tak sama ini memungkinkan banyaknya penilaian atas masakan kita. Dan coba pikirkan, manfaat apa sih gerangan yang kita peroleh sebenarnya jika kita membiarkan orang-orang lain mencicipi masakan kita? Pujiankah? Elusankah? Cemoohankah? Apa pun itu, semuanya takkan pernah mampu membantu apa-apa untuk menyelesaikan perkara dapur kita.

Sekali kata terlontar, sekali ludah terjatuh ke tanah, sungguh ia takkan pernah mampu dikembalikan oleh mulut kita sendiri sebagai pemilik sahnya. Maka pilih dan pilahlah dengan sangat hati-hati, kendati dada kembang-kempis menahan gemuruh durja, di mana tempat paling pas untuk memasak sesuatu, lalu menikmati cita-rasanya, lalu pulas kemudian.

Kentat! Bukan kentut lho...jijayyy kalo yang jorok-jorok aku...

Kopi Luwak MM, Jogja, 3 November 2011
2 Komentar untuk "Jangan Memasak Di Ruang Tamu! (Gejala Sosial Kentat, bukan Kentut)"

ganeka seekoca' metta' jalan tengnga burik....haaaaaaaa...kenapa gak sekalian aja bikin banner, terus pajang di bundaran UGM...mantabs nom

Kopi Luwak di Ruang Tamu di atas Titos du Polo

Back To Top