Tak banyak
pembaca buku yang mengerti bahwa dia pun bisa bikin buku. Ya, buku yang memuat
tulisannya sendiri, dipajang di rak-rak toko buku nusantara, bersanding dengan
buku-buku karya penulis-penulis yang selama ini dibelinya, dibacanya, yang
dianggapnya “sakral dan pintar”.
Tentu, saya
tidak bermaksud menyatakan bahwa kalau begitu semua orang akan bisa menulis buku
apa pun, dengan sebisanya. Bukan. Bagaimana pun, buku yang diproduksi secara
massal, dipasarkan secara massal pula, akan berhadapan dengan customer yang juga massal. Kata “massal”
menjadi prasyarat yang saya maksudkan (bukan buku-buku indie, POD, dan sejenis
yang serba terbatas cakupannya). Kata “massal” sekaligus mengisyaratkan
“kelayakan”, layak dibeli dan dibaca.
Otomatis,
karena prasyaratnya begitu, mutlak hukumnya untuk menuliskan dan menerbitkan
karya yang “bertanggungjawab”.
Catat: “Bertanggungjawab”.
Soal bentuknya
itu cerpen, novel, maupun diary,
jelas itu bukanlah masalah. Apa pun bentuknya, itu adalah soal pilihan
kreativitas belaka. Apa pun bentuknya, itu juga harus patuh pada koridor
“bertanggungjawab” itu.
Masalahnya
hanyalah terletak pada: “Kalau saya sudah nulis, terus bagaimana cara
menerbitkannya dan memastikan buku tersebut beredar di toko-toko buku nusantara?”
Saya
menyediakan wadahnya untuk menjawab masalah ini.
Saya membuat
banyak program kepenulisan, yang sebagian di antaranya sengaja dimaksudkan
untuk menjadi wadah bagi semua orang. Sebut misalnya #MyDream, lalu
#MyLoveMyLife, dll., yang akan segera menyusul. Tentu, saya punya aturan
mainnya. Tentu, hanya tulisan-tulisan yang memenuhi aturan main saya itulah
yang akan saya muat, terbitkan, dan pasarkan dengan luas. Ini semata saya
maksudkan untuk memastikan bahwa kelak jika tulisan-tulisan itu saya produksi
dan pasarkan secara luas, maka buku-buku tersebut telah memenuhi ukuran “layak”
tersebut.
Selebihnya,
saya tahu benar bahwa setiap orang yang berhasil menuliskan pikirannya, dalam
bentuk apa pun, lalu apalagi berhasil menerbitkannya, dan melihat buku yang
ditulisnya terpajang di toko-toko buku secara massal, sungguh akan menjadi
“prasasti sejarah” yang amat bernilai dahsyat dalam hidupnya. Kebanggaan, tentu
tak terpungkiri sebagai bagian yang berdenyut di dalamnya. Dan saya bersengaja hendak
menyempurnakan kebanggan penulisnya dengan memberikan sertifikat penghargaan,
yang mungkin sebagiannya akan dengan sangat heroik berkaca-kaca memajangnya di
ruang tamu atau kamar tidurnya.
Kemanfaatan,
jelas ini adalah buah kedua yang berhasil ditebarkan penulisnya kepada setiap
orang yang membaca tulisannya, bukunya, lalu terinspirasi ke dalam jiwanya.
Nilainya tentu saja tak terperikan dengan nominal berapa pun.
Yaaa
begitulah, Kawan. Kata Chairil Anwar, “Sekali
hidup, sudah itu mati!” Mari kita bersama-sama memperjuangkan hidup yang
sekali itu, yang sudah itu mati itu, dengan menciptakan sejarah dan menebar
kemanfaatan kepada banyak orang.
Daebak!
Jogja, 7 Oktober 2013
6 Komentar untuk "SAATNYA SEMUA ORANG BISA BIKIN BUKU"
sepakat, saya masih berjuang menerbitkan karya di divapress (non fiksi) pernah beberapa kali ngirim artikel tapi masih tertolak. salam pak bos (eko >> JW2)
serang terus, Pak Eko, sampai kapok nanti itu redakturnya :-)
tentunya, penyerangan kedua harus sudah dengan persiapan yang lebih matang daripada serangan yang sebelumnya...
Inspiratif banget Pak Edi, saya juga mauuuuu banget punya buku sendiri :)
Untuk lomba #mylove,mylife bila dilaksanakan....
nge-inspirasiin banget dah.. jadi tambah salut plus plus plus sama aksinya bang Edi Akhiles (y)
Hehe